Pembelajaran dalam Transisi Energi

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Iklim Asia Tenggara sedang berubah secara drastis. Bencana yang dulu dianggap sebagai fenomena ekstrem kini datang hampir setiap musim.
Di Bangkok, suhu yang melampaui batas kesehatan; di Manila, banjir terus menggenangi kawasan permukiman; di Jawa, kemarau panjang melumpuhkan panen dan memperburuk krisis air bersih. Semua ini menandakan bahwa krisis iklim telah bertransformasi menjadi realitas yang tak bisa disangkal.
Ironisnya, di tengah kegentingan itu, sebagian besar energi ASEAN masih bersumber dari bahan bakar fosil. Konsumsi energi fosil menyumbang sekitar delapan puluh persen dari total kebutuhan energi kawasan dan terus meningkat sejak pergantian milenium.
Jika tidak ada perubahan arah kebijakan, emisi karbon dari kawasan ini diproyeksikan mencapai empat miliar ton per tahun sebelum 2040. Target netral karbon akan menjadi mimpi yang kian jauh dari genggaman.
Munculnya skema harga karbon sebagai instrumen pengendali emisi memberikan secercah harapan. Konsepnya sederhana: memberikan harga pada setiap ton emisi karbon agar pelaku industri lebih bertanggung jawab terhadap jejak lingkungannya.
Namun, penerapan harga karbon ini juga menimbulkan kekhawatiran. Apakah kebijakan ini akan membebani sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi kawasan?
Sebuah simulasi yang menghitung dampak penerapan harga karbon seragam sebesar US$ 80 per ton di negara-negara ASEAN memperlihatkan hasil yang menggugah. Emisi dapat ditekan hingga 13%, dan penghematan devisa dari pengurangan impor energi mencapai lebih dari US$ 60 miliar setiap tahun.
Meski demikian, konsekuensi ekonominya tidak kecil. Tarif listrik berpotensi naik 15%, dan industri seperti logam di Vietnam, elektronik di Malaysia, serta petrokimia di Thailand terancam kehilangan daya saing ekspornya.
Namun, peluang justru muncul ketika simulasi diperluas dengan skenario mitigasi. Misalnya, ketika harga karbon disandingkan dengan percepatan pembangunan pembangkit listrik terbarukan seperti surya, angin, panas bumi, dan hidro yang terhubung melalui jaringan kelistrikan lintas negara (ASEAN Power Grid), maka lonjakan tarif listrik dapat ditekan menjadi sekitar 11%.
Bahkan, jika 40% dari penerimaan tarif karbon dialihkan untuk subsidi teknologi hijau dan pelatihan ulang tenaga kerja, ekspor industri berbasis elektronik dan kendaraan listrik dapat meningkat hingga US$ 1 miliar per tahun. Artinya, dengan desain kebijakan yang tepat, harga karbon bukan hambatan, tetapi jalan pembuka bagi transformasi ekonomi hijau.
Indonesia, bersama negara-negara ASEAN lainnya, mulai menempuh jalur ini. Singapura sudah menaikkan pajak karbon dari 5 dolar Singapura menjadi 25 dolar Singapura per ton dan akan terus meningkat hingga 45 dolar Singapura pada tahun 2026.
Vietnam telah menuntaskan dekrit pasar karbon nasional dan akan mulai tahap uji coba. Indonesia sendiri sudah mengoperasikan skema perdagangan emisi untuk 146 pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara. Sementara Malaysia dan Thailand menargetkan peluncuran mekanisme harga karbon nasional pada 2025.
Namun, keberagaman kebijakan ini menyimpan risiko baru. Tanpa koordinasi regional, perusahaan bisa berpindah produksi ke negara dengan tarif karbon yang lebih murah. Fenomena ini dikenal sebagai belanja karbon. Akibatnya, negara dengan tarif tinggi akan kehilangan investasi, dan efektivitas kebijakan kawasan akan melemah. Maka, harmonisasi kebijakan menjadi keniscayaan.
Ada empat prinsip dasar yang dapat menjadi fondasi desain tarif karbon ASEAN. Pertama, penerapan bertahap yang membedakan karakter sektor. Industri padat energi seperti baja dan semen memerlukan masa transisi lebih panjang. Izin emisi gratis bisa diberikan hingga 80% di awal, lalu dikurangi 5% setiap tahun. Ini meniru langkah Singapura yang memberikan transitional allowance hingga 2030 bagi industri yang berorientasi ekspor.
Kedua, seluruh pendapatan tarif karbon harus didaur ulang. Tanpa siklus balik ini, kebijakan akan terasa seperti pajak tambahan.
Setidaknya 30% dari pendapatan harus digunakan untuk mendanai efisiensi energi dan surya atap, 20% untuk pelatihan ulang tenaga kerja, dan sisanya untuk subsidi listrik rumah tangga miskin. Dengan alokasi seperti ini, lonjakan biaya listrik industri dapat ditekan dan sekaligus menciptakan pasar kerja baru.
Ketiga, harga karbon harus terhubung dengan jaringan listrik lintas negara. Interkoneksi antarnegara memungkinkan Laos menyalurkan listrik hidro ke Singapura saat malam dan Indonesia mengekspor energi surya ke Malaysia saat siang. Ini mengurangi kebutuhan baterai, menurunkan biaya, dan memperkuat efisiensi kawasan.
Keempat, penetapan harga dasar regional menjadi sangat penting. Usulan harga dasar sebesar US$ 5 per ton pada 2027 dan meningkat secara bertahap hingga US$ 30 pada 2035 akan menciptakan kerangka yang jelas. Negara berkembang tetap memiliki ruang fleksibilitas, sementara negara maju bisa tetap memimpin.
Dalam skenario ini, Indonesia memiliki posisi kunci. Dengan jumlah penduduk terbanyak di kawasan, tekanan sosial dari kenaikan harga energi harus dikelola hati-hati.
Namun, potensi penerimaan dari tarif karbon juga besar. Pada harga Rp 100 ribu per ton, penerimaan negara bisa mencapai Rp 120 triliun per tahun. Dana sebesar ini cukup untuk menggandakan kapasitas pembangkit surya atap dan menyambungkan listrik ke jutaan rumah tangga desa.
Indonesia juga bisa memperluas cakupan skema perdagangan emisi dari sektor kelistrikan ke industri baja dan semen, sambil menyediakan insentif bagi pembangkit energi hijau di kawasan industri strategis. Dengan begitu, hilirisasi mineral seperti nikel dan tembaga tidak hanya mendukung rantai pasok global, tetapi juga memenuhi tuntutan pasar global akan produk berkarbon rendah.
Eropa telah lebih dahulu menerapkan mekanisme penyesuaian perbatasan karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism) untuk baja, pupuk, semen, dan aluminium. Jika ASEAN tidak menyiapkan harga karbon domestik yang kredibel, eksportir kita justru akan membayar lebih mahal di pelabuhan Rotterdam daripada di dalam negeri. Di titik inilah harga karbon bukan sekadar kebijakan lingkungan, melainkan alat pertahanan perdagangan dan strategi keberlanjutan industri kawasan.
Mekanisme perdagangan karbon antarnegara juga perlu diperluas. Dengan membentuk pusat bursa karbon ASEAN, perusahaan dapat membeli kredit karbon dari proyek restorasi mangrove di negara lain, selama mekanisme pemantauan memenuhi standar global. Ini membuka likuiditas, menurunkan biaya kepatuhan, dan menciptakan sumber devisa baru dari proyek hijau skala kecil.
Tarif karbon memang menuntut tata kelola transparan dan komitmen politik yang kuat. Tanpa keduanya, ia hanya menjadi pajak regresif. Namun, jika dirancang dengan tahapan yang adil, pendapatan yang didaur ulang, integrasi jaringan energi, dan kesepakatan regional yang solid, kebijakan ini justru bisa memperkuat daya saing kawasan.
Indonesia dan ASEAN memiliki peluang bersejarah untuk membuktikan bahwa melindungi bumi tidak harus menghentikan mesin industri. Dengan keberanian menyusun kebijakan karbon yang cerdas dan adil, kawasan ini dapat tumbuh hijau tanpa kehilangan daya saingnya, bahkan menjadi penggerak utama ekonomi rendah emisi di abad ke-21.