ASEAN Power Grid: Menyatukan Energi, Menghemat Triliunan Dolar

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Selasa, 19/08/2025 05:10 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Logo ASEAN dan bendera negara-negara Asia Tenggara. (REUTERS/Edgar Su)

Sudah lebih dari satu dekade gagasan interkoneksi listrik lintas negara di Asia Tenggara menggema, namun baru belakangan ini realisasinya mulai tampak nyata. ASEAN Power Grid atau APG kini memasuki babak baru. Studi ASEAN Interconnection Masterplan edisi ketiga memperlihatkan bahwa perdagangan listrik antarnegara mampu mengoptimalkan potensi energi surya sebesar 8.000 gigawatt dan tenaga angin hingga lebih dari 300 gigawatt.


Sebuah lintasan daya yang dilakukan secara kolaboratif dapat mengalirkan listrik dari satu negara ke negara lain secara lebih efisien karena dapat menghindarkan pembangunan pembangkit baru yang mahal dan memangkas kebutuhan baterai dan penyimpanan hidrogen. Hasil akhir dari usaha kolaboratif ini adalah penghematan biaya transisi energi hingga 800 miliar dolar Amerika Serikat serta penurunan emisi karbon sebesar 13 persen pada 2050.

Sejauh ini, sembilan dari 18 proyek prioritas APG telah berjalan dengan total kapasitas mencapai lebih dari 7.000 megawatt. Sebagian besar masih dalam bentuk kerja sama bilateral. Namun, tren mulai bergeser menuju interkoneksi multilateral, seperti yang terlihat pada proyek Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang dikenal dengan nama LTMS Power Integration Project.

Proyek ini mulai mengalirkan listrik tenaga air dari Laos ke Singapura sejak 2022 dan terus mencatat volume perdagangan yang signifikan. Model ini menjadi cetak biru bagi proyek berikutnya seperti Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang menargetkan koneksi listrik dua arah di kawasan timur ASEAN.

Perdagangan listrik lintas negara bekerja seperti bursa energi. Listrik surplus dari pembangkit tenaga air Laos pada malam hari dapat memenuhi beban dasar di Singapura yang biasanya diisi oleh gas impor. Sementara itu, tenaga surya dari Nusa Tenggara dapat diarahkan ke Malaysia melalui jaringan transmisi Sumatra.

Karena beban puncak tiap negara tidak terjadi serentak, maka sistem ini menciptakan keseimbangan regional yang efisien. Dengan pasokan yang beragam dan saling melengkapi, kebutuhan akan pembangkit siaga yang mahal bisa ditekan, menjadikan sistem energi lebih hemat dan tangguh.

Bagi Indonesia, peluang ini luar biasa besar. Dengan sebaran energi terbarukan di ribuan pulau, Indonesia dapat berperan sebagai eksportir dan importir listrik pada waktu yang berbeda. Jalur transmisi seperti Sumatra ke Semenanjung Malaysia atau dari Kalimantan ke Sabah membuka ruang untuk menyalurkan kelebihan produksi dari proyek energi surya dan panas bumi yang sedang dikembangkan.

Di sisi lain, saat kemarau panjang atau el-Nino mengurangi pasokan domestik, Indonesia bisa memanfaatkan listrik hidro dari negara tetangga. Lebih dari itu, keberadaan jaringan regional juga berarti Indonesia tidak harus membangun semua pembangkit beban puncak sendiri. Biaya investasi bisa difokuskan pada penyimpanan energi dan transmisi, bukan lagi pada turbin gas yang rentan menjadi aset tidak terpakai.

Namun, mimpi besar ini tidak bisa berjalan tanpa fondasi kelembagaan dan teknologi yang kuat. Saat ini hanya beberapa negara ASEAN yang memiliki pasar listrik terbuka. Sebagian besar lainnya masih menggunakan sistem utilitas tunggal.

Perbedaan tarif, standar teknis, hingga sistem pengaturan jaringan membuat negosiasi lintas negara seringkali lambat dan rumit. Pengalaman LTMS PIP (Laos Thailand Malaysia Singapore Power Integration Project) menunjukkan bahwa ASEAN butuh institusi regional yang punya mandat hukum, bukan sekadar forum koordinasi. Tanpa kerangka kelembagaan yang jelas, investor akan ragu dan pembangunan bisa terhambat.

Masalah lain adalah keterbatasan data. Tanpa platform data bersama yang terbuka dan real time, sulit merencanakan dan mengevaluasi manfaat dari setiap jalur kabel yang diusulkan. ASEAN Centre for Energy telah mendorong pembentukan pedoman pertukaran data untuk memperjelas jenis, tenggat, dan cara pertukaran informasi yang dibutuhkan pasar.

Oleh karena itu, lima agenda kebijakan perlu menjadi prioritas ASEAN dalam lima tahun ke depan. Pertama, dokumen perjanjian APG harus diperbarui dengan mencantumkan mandat institusi regional, desain pasar listrik bersama, dan daftar proyek prioritas lintas batas.

Kedua, kode jaringan nasional perlu diselaraskan agar kompatibel satu sama lain. Ketiga, ASEAN harus menyepakati tarif pengaliran lintas negara yang adil dan tidak memberatkan. Keempat, Indonesia dan Malaysia harus menyelesaikan pembangunan kabel transmisi Sumatra ke Malaka agar menjadi koridor utama perdagangan energi hijau. Kelima, lembaga keuangan kawasan seperti ASEAN Development Bank perlu menyediakan jaminan politik bagi proyek lintas yurisdiksi.

Transisi energi tidak akan berhasil hanya dengan menambah pembangkit rendah emisi. Ia membutuhkan sistem jaringan regional yang kokoh, mampu menyalurkan daya dari wilayah surplus ke wilayah defisit dengan efisien. APG adalah cetak biru untuk sistem energi terintegrasi di Asia Tenggara, dan Indonesia berada pada posisi strategis untuk menjadi pusat daya hijau kawasan.

Pemerintah Indonesia perlu menjadikan ASEAN Power Grid sebagai bagian dari strategi energi nasional. Interkoneksi bukanlah ancaman bagi ketahanan energi, justru menjadi jalan pintas menuju efisiensi dan ekspor.

Dengan komitmen yang kuat, dukungan regulasi yang jelas, dan investasi pada infrastruktur transmisi, Indonesia bisa menjadi pilar utama dalam terbentuknya pasar listrik ASEAN yang tangguh dan berkeadilan. Kini saatnya kita tidak hanya membangun pembangkit, tetapi juga menghubungkannya lintas batas demi masa depan energi yang lebih bersih dan terjangkau.




(miq/miq)