RUU Kepariwisataan: Menyusun Ulang Arah, Membangun Masa Depan

Taufan Rahmadi CNBC Indonesia
Kamis, 31/07/2025 16:55 WIB
Taufan Rahmadi
Taufan Rahmadi
Taufan Rahmadi merupakan pria asli Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang sudah berkarier selama 20 tahun di bidang pariwisata. Ia pernah m... Selengkapnya
Foto: Pantai Marina Bukit Pramuka di Labuan Bajo, NTT. (Dokumentasi Brantas Abipraya)

RUU Kepariwisataan hadir bukan sekadar untuk memperbarui undang-undang lama. Ini merupakan momentum strategis untuk menyusun ulang arah pembangunan pariwisata Indonesia, dari yang seremonial menjadi substansial, dari pendekatan administratif menjadi saintifik dan ekosistemik, dari orientasi kuantitas menuju kualitas.



Dalam forum legislasi yang diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen bersama Biro Pemberitaan DPR RI di Jakarta, beberapa waktu lalu, sejumlah gagasan dan masukan penting mengemuka. Semuanya mengarah pada satu hal: perlunya reformulasi menyeluruh terhadap kebijakan pariwisata agar menjadi lokomotif ekonomi bangsa.

A. 6K: Pilar Utama Reformulasi Pariwisata

Untuk menyederhanakan kompleksitas tantangan dan substansi RUU, kita dapat menggunakan kerangka 6K:

1. Keamanan: Destinasi wisata harus menjadi ruang yang aman, nyaman, dan minim risiko bencana. Ini mencakup penguatan sistem intelijen wisata dan mitigasi darurat yang profesional.

2. Keadilan: RUU harus berpihak pada semua, tidak hanya investor besar, tetapi juga UMKM, desa wisata, dan komunitas lokal. Desentralisasi kewenangan dan insentif pembiayaan harus menjadi prioritas.

3. Kemanusiaan: SDM adalah roh sektor ini. Kurikulum pendidikan pariwisata, sertifikasi kompetensi, hingga ruang partisipasi masyarakat harus diperkuat secara sistemik.

4. Kapasitas: Atraksi, akses, dan amenitas harus dibangun seiring. Konektivitas antarpulau, akses ke destinasi terpencil, dan infrastruktur yang layak adalah prasyarat dasar.

5. Kesejahteraan: Pariwisata harus jadi penggerak ekonomi rakyat. Dana Abadi Pariwisata dan skema insentif harus berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

6. Keberlanjutan: Masa depan pariwisata adalah soal kualitas, bukan hanya kuantitas. Kelestarian alam, budaya, dan kehidupan masyarakat lokal harus menjadi pondasi utama.

B. Tiga Masalah Besar, Satu Solusi Strategis: Pariwisata

Di tengah gelombang PHK, defisit APBN, dan krisis devisa akibat ketidakpastian global, pariwisata muncul sebagai sektor yang mampu menjawab semuanya sekaligus.

Lapangan Kerja: Dengan menyerap 23 juta tenaga kerja (8,36% dari total nasional), pariwisata adalah sektor padat karya yang bisa langsung membuka peluang kerja di desa dan kota, dari homestay hingga atraksi budaya.

Sumber Pendapatan: Lewat Pajak Hotel dan Restoran (PHR), PNBP kawasan wisata, hingga Tourism Levy seperti yang mulai diterapkan di Bali (Rp150 ribu per wisatawan asing), pariwisata dapat memberi kontribusi fiskal hingga puluhan triliun per tahun tanpa membebani rakyat.

Sumber Devisa: Tahun 2018, pariwisata menyumbang devisa terbesar nasional (USD 19,29 miliar), melebihi CPO dan migas. Dengan memperkuat MICE, sport tourism, dan medical tourism serta strategi visa (termasuk golden visa), Indonesia berpeluang meraih devisa wisata USD 24 miliar pada 2029.

C. Reformulasi Kebijakan: Antara Gagasan, Realitas, dan Masa Depan

Reformasi pariwisata tak cukup hanya melalui retorika. Butuh keberanian mengubah struktur dan paradigma. Sejumlah agenda strategis yang mencuat dalam forum ini meliputi:

1. Pembentukan Indonesia Tourism Board (ITB)
Sudah lama diamanatkan UU No. 10/2009, namun belum terealisasi. ITB diharapkan menjadi lembaga koordinatif, profesional, non-politis, dan mandiri yang menyinergikan seluruh stakeholder pariwisata. Agar berjalan efektif, perlu disertai mekanisme pembiayaan yang akuntabel melalui skema BLU Pariwisata.

2. Mandeknya Rencana Induk RIPPARNAS dan RIPPARDA masih menjadi dokumen normatif tanpa implementasi nyata. Reformulasi harus menjadikan rencana induk sebagai pedoman wajib, terintegrasi dengan RPJMD dan APBD, serta dievaluasi secara berkala.

3. SDM dan Sertifikasi Minim Capaian
Baru 2% tenaga kerja pariwisata yang tersertifikasi. Dibutuhkan LSP di tiap kabupaten/kota, pelatihan asesor, serta subsidi biaya sertifikasi untuk memperluas akses kompetensi.

4. Sertifikasi Usaha vs Ekonomi Digital
Sertifikasi usaha berbasis risiko dari UU Cipta Kerja harus adaptif terhadap realitas digital. Konsumen kini lebih percaya pada rating Google dan TripAdvisor ketimbang dokumen formal. Pendekatan sertifikasi perlu direformulasi agar relevan.

5. Penegakan Aturan dan Kontribusi PAD
Banyak usaha wisata ilegal tidak memiliki izin dan tidak menyumbang pada PAD. Pengawasan dan harmonisasi regulasi pusat-daerah perlu diperkuat untuk menciptakan iklim usaha yang adil.

6. Reorganisasi Kelembagaan Kemenpar
Usulan restrukturisasi menjadi tiga direktorat jenderal Sport Tourism, MICE & Event, dan Heritage Tourism merupakan langkah untuk memfokuskan fungsi dan memperkuat eksekusi kebijakan.

7. Kebijakan Lintas Sektor
Pariwisata tidak bisa jalan sendiri. Konektivitas, infrastruktur, lingkungan, keamanan semuanya berada di kementerian/lembaga lain. Maka perlu satu orchestrator yang kuat agar pariwisata tak terus menjadi korban tumpang tindih regulasi.

D. Refleksi Global: Posisi Indonesia Masih Tertinggal

Dalam laporan Travel & Tourism Development Index (TTDI) 2024, Indonesia naik 10 peringkat ke posisi ke-22. Namun, kita belum masuk dalam 20 besar destinasi terbaik versi UN Tourism 2025. Sebaliknya, Indonesia berada di posisi ke-3 dalam State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2025 setelah Malaysia dan Arab Saudi. Artinya, kita punya potensi besar, namun belum tergarap optimal secara menyeluruh.

E. RUU sebagai Jalan Transformasi

RUU Kepariwisataan tidak boleh menjadi sekadar revisi redaksional. Ia harus menjadi alat transformasi struktural dan paradigma. Momentum reformulasi ini harus melahirkan regulasi yang berpihak pada rakyat, berbasis data dan ilmu, serta membuka jalan bagi pariwisata Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia yang lestari dan inklusif.

"RUU ini harus menghadirkan arah, bukan sekadar legalitas. Harus ada keberanian moral untuk mengubah pendekatan, agar pariwisata kita benar-benar menjadi harapan masa depan bukan sekadar warisan masa lalu."



(miq/miq)