Ketika Anime Menjadi Bahasa Politik Masyarakat Indonesia

Darynaufal Mulyaman CNBC Indonesia
Senin, 04/08/2025 05:40 WIB
Darynaufal Mulyaman
Darynaufal Mulyaman
Darynaufal Mulyaman adalah seorang akademisi yang sekarang menjadi pengajar di Universitas Kristen Indonesia pada bidang Hubungan Internasio... Selengkapnya
Foto: Bendera Jolly Rogers One Piece. (Dokumentasi www.onepiece.fandom)

Di jalan-jalan kota besar Indonesia hingga lorong-lorong digital TikTok dan X, berkibar satu bendera yang tidak dikenal dalam UUD 1945, yaitu, bendera Bajak Laut Topi Jerami dari serial anime atau animasi Jepang, One Piece. Pada awalnya dianggap sebagai lelucon fandom atau basis penggemar, tetapi hari ini simbol itu menjadi alat ekspresi sosial dari kekecewaan yang tak bisa lagi dijelaskan dengan bahasa formal negara.


Generasi muda Indonesia, yang merasa kehilangan harapan pada politik, ekonomi, dan representasi, memilih mengibarkan lambang tengkorak bertopi jerami, bukan Merah Putih, sebagai bentuk simbolik dari sikap "kami tidak merasa diwakili" menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Ini bukan sekadar kegiatan basis penggemar semata, ini adalah bahasa baru dari protes sosial yang harus diperhatikan. Mengapa terjadi? Apa implikasinya?

Data dari YouGov tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat konsumsi anime tertinggi di dunia. Lebih dari 60% pengguna internet berusia 18-34 tahun menonton anime secara rutin, dengan One Piece, Attack on Titan, dan Naruto sebagai tiga besar tontonan yang paling digemari.

Hal ini diperkuat oleh laporan dari Pop Culture Survey Southeast Asia 2023 yang mencatat bahwa 74% responden Indonesia mengakses konten Jepang minimal seminggu sekali, baik dalam bentuk anime, manga, maupun musik J-Pop. Di Korea Selatan, angka konsumsi anime juga tinggi, namun dengan karakter yang berbeda.

Pemerintah Korsel justru mengembangkan industri animasi lokal dan aktif menyensor konten yang dianggap terlalu "anti-otoritarian," seperti Death Note atau Tokyo Ghoul. Tahun 2016, Komisi Komunikasi Korsel bahkan memblokir lebih dari 5.000 situs manga ilegal demi mengendalikan konten yang mereka nilai "tidak sehat."

Perbandingan ini memperlihatkan kontras antara dua negara, yaitu Korsel mencoba mengatur selera warganya, sementara Indonesia membiarkan pop culture atau budaya populer berkembang organik, sehingga akhirnya menciptakan makna politik tersendiri.

Pada konteks One Piece, masyarakat menemukan narasi alternatif tentang keadilan, loyalitas, dan kepemimpinan. Monkey D. Luffy adalah antitesis dari elite politik Indonesia. Tokoh Luffy tidak pernah bermimpi menjadi penguasa, hanya ingin membebaskan temannya dan mengalahkan tirani. Sementara para pemimpin dunia nyata, sama seperti tokoh rezim pemerintah dalam dunia Luffy, dipenuhi dengan drama korupsi, komodifikasi jabatan, dan etika yang abu-abu.

Ketika bendera Topi Jerami dikibarkan, itu bukan sekadar penggemar yang sedang merayakan episode terbaru. Itu adalah kritik sosial yang dibungkus dalam imajinasi. Negara boleh menganggap ini remeh, bahkan mengancam akan mengkriminalkan simbol itu, tapi realitanya ini adalah sinyal bahwa bahasa negara tidak lagi dimengerti oleh generasi muda.

Pemerintah Indonesia yang lebih sibuk mengurus elektabilitas dan aliansi keluarga, gagal menangkap bahwa generasi muda hari ini tidak lagi merasa memiliki bangsa ini. Mereka merasa bangsa ini milik pemodal, dinasti, dan aktor-aktor politik yang hanya hadir saat pemilu tiba.

Simbol fiksi menjadi ruang pelarian sekaligus alat komunikasi. Ini bukan fenomena baru. Di Hong Kong, ribuan demonstran mengenakan simbol anime seperti Attack on Titan dalam protes terhadap kontrol Beijing. Di Amerika Serikat, karakter Joker dipakai dalam narasi ketimpangan sosial.

Bahkan di Jepang sendiri, anime dipandang bukan hanya sebagai hiburan, tapi sebagai refleksi dari dinamika sosial. Dalam studi yang diterbitkan oleh Asian Journal of Communication tahun 2021, disebutkan bahwa anime memiliki fungsi sebagai social imagination-cara bagi masyarakat untuk memproyeksikan harapan dan ketakutan mereka terhadap masa depan.

Lalu, apakah ini berbahaya? Justru sebaliknya. Ini adalah peluang. Negara yang cerdas seharusnya tidak melarang simbol, tapi mendengar suara di balik simbol itu. Ketika rakyat lebih percaya pada karakter fiksi daripada wakil rakyat asli, maka itu adalah krisis representasi, bukan krisis moralitas. Jika Luffy dianggap lebih layak jadi pemimpin daripada siapapun di DPR, maka bukan rakyat yang perlu diajari, tapi sistem yang harus ditinjau ulang.

Ada paradoks yang menggelitik di sini, yaitu dalam negara demokrasi, justru tokoh fiksi menjadi kanal paling jujur dari ekspresi sosial. Luffy tidak pernah meminta dipilih, tapi rakyat memilihnya. Ia tidak membangun persepsi, tapi dicintai karena keotentikannya.

Sementara kebanyakan politisi kita membangun pencitraan tanpa substansi, dan membanggakan program yang tidak pernah dirasakan. Inilah mengapa simbol Topi Jerami begitu kuat. Ia bukan sekadar tengkorak kosong, melainkan adalah harapan.

Pada laporan dari Statista tahun 2024, Indonesia menempati posisi kedua di Asia Tenggara sebagai pasar terbesar industri anime setelah Filipina, dengan nilai ekonomi mencapai US$ 130 juta. Angka ini tidak sekadar menunjukkan konsumsi hiburan, tapi memperlihatkan betapa dalamnya anime telah menjadi bagian dari budaya populer Indonesia.

TikTok, YouTube, bahkan marketplace lokal penuh dengan merchandise, fan art, dan narasi-narasi yang menjadikan anime sebagai bahasa sehari-hari. Dan ketika bahasa itu digunakan untuk menyampaikan aspirasi politik, maka negara tidak lagi bisa menutup mata.

Hal yang menarik, semua ini terjadi tanpa adanya gerakan formal. Tidak ada organisasi pengibar bendera Luffy. Tidak ada deklarasi politik. Hanya ada kesadaran kolektif bahwa realitas tidak menyenangkan, dan imajinasi memberi ruang untuk bermimpi. Bagi pemerintah, ini mungkin ancaman. Tapi bagi rakyat, ini adalah bentuk perlawanan paling damai, karena seperti hanya mengganti simbol yang lama karena sudah seperti kehilangan makna.

Di masa depan, mungkin akan muncul karakter fiksi lain yang menggantikan posisi Luffy. Tapi pesan yang disampaikan akan tetap sama, yaitu rakyat ingin didengar. Mereka tidak butuh pemimpin yang sempurna, hanya pemimpin yang jujur dan berpihak.

Jika negara gagal memahami ini, maka simbol-simbol alternatif akan terus tumbuh. Sebab ketika institusi gagal mewakili rakyat, maka fiksi akan mengambil alih fungsi representasi. Maka pertanyaannya bukan lagi "Apakah pengaruh anime itu nyata?" tapi "Mengapa rakyat lebih percaya pada anime daripada pada negara?"


(miq/miq)