Tarif 19%, Reformasi Ekonomi Rakyat, dan Inspirasi dari Korea Selatan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Selama lima dekade terakhir, negara-negara berkembang berpijak pada tiga asumsi: modal akan selalu melimpah, globalisasi terus menguat, dan geopolitik tidak akan menghambat. Kini, ketiga asumsi tersebut sedang dipertanyakan.
Utang global telah menembus US$315 triliun. China, yang dulu dianggap lokomotif pertumbuhan dunia, kini terjerat krisis properti, kelebihan kapasitas industri, dan utang daerah yang menumpuk. Di AS, tekanan fiskal dan menguatnya proteksionisme menandai akhir dari siklus utang jangka panjang. Sementara itu, lembaga multilateral seperti WTO makin lumpuh, dan jalur perdagangan global berubah menjadi titik panas ketegangan geopolitik.
Dalam kondisi ini, Indonesia tetap harus maju. Targetnya jelas: keluar dari jebakan pendapatan menengah, tumbuh di atas 6% per tahun, mandiri di sektor energi dan pangan, dan membangun industri lewat hilirisasi dan infrastruktur hijau. Tapi target ambisius tidak akan tercapai dengan sendirinya.
AS tumbuh berkat pasar modal yang dalam dan sektor swasta yang agresif. China melesat lewat kebijakan industri terpusat dan kekuatan fiskal negara. Indonesia tidak punya keduanya. Aset keuangan nasional hanya setara 72% dari PDB-jauh di bawah Brasil yang hampir 194%. Sementara itu, ruang fiskal kita semakin sempit, seperti terlihat dari dorongan efisiensi dalam APBN.
Indonesia tak bisa meniru model siapa pun. Kita butuh pendekatan baru yang lahir dari realitas global dan batas fiskal kita sendiri-sebuah Ekonomi Pancasila versi baru, yang bertumpu pada peran swasta dan kolaborasi aktif negara.
Pertanyaannya: seberapa besar kebutuhan pembentukan modal kita? Untuk mencapai target pertumbuhan, kita butuh Rp 9.000 triliun hingga Rp 10.000 triliun investasi per tahun-sekitar Rp 1.000 triliun lebih tinggi dari posisi saat ini.
Dan ini bukan soal jumlah saja. Kualitas juga krusial. Setiap rupiah investasi harus menghasilkan output lebih besar. Artinya, ICOR (Incremental Capital Output Ratio) harus turun.
Dari sisi pendanaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas sendiri mengakui: 90% dari tambahan pembentukan modal harus datang dari sektor swasta.
Namun investasi swasta masih seret. Indonesia menempati peringkat ke-73 dalam Indeks Kemudahan Berbisnis Bank Dunia dan ke-61 dalam Global Innovation Index. Iklim usaha kita masih belum bersahabat-terlalu banyak regulasi tumpang tindih, kepastian hukum lemah, dan proses perizinan berbelit.
Mendirikan usaha butuh waktu 43 hari-bahkan 65 hari untuk investor asing-dengan biaya lebih dari 20 kali lipat dibandingkan Singapura. Hasilnya? Hanya ada 0,3 entitas bisnis formal baru per 1.000 orang dewasa-salah satu yang terendah di dunia.
Dalam Ekonomi Pancasila, pemerintah tetap harus memimpin. Tapi bukan dengan mengerjakan segalanya sendiri-melainkan dengan mendengarkan aspirasi pelaku usaha dan bertindak tegas.
Lihat saja sektor energi terbarukan. Pelaku swasta sudah lama mendorong konsolidasi proses pengadaan proyek antara PLN dan Kementerian ESDM, serta skema inovatif seperti project bundling dan power wheeling. Tapi kebijakan masih jalan di tempat. Selama lima tahun terakhir, investasi di sektor ini stagnan.
Jika pemerintah benar-benar merespons, kepercayaan investor bisa melonjak. Dalam Ekonomi Pancasila, kepercayaan bukanlah idealisme-tetapi infrastruktur. Negara tak perlu mengatur semuanya, cukup menjaga aturan main, menyinkronkan pelaku, dan memastikan kepastian kebijakan.
Artinya, pilih meritokrasi daripada kroniisme. Utamakan hasil, bukan retorika.
Namun tanggung jawab tidak sepenuhnya di pundak negara. Sektor swasta juga harus naik kelas.
Saat ini, hampir 60% tenaga kerja berada di usaha mikro informal-kecil, tak produktif, dan tidak menyumbang pajak. Mereka tak bisa menopang ekonomi modern, apalagi mendorong inovasi atau menciptakan lapangan kerja formal berkualitas.
Indonesia harus mulai mengalihkan tenaga kerja dan modal ke pelaku formal yang produktif-baik itu perusahaan menengah, korporasi besar, maupun koperasi profesional. Ya, koperasi pun bisa jadi penggerak pertumbuhan inklusif, asalkan dikelola modern: kolektif dalam kepemilikan, kompetitif dalam pelaksanaan.
Pelaku-pelaku ini harus mampu menyalurkan modal ke prioritas nasional-dari energi hingga manufaktur canggih-dengan tetap menjaga partisipasi ekonomi dari bawah. Di situlah pembentukan modal berkualitas bertemu dengan distribusi kesejahteraan yang adil.
Bayangkan sektor swasta Indonesia yang bisa membangun pembangkit listrik dengan biaya separuh, waktu separuh, tapi kualitas empat kali lebih baik. Kontrak diberikan lewat proses merit, bukan lobi gelap. Proyek dijalankan dengan disiplin profesional. Dalam sistem seperti ini, kepercayaan bukan harapan-melainkan ekspektasi.
Tapi ekspektasi itu harus timbal balik. Sektor swasta tak bisa hanya mengejar margin. Mereka juga harus selaras dengan agenda nasional, transparan dalam tata kelola, dan berinvestasi dalam produktivitas serta talenta.
Sudah saatnya kita ubah pola pikir: dari mengejar keuntungan jangka pendek menjadi menciptakan Total Value Creation Return-pengembalian nilai total, mencakup bukan hanya keuntungan finansial, tapi juga kontribusi pada ketahanan nasional, kedalaman rantai pasok, pengembangan SDM, dan keberlanjutan lingkungan.
Perusahaan yang membangun kapasitas lokal, mengurangi ketergantungan impor, dan menciptakan lapangan kerja formal berkualitas harus dihargai sama dengan mereka yang mencetak margin EBITDA tinggi.
Jika negara dan sektor swasta sama-sama menunaikan peran, Indonesia bisa melangkah lebih cepat menuju masa depan yang dicita-citakan. Inilah esensi baru Ekonomi Pancasila: ekonomi dengan arah nasionalistik kolektif, dengan daya dorong dari kewirausahaan.