Menuju 100% Energi Bersih: Menafsirkan Visi Presiden Prabowo

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
22 August 2025 11:45
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Presiden Prabowo Subianto bertindak selaku inspektur upacara pada Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Landasan Suparlan, Komplek Pendidikan dan Pelatihan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, pada Minggu, 10 Agustus 2025. (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Prabowo Subianto. (Kris/BPMI Sekretariat Presiden)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD yang diikuti dengan penyampaian RUU APBN 2026 dan Nota Keuangan, 15 Agustus 2025, meninggalkan gema yang jauh melampaui suasana formal kenegaraan. Di hadapan publik, Presiden menegaskan bahwa Indonesia harus mampu mencapai bauran 100% Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam waktu 10 tahun.

Pernyataan tersebut bukan sekadar target teknokratis, melainkan sebuah visi besar untuk menempatkan energi bersih sebagai pilar utama ketahanan nasional. Sejak saat itu, perdebatan tentang kelayakan, konsekuensi, hingga strategi pencapaiannya menggema di ruang akademis, bisnis, maupun ruang publik.

Sejatinya, gagasan menjadikan energi terbarukan sebagai fondasi pembangunan bukanlah hal baru. Indonesia telah berulang kali mencantumkan target EBT dalam dokumen resmi seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maupun RUPTL PLN.

Namun, ambisi untuk mencapai 100 persen hanya dalam satu dekade adalah lompatan paradigmatik. Hal ini mencerminkan keberanian politik untuk mengubah wajah perekonomian dan ketahanan energi nasional sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim global.

Visi tersebut hadir pada momentum yang tepat. Dunia sedang berada pada titik kritis transisi energi. Harga panel surya turun drastis dalam 10 tahun terakhir, turbin angin semakin efisien, sementara inovasi baterai dan teknologi penyimpanan energi kian masif.

Kombinasi faktor ini membuat energi bersih bukan lagi impian mahal, tetapi justru pilihan rasional dari sisi biaya dan daya saing. Dengan demikian, ketika Presiden Prabowo menyampaikan target 100 persen EBT, yang dihadirkan bukanlah sekadar retorika, melainkan penegasan bahwa Indonesia siap memanfaatkan momentum global untuk mengakselerasi perubahan.

Namun, visi besar selalu menuntut kerangka kebijakan yang sistematis. Dalam ilmu kebijakan publik, dikenal adanya tahapan yang disebut siklus kebijakan (policy cycle): mulai dari penetapan agenda, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, implementasi, hingga evaluasi.

Jika kita menafsirkan langkah Presiden melalui kerangka ini, akan tampak bagaimana target 100 persen EBT dapat diproyeksikan sebagai proses kebijakan yang tidak sekadar top-down, melainkan juga melibatkan reformasi kelembagaan dan partisipasi publik.

Tahap pertama, penetapan agenda. Presiden berhasil mengangkat isu transisi energi dari sekadar wacana teknis menjadi agenda politik nasional. Selama ini, perdebatan energi terbarukan kerap terkunci pada level kementerian atau kalangan aktivis. Dengan pernyataan resmi seorang kepala negara, maka arah pembangunan telah diberi peta jalan baru. Agenda ini akan memaksa birokrasi, parlemen, BUMN energi, hingga pemerintah daerah untuk mengubah orientasi kebijakan.

Tahap kedua, perumusan kebijakan. Di sini letak tantangan yang sebenarnya. Untuk menuju 100 persen EBT, pemerintah harus menata ulang RUPTL 2025-2034. Target tambahan 7,2 GW tenaga angin, 17,1 GW tenaga surya, 11,7 GW hidro, 5,2 GW panas bumi, dan 0,9 GW bioenergi sebagaimana tercatat dalam RUPTL terbaru, harus dikalibrasi agar sejalan dengan visi besar Presiden.

Reformasi kelembagaan PLN menjadi tak terhindarkan: apakah melalui restrukturisasi, unbundling, atau skema pasar listrik hijau yang lebih terbuka. Tak kalah penting, insentif fiskal berupa feed-in tariff, tax holiday, hingga subsidi yang dialihkan dari energi fosil, harus dirancang agar investasi mengalir deras ke sektor energi bersih.

Tahap ketiga adalah adopsi kebijakan. Visi sebesar ini tak cukup hanya dengan pidato; ia membutuhkan dasar hukum yang kokoh. Itu berarti diperlukan regulasi baru, entah berupa Undang-Undang Energi Terbarukan atau Peraturan Presiden yang mengatur peta jalan transisi. Proses ini juga menuntut dukungan politik di parlemen, yang bisa jadi menghadapi resistensi dari daerah penghasil batubara maupun kepentingan industri fosil.

Selain itu, diplomasi internasional menjadi kunci: Indonesia perlu memastikan dukungan finansial dari lembaga global seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, hingga skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang sudah digagas sebelumnya. Tanpa sokongan dana internasional, pembiayaan proyek raksasa ini bisa menjadi beban fiskal yang berat.

Tahap keempat, implementasi. Inilah titik di mana visi diuji. Indonesia harus mampu membangun ribuan megawatt PLTS skala besar di Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua; ladang angin di Sulawesi, NTB, dan Maluku; memanfaatkan potensi panas bumi di Sumatera dan Jawa Barat; serta membangun bendungan hydropower di Kalimantan.

Tak kalah penting adalah pengembangan smart grid, jaringan transmisi super grid yang menghubungkan kawasan timur dan barat, serta infrastruktur penyimpanan energi. Tanpa itu semua, EBT yang intermiten tidak bisa menjamin pasokan listrik yang andal.

Implementasi juga menyentuh aspek sosial-ekonomi. Transisi ini berpotensi melahirkan booming lapangan kerja hijau seperti teknisi panel surya, insinyur turbin angin, hingga tenaga riset hidrogen hijau.

Namun, di sisi lain, ia juga bisa memunculkan disrupsi bagi pekerja di sektor batubara. Di sinilah diperlukan kebijakan transisi adil (just transition) yang memastikan bahwa daerah penghasil fosil tidak tertinggal, dan para pekerja bisa dialihkan ke sektor energi baru.

Tahap terakhir adalah evaluasi. Kebijakan 100% EBT tidak boleh berhenti pada seremoni peresmian proyek atau laporan kertas. Ia harus dievaluasi secara berkala dengan indikator jelas: seberapa besar porsi EBT dalam bauran energi nasional, berapa proyek yang benar-benar beroperasi, berapa besar pengurangan emisi karbon, serta berapa banyak lapangan kerja baru yang tercipta. Evaluasi ini bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga wujud akuntabilitas politik terhadap rakyat.

Namun, kita perlu menyadari bahwa proses kebijakan tidak selalu linear. Ada kemungkinan terjadinya resistensi politik, hambatan teknologi, atau keterbatasan pendanaan. Jika itu terjadi, kebijakan bisa saja dimodifikasi.

Misalnya, target 100% dalam 10 tahun mungkin direvisi menjadi 80% pada 2035, lalu 100% pada 2040. Akan tetapi, arah besar yang sudah ditetapkan Presiden tetaplah memberi sinyal kuat: energi bersih adalah masa depan, dan Indonesia harus berada di garis depan.

Lebih jauh, visi ini menyentuh dimensi geopolitik. Dengan energi bersih, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan gas, sekaligus mengoptimalkan sumber daya domestik yang melimpah.

Energi terbarukan tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga strategi diplomasi: Indonesia bisa menawarkan diri sebagai mitra energi bersih bagi kawasan ASEAN, BRICS, maupun mitra dagang utama seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa. Dengan demikian, transisi energi menjadi instrumen untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia di panggung global.

Pada akhirnya, yang ditawarkan Presiden Prabowo bukan sekadar target kuantitatif, melainkan ajakan untuk mengubah paradigma bernegara. Energi bersih menjadi simbol "kemerdekaan era baru", yakni kemerdekaan dari ketergantungan pada fosil, kemerdekaan dari kerentanan iklim, dan kemerdekaan dari ketidakadilan global dalam akses energi.

Target 100% EBT dalam 10 tahun adalah cita-cita yang berat, penuh tantangan, namun justru di situlah letak nilai historisnya. Visi ini menguji keberanian bangsa untuk melangkah maju, menggabungkan kepentingan lingkungan, ekonomi, dan kedaulatan dalam satu garis perjuangan.

Jika pada 1945 para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan politik, maka kini kita ditantang untuk memproklamasikan kemerdekaan energi. Dan sebagaimana sejarah telah menunjukkan, bangsa ini selalu mampu menjawab panggilan zaman dengan keberanian yang tak terduga. Target 100% EBT bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru perjalanan Indonesia menuju bangsa yang berdaulat, berkelanjutan, dan berdaya di abad 21.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation