Hidrogen untuk Pupuk, Inovasi Ketahanan Pangan yang Baru

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
09 August 2025 05:10
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Pupuk Sriwijaya (Dok. Pusri)
Foto: Ilustrasi pupuk urea. (Dokumentasi Pupuk Sriwijaya)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ketika harga cabai melambung dan masyarakat bertanya-tanya siapa yang bersalah, jawaban yang umum terdengar biasanya adalah cuaca dan distribusi. Namun, ada satu akar masalah yang jarang disorot: ketergantungan industri pupuk Indonesia pada gas alam.

Lebih dari 70 persen biaya produksi amonia, yang menjadi bahan utama urea dan pupuk NPK, bersumber dari gas. Akibatnya, ketika harga gas dunia melonjak atau pasokan terganggu, subsidi pupuk bisa membengkak di atas Rp 40 triliun per tahun. Situasi ini tak hanya menyedot ruang fiskal, tetapi juga memperbesar risiko gangguan terhadap produktivitas pangan.

Ketika pasokan pupuk tersendat, dampaknya langsung terasa di sawah. Biaya tanam meningkat, hasil panen menurun, dan pada akhirnya, ancaman krisis pangan membayangi. Maka, membangun rantai pasok pupuk yang tidak mudah terguncang menjadi kunci dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Di sinilah peran hidrogen hijau semakin relevan. Energi bersih ini tidak hanya mampu menggantikan gas alam sebagai bahan baku amonia, tetapi juga membuka jalan bagi transformasi menuju industri pupuk yang lebih mandiri, tangguh, dan berkelanjutan.

Teknologi elektrolisis air kini memungkinkan kita menghasilkan hidrogen dengan emisi nyaris nol, asalkan listriknya berasal dari energi terbarukan seperti surya, angin, atau hidro. Jika dimanfaatkan dalam proses pembuatan pupuk, hidrogen ini dapat menggantikan hidrogen dari gas alam dalam proses sintesis amonia.

Biaya produksi hidrogen hijau secara global juga terus menurun. Dari sekitar US$ 4 per kilogram pada tahun 2020, kini mendekati US$ 2,5 dolar dan diperkirakan bisa mencapai satu setengah dolar pada tahun 2030. Ini hampir setara dengan harga hidrogen konvensional dari gas alam di Indonesia yang berada di kisaran US$ 1,7 hingga US$ 2.

Keunggulan hidrogen hijau bukan hanya dari sisi emisi. Ia bisa diproduksi dekat dengan lokasi pabrik pupuk atau lahan pertanian terpencil, sehingga mengurangi ketergantungan pada distribusi gas alam yang mahal dan berisiko.

Sebagai gambaran, pembangunan pembangkit surya dan angin dengan kapasitas 800 MW di kawasan seperti Nusa Tenggara Timur bisa menghasilkan 130 ribu ton hidrogen per tahun, cukup untuk memproduksi 750 ribu ton amonia atau 1/3 kebutuhan pupuk urea nasional.

Langkah integrasi teknologi ini pun bisa dimulai dengan pendekatan bertahap. Pabrik pupuk seperti Pupuk Kujang di Cikampek dan Pupuk Kaltim di Bontang yang sedang melakukan peremajaan turbin dapat menambahkan unit elektroliser berkapasitas 200 MW untuk mengurangi konsumsi gas hingga 25 persen.

Pemerintah juga dapat mendorong skema perjanjian pembelian energi antara produsen hidrogen dan PLN, di mana PLN membeli kelebihan listrik saat beban rendah, sementara amonia hijau diserap oleh Pupuk Indonesia dengan skema harga yang mencerminkan insentif lingkungan.

Dukungan kebijakan menjadi syarat mutlak. Rancangan Peraturan Presiden mengenai ekosistem hidrogen dan amonia hijau harus mencakup sertifikasi energi terbarukan, pengaturan penggunaan air baku, serta insentif fiskal seperti pembebasan bea masuk untuk komponen teknologi terkait.

Di sektor pertanian, Kementerian Pertanian perlu memperbarui standar nasional pupuk agar membuka jalan bagi produk rendah karbon, sekaligus memberi peluang pada ekspor pupuk ke pasar global yang mulai menerapkan standar keberlanjutan.

Jika roadmap ini dijalankan secara konsisten, Indonesia bisa mengurangi beban subsidi pupuk hingga 30 persen. Emisi dari sektor pupuk yang saat ini mencapai 10 juta ton karbon dioksida ekuivalen per tahun bisa ditekan hingga separuhnya.

Ketahanan energi pun meningkat karena ketergantungan pada impor gas cair dan jaringan pipa antar provinsi berkurang. Tak kalah penting, muncul permintaan baru untuk pembangkit energi terbarukan skala besar, yang membuka lapangan kerja di sektor konstruksi dan manufaktur.

Model ini juga membuka peluang diplomasi energi. Dengan skala produksi modular 100 ribu ton per tahun, Indonesia bisa mengekspor amonia hijau ke negara-negara kepulauan Pasifik yang sedang mencari pasokan energi bersih. Hidrogen hijau bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang memperkuat pengaruh ekonomi regional.

Namun tantangan tetap ada. Biaya awal pembangunan, intermitensi energi terbarukan, serta kebutuhan penyimpanan hidrogen masih tinggi. Solusi seperti obligasi transisi berbasis kinerja dan skema pembiayaan inovatif perlu dikembangkan.

Di sisi lain, ketersediaan air tawar di lokasi kering bisa dijawab melalui teknologi desalinasi berenergi rendah. Regulasi keselamatan hidrogen juga perlu diperkuat agar tidak mengulang lambatnya regulasi gas cair pada awal tahun 2000-an.

Penting juga membangun pemahaman di tingkat akar rumput. Petani perlu mengetahui manfaat pupuk rendah emisi melalui sistem e-voucher berbasis aplikasi digital yang sekaligus menjadi sarana edukasi. Transparansi distribusi dan akuntabilitas penyaluran subsidi harus menjadi prioritas agar inovasi ini benar-benar terasa dampaknya.

Delapan dekade setelah kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada tantangan ganda: menjaga pangan tetap terjangkau dan memastikan energi tetap tersedia di tengah krisis iklim. Hidrogen hijau memberikan satu jawaban untuk dua persoalan besar. Ia menjembatani dunia petani dan teknolog, menghubungkan desa dan pusat industri, serta menyatukan agenda kemandirian energi dan kedaulatan pangan dalam satu narasi kebangsaan yang baru.

Kini saatnya pemerintah mengambil keputusan berani. Dengan dukungan regulasi yang pasti, insentif yang tepat sasaran, dan visi jangka panjang yang menyatu lintas kementerian, Indonesia dapat menjadi pelopor pupuk hijau di Asia. Bila langkah ini diwujudkan, kita tidak hanya menumbuhkan padi di tanah subur, tetapi juga harapan baru bagi generasi masa depan yang hidup dalam negeri yang terang dan kenyang.


(miq/miq)