Menuju COP30 Brasil: Indonesia Terdepan dalam Transisi Energi

Feiral Rizky Batubara, CNBC Indonesia
04 August 2025 05:25
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
A man sells flags of countries participating in the Soccer World Cup 2018, in San Jose, Costa Rica May 24, 2018. REUTERS/Juan Carlos Ulate
Foto: Ilustrasi bendera Brasil. (REUTERS/Juan Carlos Ulate.)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setahun setelah tepuk tangan penutupan COP29 bergema di Baku (ibu kota Azerbaijan), Indonesia muncul sebagai salah satu negara yang paling serius menjalankan komitmen iklim. Pemerintah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi 31,89 persen secara unconditional dan 53,2 persen conditional hingga 2030. Langkah konkret seperti pengurangan 5,5 GW PLTU batu bara, restorasi mangrove 600 ribu hektare, dan percepatan pembangkit EBT minimal 74 GW menjadi wujud implementasi, bukan sekadar diplomasi.

Perubahan ini diterjemahkan dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, pembentukan Bursa Karbon Nasional melalui Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023, serta penyusunan jalur regulasi untuk teknologi transisi seperti hidrogen hijau dan carbon capture.

PLN melalui RUPTL 2025-2034 memperlihatkan orientasi baru: 76 persen pembangkit baru bersumber dari EBT, ditopang 3,5 GW penyimpanan baterai dan Green Super Grid 48 ribu kilometer yang menghubungkan potensi listrik hijau luar Jawa ke pusat konsumsi.

Pembiayaan transisi juga mulai bergeser dari rencana ke realisasi. Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar kini masuk tahap eksekusi lewat Indonesia Investment Authority (INA) sebagai platform penyalur. Pemerintah menambah lelang SBN hijau hingga tiga kali setahun, menurunkan cost of capital proyek EBT hingga 40 basis poin. Bursa karbon juga mulai hidup, dengan lebih dari 130 emiten dan satu juta ton CO₂e diperdagangkan hanya dalam enam bulan pertama.

Sektor transportasi menyumbang akselerasi melalui realisasi B35 dan peta jalan B40. Produksi kendaraan listrik melonjak 180 persen di semester pertama 2025, dipicu insentif fiskal, pembebasan PPN, dan rencana penghapusan PPnBM untuk kendaraan berbasis hidrogen. Kebijakan ini diperkuat Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur standar minimum TKDN dan emisi.

Di sisi industri, Indonesia mengoptimalkan cadangan strategis-nikel, kobalt, dan tembaga-untuk membangun ekosistem baterai nasional. Pabrik HPAL generasi baru berhasil menurunkan intensitas emisi 18 persen. Pertamina NRE dan mitra Jepang memulai proyek hidrogen hijau di Balikpapan, yang akan disuntikkan ke jaringan pupuk pada 2027 dan menghemat 1,2 juta ton CO₂ per tahun.

Keberlanjutan ekologis pun mendapat fondasi kelembagaan. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove kini permanen, dengan mandat mengelola karbon biru. Koalisi Indonesia-Brasil-Kongo untuk harga dasar kredit karbon hutan sebesar USD15/ton CO₂ akan memperkuat daya tarik pasar sukarela dengan jaminan tata kelola dan derisking politik dari lembaga multilateral.

Indonesia juga sudah selangkah lebih maju dalam pengaturan. PP Nomor 36 Tahun 2025 tentang Rantai Pasok Mineral Baterai mewajibkan pelacakan ESG dari tambang ke baterai. Ini sejalan dengan praktik global dan menjadi model bagi negara selatan lainnya. Sementara itu, kerangka kelembagaan JETP menempatkan sovereign wealth fund sebagai trustee, menjembatani antara kepercayaan donor dan kedaulatan nasional.

Keteladanan Indonesia kini diakui. IEA memasukkan Indonesia ke dalam daftar Fast-Track Net Zero untuk negara berpendapatan menengah. Moody's menaikkan outlook utang, sebagian karena kredibilitas kebijakan iklim. Bank Dunia menyebut subsidi listrik surya atap Indonesia sebagai "model inklusif" karena menyasar UMKM dan rumah tangga kecil.

Dengan portofolio proyek hijau senilai lebih dari US$ 90 miliar, tiga hal bisa jadi kartu tawar Indonesia di COP30. Pertama, kejelasan pipeline proyek siap dan terverifikasi. Kedua, keberhasilan regulasi dan standar ESG di sektor mineral. Ketiga, model kelembagaan JETP yang dapat direplikasi global.

Tentu tidak semua jalan mulus. Ketergantungan fiskal pada batu bara dan minyak menuntut kebijakan diversifikasi pendapatan negara. Perlu mekanisme royalti progresif, pajak emisi kendaraan, dan kompensasi sosial bagi komunitas terdampak.

Namun, data tak bisa dibantah. Intensitas emisi per PDB turun 12 persen sejak 2010. Laju deforestasi terendah sepanjang sejarah. Investasi energi bersih mencapai US$ 14 miliar pada 2024, jumlah ini menunjukkan pertumbuhan hingga dua kali lipat dari jumlah investasi tahun sebelumnya. Semua ini terjadi hanya setahun setelah COP29, menjadikan Indonesia negara tercepat dalam eksekusi janji iklim di antara anggota G20.

COP30 bukan lagi ajang menjual komitmen, melainkan kesempatan menunjukkan capaian. Indonesia datang bukan membawa narasi, tetapi membawa rekam jejak. Dunia sedang mencari model transisi yang adil, cepat, dan tetap mendukung pertumbuhan.

Indonesia adalah buktinya. Kini saatnya pemerintah memperluas kolaborasi internasional, memperkuat transfer teknologi, dan membuka ruang investasi baru agar keberhasilan ini terus menciptakan multiplier effect yang positif.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation