Ironi Anggaran Pertahanan Indonesia 1% terhadap PDB

Alman Helvas Ali CNBC Indonesia
Selasa, 12/08/2025 11:10 WIB
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi C... Selengkapnya
Foto: Presiden Prabowo Subianto menghadiri Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer, yang diisi dengan penganugerahan pangkat kehormatan kepada purnawirawan TNI serta penyematan Bintang Sakti bagi tokoh berjasa dalam operasi strategis, di Lapangan Suparlan, Pusdiklatpassus, Batujajar, Bandung, Jawa Barat, pada Minggu (10/8/2025). (X/@prabowo)

Organisasi TNI terus mengalami perubahan sejak 2019 dengan penambahan organisasi baru yang berkonsekuensi pada terciptanya ruang jabatan baru. Dalam perkembangan mutakhir, organisasi TNI kembali mengalami perubahan berupa validasi organisasi yang didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2025.

Selaras dengan hal tersebut, organisasi Kementerian Pertahanan pun mengalami ekspansi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2025, di mana dibentuk satuan kerja baru seperti Badan Pemeliharaan dan Perawatan Pertahanan dan Badan Cadangan Nasional serta transformasi Badan Sarana Pertahanan menjadi Badan Logistik Pertahanan. Perubahan organisasi TNI mempertegas kebijakan zero growth di bidang personel yang diterapkan sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini sudah ditinggalkan.


Sejak perubahan organisasi TNI pada 2019 yang mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019, tidak dapat dibantah bahwa jumlah ruang jabatan untuk perwira tinggi meningkat cukup tajam. Ruang jabatan yang dulu diisi oleh kolonel kemudian diduduki oleh perwira tinggi bintang satu, begitu pula ruang jabatan yang sebelumnya ditempati oleh perwira tinggi bintang satu digantikan oleh perwira tinggi bintang dua dan seterusnya.

Sebagai hasil perubahan organisasi TNI pada tahun ini, sebagai ilustrasi terdapat 29 jabatan perwira tinggi bintang tiga di lingkungan Mabes TNI dan mabes angkatan. Terdapat pula ruang jabatan yang sebelumnya dijabat oleh perwira tinggi bintang satu kini ditempati oleh perwira tinggi bintang dua, seperti jabatan Komandan Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral) di mana Kodaeral sesungguhnya hanya perubahan nama organisasi yang sebelumnya dikenal sebagai Lantamal.

Dari sisi anggaran, Kementerian Pertahanan dan TNI merupakan satu kesatuan. Sebab dalam hal kebijakan strategi pertahanan dan dukungan administrasi yang terkait dengan perencanaan strategis, TNI berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.

Terkait anggaran pertahanan, sejak era reformasi, salah satu keluhan dari berbagai pihak adalah nilai persentase anggaran tersebut tidak pernah mencapai satu persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Isu itu selalu dikaitkan dengan pelaksanaan modernisasi kekuatan pertahanan, khususnya akuisisi sistem senjata, sehingga kemampuan pertahanan Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di kawasan seperti Singapura dan Australia.

Sementara pada sisi lain, kegiatan pengadaan sistem senjata dari masa Orde Baru sampai kini selalu bertumpu pada Pinjaman Luar Negeri (PLN) mengingat penggunaan 100 persen Rupiah Murni tidak memungkinkan secara fiskal.

Memperhatikan secara seksama Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dari tahun fiskal 2020 hingga 2023, realisasi anggaran pertahanan selalu di atas pagu, kecuali pada tahun anggaran 2021. Pada 2020, pagu anggaran pertahanan ialah Rp 131,18 triliun dengan realisasi anggaran senilai Rp 138,871 triliun.

Selanjutnya pada tahun 2021, realisasi anggaran pertahanan sebesar Rp 125,886 triliun atau di bawah pagu Rp 137,19 triliun. Sementara pada 2022, alokasi anggaran pertahanan adalah Rp 133,9 triliun dengan realisasi anggaran mencapai Rp 150,438 triliun.

Sebanyak Rp 134,32 triliun adalah pagu anggaran pertahanan pada 2023, akan tetapi realisasi anggaran menembus Rp 171,548 triliun. Adapun untuk tahun fiskal 2024 belum tersedia data berapa realisasi anggaran pertahanan dari pagu senilai Rp 139,26 mengingat bahwa LKPP tahun 2024 belum diterbitkan.

Namun berdasarkan outlook Kementerian Keuangan, realisasi anggaran pertahanan pada tahun lalu dapat mencapai Rp.175,112 triliun. Pada tahun anggaran 2025 di mana alokasi anggaran pertahanan senilai Rp 166,3 triliun, realisasi anggaran pertahanan mengacu pada outlook Kementerian Keuangan bisa menembus rekor Rp 247,5 triliun.

Jika outlook Kementerian Keuangan terbukti dan kemudian diperkuat oleh LKPP tahun 2025 yang diharapkan keluar pada tahun depan, maka tahun fiskal 2025 merupakan pertama kalinya sejak 1998 anggaran pertahanan menembus satu persen terhadap PDB. Pencapaian tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan sektor pertahanan sebagai salah satu prioritas dalam belanja pemerintah.

Namun tentu saja pencapaian tersebut menandakan bahwa terdapat anggaran sektor lain yang dialihkan ke anggaran pertahanan mengingat bahwa kondisi fiskal pemerintah pada tahun ini di bawah tekanan besar yang disebabkan oleh sejumlah faktor dalam negeri dan luar negeri. Terkait dengan anggaran pertahanan yang menurut outlook Kementerian Keuangan akan mencapai satu persen terhadap PDB pada tahun ini, terdapat sejumlah hal yang patut untuk diperhatikan.

Pertama, alokasi belanja. Sampai saat ini dengan outlook anggaran pertahanan senilai Rp 247,5 triliun, belum tersedia data berapa alokasi untuk tiga pos belanja, yaitu belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal. Jika memperhatikan beberapa program di sektor pertahanan yang saat ini tengah berjalan, patut untuk diduga bahwa belanja pegawai akan menyedot porsi terbesar dari outlook tersebut.

Pemekaran organisasi TNI, termasuk pembentukan 100 batalyon teritorial pembangunan pada tahun ini dengan target rekrutmen 24 ribu prajurit, selain menyerap anggaran belanja pegawai yang cukup besar, juga menyedot anggaran belanja modal dan belanja barang yang tidak sedikit bila satuan kerja yang dibentuk belum memiliki fasilitas seperti perkantoran/markas, perumahan dan lain sebagainya.

Kedua, akuisisi sistem senjata. Andaikata tidak ada perubahan hingga akhir tahun anggaran 2025, nilai alokasi dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) bagi aktivasi kontrak pengadaan sistem senjata yang dibiayai oleh PLN akan kurang dari Rp 5 triliun.

Dengan kata lain, besaran anggaran belanja modal yang dikucurkan untuk impor sistem senjata amat sangat kecil dibandingkan dengan nilai total outlook anggaran pertahanan di saat fakta menunjukkan pembelian sistem senjata dari luar negeri masih menjadi tumpuan utama kekuatan pertahanan Indonesia daripada sistem senjata buatan domestik.

Pada sisi lain, terdapat pos pembayaran utang pada alokasi belanja modal sebagai konsekuensi adanya PLN Kementerian Pertahanan yang jatuh tempo tahun ini. Baik itu yang berbentuk utang pokok dan bunga utang.

Berdasarkan fakta pertama bahwa outlook Kementerian Keuangan menyatakan bahwa realisasi anggaran pertahanan bisa menembus rekor Rp 247,5 triliun atau satu persen terhadap PDB dan fakta kedua yakni besaran anggaran belanja modal yang diperuntukkan bagi dana RMP sangat kecil, tidak berlebihan untuk menilai sejauh ini tidak ada korelasi otomatis antara besaran anggaran pertahanan terhadap PDB dengan kegiatan modernisasi kekuatan pertahanan lewat pengadaan sistem senjata.

Apakah nilai anggaran pertahanan satu persen atau 1,5 persen atau bahkan 2 persen terhadap PDB, kebijakan politik mengenai penggunaan anggaran tersebut jauh lebih penting. Bila pengambil keputusan tidak memberikan prioritas untuk pembiayaan belanja pengadaan sistem senjata sebagai bagian dari modernisasi kekuatan pertahanan, maka angka persentase terhadap PDB menjadi kurang berarti.

Walaupun pada MEF 2020-2024 Kementerian Pertahanan menerima alokasi PLN US$ 25 miliar bagi belanja sistem senjata, dengan outlook anggaran pertahanan pada tahun ini yang mencapai satu persen terhadap PDB, pencapaian demikian tidak otomatis menjadikan pembiayaan akuisisi sistem senjata menjadi prioritas belanja.


(miq/miq)