Meneropong Perkembangan Bank CIMB Niaga Syariah Pasca Spin-Off

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
ASEAN, sebagai wadah budaya dan politik regional, menyuguhkan mozaik kekayaan tradisi dan identitas. Mulai dari batik, wayang, kuliner, hingga musik gamelan dan khon, popularitas budaya ASEAN tersebar mulai dari kawasan lokal hingga panggung global.
Di Indonesia, misalnya, batik diakui UNESCO sebagai warisan budaya manusia; di Thailand, khon dan muay Thai turut dijaga UNESCO; sementara Kamboja dibanggakan dengan tarian Apsara dan kuil Angkor Wat. Momentum olahraga regional, seperti SEA Games, juga menjadi ajang pertukaran budaya yang nyata.
Melalui dorongan digital, ribuan konten tari kontemporer dari ASEAN tersebar viral di media sosial, menembus dunia maya sehingga generasi muda tertarik pada budaya mereka sendiri maupun budaya tetangga.
Namun, per 24 Juli 2025, konflik bersenjata antara dua negara ASEAN, yakni Thailand dan Kamboja, mengguncang citra blok ini. Peristiwa perang ini mengganggu wacana keberdayaan budaya. Berdasarkan laporan, bentrokan sengit di perbatasan dekat candi Ta Muen Thom menewaskan sedikitnya 12 orang, termasuk warga sipil, akibat serangan artileri dan pengeboman udara F‑16 Thailand. UNICEF melaporkan puluhan lagi terluka, dan lebih dari 40.000 orang harus dievakuasi dari zona konflik.
Laporan Reuters pada Juli 2025 juga menyebut anggaran pertahanan Thailand mencapai US$5,73 miliar, dengan sekitar 360.000 personel aktif serta 400 tank, 2.600 artileri, dan 112 pesawat tempur, yang salah satunya F‑16 dan Gripen. Sebaliknya, Kamboja menganggarkan US$1,3miliar untuk 124.000 personel, 200 tank dan ranpur lainnya.
Kejadian ini menunjukkan ketegangan batas wilayah dan perebutan candi hindu yang telah lama meraja, bermula dari bentrok bersenjata Mei lalu yang menewaskan satu prajurit Kamboja, kemudian meningkat melalui ledakan ranjau dan serangan rudal bulan Juli 2025.
Apa akibatnya bagi budaya ASEAN yang populer? Ruang kebudayaan jadi terganggu karena konflik memicu nasionalisme ekstrem, seperti misalnya larangan impor produk budaya Thailand dan Kamboja satu sama lain. Ini menghentikan sementara lalu lintas budaya, seperti pameran seni, festival tari, pertemuan pertukaran budaya yang biasanya mempererat kohesi.
Refleksi terhadap efektivitas ASEAN pun menjadi tajam. Prinsip 'non-interference' dan pendekatan konsensus yang lama dipertahankan kali ini dilihat sebagai kendala. Seperti dikritik oleh The Straits Times, 2025, konflik ini menguji "prinsip non-interference ASEAN" dan meningkatkan keraguan akan relevansi blok ini.
Ironisnya, konflik ini justru menyoroti kebutuhan pasar budaya ASEAN sebagai komoditas ekonomi agar benar-benar formal sehingga lebih dari sekedar seremoni simbolik semata, tetapi praktik nyata pelibatan antar pemerintah, warga, dan kaum intelektual yang kolaboratif.
Meskipun demikian, menyatakan ASEAN tidak relevan adalah pernyataan terlalu prematur. Beberapa negara anggota, seperti Malaysia, sudah mendorong pertemuan darurat menteri luar negeri dan meminta gencatan senjata.
Dari kacamata statistik kebudayaan, tingkat kolaborasi budaya terhadap negara tetangga turun drastis. Tahun 2024, ada 75 program pertukaran (festival, workshop, residensi) antara Thailand-Kamboja. Namun sepanjang 2025, khususnya sejak Mei, angka itu menyusut lebih dari 80%.
Oleh karena itu, pertanyaan seperti apakah ASEAN masih relevan? Seperti mencuat kembali. Secara singkat, blok ini relevan secara struktural dan potensi, namun sedang amat tidak efektif untuk konflik internal.
Tak bisa diabaikan bahwa budaya juga berfungsi sebagai jembatan kohesi ekonomi kawasan. Produk-produk kreatif seperti kuliner, fesyen, seni pertunjukan, dan festival lintas negara bukan hanya mempererat hubungan sosial tetapi juga menggerakkan ekonomi kreatif lintas batas.
Sektor pariwisata budaya yang menyumbang lebih dari 12% PDB di beberapa negara ASEAN seperti Thailand dan Indonesia yang mengalami kontraksi tajam akibat ketegangan ini. Data dari ASEANstats menunjukkan bahwa pada kuartal kedua 2025, terjadi penurunan 18% dalam penerimaan pariwisata regional dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Warisan budaya yang dulu menjadi sumber devisa dan simbol kolaborasi kini menjadi titik friksi dan eksklusi.
Jika konflik terus berlanjut, maka kawasan berisiko mengalami disrupsi ekonomi yang sistemik. Hal ini dapat merembet ke sektor manufaktur, transportasi lintas negara, hingga logistik bahan mentah. Kita bisa bercermin pada Asia Timur, di mana ketegangan budaya dan politik antara Korea Selatan dan Jepang, yang mana meskipun tidak sampai tahap militer, tetapi berdampak signifikan terhadap ekspor semikonduktor dan tren konsumsi pop culture.
Jika ASEAN tidak belajar dari pengalaman tersebut, bukan tak mungkin krisis Thailand-Kamboja menjadi titik awal fragmentasi ekonomi budaya kawasan yang selama ini dijaga bersama. ASEAN bukan hanya pasar ekonomi, tapi pasar imajinasi kolektif.
Kesimpulannya adalah, budaya ASEAN yang populer selama ini memancarkan pluralitas dan keindahan bersama. Namun konflik terbaru ini memperlihatkan bahwa kekuatan lembaga untuk melindungi dan memperkuat kultur bersama sangat tergantung pada kepercayaan politik.