8 Dekade Republik Indonesia dan Pengarusutamaan Rakyat

Nicholas Martua Siagian, S.H. CNBC Indonesia
Selasa, 12/08/2025 10:00 WIB
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan ... Selengkapnya
Foto: Upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta, 17 Agustus 2022. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden RI)

"Jenderal, turunkan tanganmu. Apa yang kau hormati siang dan malam itu? Apakah karena mereka yang di depanmu itu memakai roda empat? Tidak semua dari mereka pantas kau hormati. Turunkan tanganmu, Jenderal."


Kalimat ini, yang diucapkan oleh Naga Bonar dalam film "Naga Bonar Jadi 2" pada tahun 2007 terus bergema di kepala saya. Film tersebut bercerita tentang konflik antara Naga Bonar, mantan pejuang kemerdekaan yang konservatif, dengan anaknya Bonaga yang ingin membangun resor di tanah keluarga. Di balik konflik itu, film ini mengangkat isu kebangsaan, benturan nilai antar-generasi, dan modernisasi.

Ketika saya kembali mendengar potongan adegan itu-yang kini banyak beredar di media sosial, saya terdiam dan merenung melihat kondisi perjalanan bangsa kita. Dalam kenyataan hari ini, kita seolah tidak lagi hidup dalam nilai yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Perjuangan kemerdekaan tampak bergeser menjadi simbol kosong yang lebih sering diperingati secara seremonial ketimbang dijalani sebagai nilai hidup.

Nasionalisme Semu
Nilai kebangsaan dan empat konsensus berbangsa dan bernegara-Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika-perlahan memudar. Kita melihat para koruptor yang ditangkap justru tersenyum di depan kamera, bahkan berkelakar seolah korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa. Di sisi lain, gaya hidup mewah istri dan keluarga pejabat dipertontonkan di tengah rakyat yang menderita, menunjukkan betapa jauhnya jarak moral antara penguasa dan rakyat.

Kita juga menyaksikan gejala yang lebih subtil, seperti penyalahgunaan identitas negara untuk kepentingan pribadi. Lihatlah para taruna sekolah kedinasan yang menggunakan atribut negara yang dipamerkan di media sosial, berkencan dengan pasangannya dengan seragam negara, seakan 'privilege' itu bukan untuk publik, melainkan alat eksistensi pribadi.

Bayangkan, ketika mereka masih di bangku pendidikan, bibit konflik kepentingan sudah terlihat. Ini adalah awal dari praktik yang melanggengkan pola pikir koruptif, dan yang lebih berbahaya lagi, sistem tetap dan melanggengkan, padahal praktik-praktik semacam ini sangat jauh dari nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan.
Fenomena ini tidak berhenti pada pendidikan.

Kita melihat kenyataan lain yang begitu pahit. Mobil dinas dan kendaraan pengawalan digunakan untuk antar-jemput keluarga ke salon, pusat perbelanjaan, bahkan tempat wisata. Fasilitas negara diperlakukan sebagai milik pribadi. Publik menyaksikan dan mengeluh di media sosial, namun sistem tidak pernah memberi sanksi.

Struktur pemerintahan melahirkan 'raja-raja kecil' yang berdiri di atas hukum dan moralitas, menikmati feodalisme gaya baru yang mereka ciptakan sendiri. Kondisi seperti ini pada akhirnya membawa kita pada satu kesimpulan yang tidak dapat dihindari, yaitu perlunya perbaikan sistem secara menyeluruh dan terstruktur.

Sebuah sistem yang sudah terjebak dalam kerusakan, praktik koruptif, dan perilaku menyimpang dari nilai-nilai luhur Pancasila tidak akan memiliki kapasitas untuk memperbaiki dirinya sendiri tanpa intervensi serius. Sistem yang dibiarkan berjalan dengan logika lama akan cenderung mereproduksi ketidakadilan, mengokohkan ketimpangan, dan memelihara status quo yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Apabila keadaan ini terus berlangsung tanpa reformasi kelembagaan yang nyata, maka konsekuensi yang harus ditanggung adalah semakin memburuknya kualitas pelayanan publik, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap negara, dan semakin beratnya beban penderitaan yang harus dipikul oleh rakyat kebanyakan sebagai pihak yang paling rentan terhadap dampak kegagalan tata kelola.

Membaca Sejarah
Sejarah mencatat, dalam pidato Bung Karno tahun 1963, ia mengutip H.A. Notosoetardjo: "Imperialisme zaman sekarang berbuahkan 'negeri-negeri mandat' alias mandatgebieden, daerah-daerah pengaruh alias involedssferen dan lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuahkan negeri jajahan-koloniasa-bezit."

Hari ini, penjajahan memang tidak lagi menggunakan meriam, tetapi berbentuk pinjaman, investasi rakus, proyek raksasa, dan kerja sama internasional yang mengikat negara berkembang dalam ketergantungan.

Fenomena ini bukan hal baru. Pada masa kolonial, tanah rakyat diserahkan kepada perusahaan asing, petani dipaksa bekerja tanpa upah di tanah leluhurnya sendiri, dan berbagai pajak yang mencekik diterapkan.

Sardiman AM dan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Sejarah Indonesia (2013) menulis betapa banyak pajak absurd yang dikenakan kepada rakyat, bahkan ibu yang menggendong anak pun dikenai pajak. Douwes Dekker dalam Max Havelaar menunjukkan bagaimana pejabat lokal berubah menjadi 'aristokrasi kecil' yang menindas rakyat atas nama kolonial.

Di sisi lain, dalam buku berjudul: "Suatu Masalah Kulturil dan Modernisasi (1969)," oleh B. Soedarso menjelaskan bahwa Belanda menunggangi kekuasaan bupati sebagai benteng aristokrasi. Sistem ini mewariskan budaya 'raja-raja kecil' yang terus ada hingga kini. Hari ini, bentuknya mungkin berbeda, tetapi substansinya sama: pejabat rendah maupun tinggi yang menggunakan jabatan sebagai alat memperkaya diri.

'Raja-raja kecil' masa kini bukan lagi bangsawan dengan keris, melainkan pejabat berjas dan berdasi dengan mobil dinas dan akses kekuasaan. Korupsi mengakar dalam sistem, seperti kasus tata kelola minyak mentah PT Pertamina senilai Rp 193,7 triliun atau suap kepada pejabat MA senilai Rp 915 miliar plus logam mulia.

Dua dekade terakhir, kerugian negara akibat korupsi mencapai triliunan rupiah, namun aktor utama sering kali lolos. Korupsi bukan karena gaji kecil, tapi karena sistem yang tidak mampu memisahkan amanah dari kerakusan.

Sementara itu, penderitaan rakyat semakin dalam. Bank Dunia menyebut 68,3 persen rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan pada 2024, sementara versi BPS menyebut hanya 8,57 persen. Perbedaan ini menunjukkan bahwa statistik seringkali hanya jadi topeng. Di lapangan, orang yang sedikit di atas garis kemiskinan pun tetap hidup tanpa kelayakan.

Kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan ketimpangan akses pendidikan, pekerjaan, dan modal. Pemerintah sering sibuk dengan program populis yang fotogenik, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Tanpa reformasi struktural-di bidang agraria, birokrasi, pengelolaan sumber daya, pembangunan SDM, distribusi ekonomi, dan penegakan hukum-kemiskinan akan terus menjadi warisan.

Warisan kolonial sesungguhnya tidak pernah benar-benar hilang dari struktur sosial-politik kita; ia hanya bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan konteks zaman. Jika pada masa lalu kekuasaan kolonial Belanda menggunakan figur-figur lokal seperti bupati sebagai perpanjangan tangan untuk mengendalikan rakyat, maka pada era kontemporer wajah kekuasaan itu beralih rupa menjadi kekuatan oligarki yang menunggangi sistem demokrasi.

Pola relasi kuasa yang terjadi pada akhirnya menghasilkan konsekuensi yang serupa: rakyat kembali berada di pinggir proses pengambilan keputusan, menjadi objek kebijakan alih-alih subjek yang berdaulat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemerdekaan Indonesia secara substantif belum sepenuhnya tercapai.

Tantangan terbesar kita hari ini bukan lagi kolonialisme yang datang dari luar, tetapi bentuk penjajahan baru yang lahir dari dalam negeri sendiri, melalui kepentingan segelintir elit yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi.

Rakyat yang Merdeka
Pada tahun 2025, negeri ini memasuki usia 80 tahun kemerdekaan. Sebuah angka yang secara simbolik mestinya menjadi penanda kedewasaan bangsa. Namun, perayaan ini juga memaksa kita untuk bercermin dengan jujur dan mengajukan pertanyaan yang paling mendasar: apakah rakyat Indonesia benar-benar telah merdeka? Apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun telah membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan struktural yang diwariskan turun-temurun?

Apakah bangsa ini telah sepenuhnya lepas dari cengkeraman budaya feodalisme yang selama berabad-abad menempatkan rakyat sebagai kelas kedua di tanah airnya sendiri? Dan apakah para pejabat publik telah bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mencederai amanat konstitusi? Kenyataan di lapangan menjawab pertanyaan ini dengan getir: sebagian besar rakyat kita belum merasakan kemerdekaan dalam makna yang sesungguhnya.

Kemerdekaan sejati sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada sekadar terbebas dari kekuasaan asing. Hakikat kemerdekaan yang substantif adalah terbebasnya rakyat dari segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri melalui struktur sosial, politik, dan ekonomi yang timpang.

Merdeka bukan sekadar memiliki bendera dan lagu kebangsaan, tetapi memastikan rakyat menjadi subjek aktif dalam proses perubahan, bukan hanya penonton yang pasif terhadap penderitaan yang terus berulang.

Merdeka berarti memastikan pengarusutamaan rakyat dalam setiap kebijakan, program, dan instrumen pembangunan nasional. Hal ini mencakup jaminan atas hak setiap warga negara untuk hidup layak dan bermartabat sebagai fondasi kesejahteraan berkelanjutan.

Merdeka juga berarti menyediakan pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan berpihak pada seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya bagi mereka yang memiliki kapasitas ekonomi untuk membeli kesempatan. Kemerdekaan menuntut tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, yang secara konsisten menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok atau oligarki.

Kemerdekaan juga mensyaratkan sistem demokrasi yang tangguh, yang kebal terhadap pembajakan oleh modal maupun transaksionalisme politik. Lebih jauh, merdeka berarti membangun ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif, produktif, dan adaptif, sehingga setiap anak bangsa memperoleh ruang untuk mengembangkan potensi terbaiknya.

Dengan pengarusutamaan rakyat sebagai prinsip utama, kemerdekaan menjadi instrumen strategis untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi, sosial, dan politik benar-benar memihak pada kepentingan mayoritas dan keberlanjutan bangsa.

Delapan dekade setelah proklamasi, kita justru menyaksikan lahirnya bentuk baru kekuasaan: 'raja-raja kecil' yang tidak bersemayam di istana, melainkan bercokol di berbagai pusat kekuasaan lokal dan nasional, beroperasi diam-diam melalui patronase dan jejaring kepentingan.

Mereka tidak menindas dengan senjata, tetapi dengan kebijakan yang tidak adil, dengan sistem yang meminggirkan. Karena itu, perayaan kemerdekaan yang ke-80 ini harus menjadi momentum untuk menuntaskan perlawanan terhadap feodalisme gaya baru dan oligarki yang bersembunyi di balik demokrasi.

Sudah saatnya rakyat kembali ditempatkan sebagai pemilik sejati dari kemerdekaan ini. Sebab, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata pada tahun 1945 bukanlah hadiah bagi segelintir elit, melainkan hak kolektif seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaan yang harus terus kita ulangi dengan lantang, bahkan setelah 80 tahun merdeka adalah: kemerdekaan ini milik siapa? Jika jawabannya belum tegas berpihak kepada rakyat, maka tugas sejarah kita belum selesai.


(miq/miq)