Diaspora 2045: Tak Perlu Pulang untuk Membangun Negara

Kuntjoro Pinardi, CNBC Indonesia
25 July 2025 13:55
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kebijakan Pembelajaran Individu untuk Generasi Emas Indonesia. Alumni Program Habibi.. Selengkapnya
Kedatangan Presiden Prabowo Subianto di Washington DC, Amerika Serikat, disambut meriah oleh diaspora Indonesia yang sudah menanti di depan hotel tempat Kepala Negara bermalam pada Minggu, (10/11/2024). (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Foto: Presiden Prabowo Subianto disambut meriah oleh diaspora Indonesia yang sudah menanti di Washington DC, Amerika Serikat. (Dokumentasi BPMI Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Benarkah memilih karier di luar negeri berarti mengkhianati bangsa? Atau justru itu bentuk nasionalisme baru di era digital?". Artikel "Kesalahan Mereka Hanya Satu: Pulang ke Indonesia!" yang baru-baru ini dipublikasikan di media sosial oleh Peter F. Gontha menceritakan nasib buruk profesional muda Indonesia yang kembali setelah kuliah di universitas terbaik di dunia.



Dia berpendapat bahwa sistem politik, hukum, dan birokrasi Indonesia yang korup dan tidak ramah terhadap idealisme dan integritas anak-anak muda ini seringkali membawa mereka ke dalam tragedi dalam karier dan kehidupan pribadinya. Ia menyimpulkan bahwa kembali ke Indonesia adalah kesalahan fatal bagi profesional muda. Sangat menarik cerita emosional ini.

Pertama dan terpenting, tulisan Gontha layak dikritik bukan karena pesimismenya, tapi karena kacamata kudanya: ia hanya melihat satu sisi tragedi tanpa membuka lensa lebar-lebar pada kisah sukses diaspora. Thomas Lembong dan Hotasi Nababan bukanlah satu-satunya narasi.

Lihatlah bagaimana Joga Dharma Setiawan, alumni MIT, yang mengajar di PTN dan saat ini menjadi CEO Defend ID, BUMN Kemhan; atau Darmawan Prasodjo yang menjadi simbol Perusahaan Listrik Negara; atau Kaharuddin Djenod yang berusaha membangun armada kapal yang kuat sebagai CEO PT PAL; ketiganya produk mobilitas global.

Generalisasi itu berbahaya: ia mengubur potensi dan memenjarakan bangsa dalam mentalitas korban."

Kedua, terdapat logika "false cause", yakni menyederhanakan sebab-akibat secara keliru. Kasus hukum yang dialami beberapa profesional dikaitkan secara langsung dengan keputusan mereka untuk pulang, tanpa mempertimbangkan kompleksitas situasi dan faktor eksternal seperti politik, rivalitas bisnis, atau dinamika hukum secara objektif.

Ketiga, artikel tersebut juga membangun dikotomi palsu, seolah-olah pilihan hanya ada dua: tinggal di luar negeri aman, atau pulang dan menderita. Padahal di era globalisasi digital saat ini, kontribusi ke negara tidak selalu harus dikembalikan secara fisik.

Diaspora Indonesia yang tinggal di Silicon Valley, Rotterdam, atau Tokyo dapat memberikan kontribusi yang luar biasa melalui investasi, inovasi, transfer teknologi, dan kolaborasi dengan negara lain. Nasionalisme modern lalu yang terbatas ini telah mengakibatkan kehancuran banyak negara.

Kita harus belajar dari sejarah. Setelah Uni Soviet runtuh, diaspora Rusia yang belajar di luar negeri dipaksa pulang karena nasionalisme, perekonomian, dan kemajuan teknologi yang stagnan.

Sebaliknya, Deng Xiaoping menerima diaspora China di Barat tanpa meminta mereka pulang segera. Diaspora China telah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi China modern, yang saat ini menunjukkan bahwa praktik dari peran ini berhasil.

Diaspora India dan Israel adalah contoh diaspora yang berintegrasi secara global untuk meningkatkan ekonomi mereka sendiri tanpa menghentikan kolaborasi internasional.

Pernyataan Joseph Nye tentang teori soft power dan interdependensi, juga analisis Dani Rodrik seorang pakar ekonomi politik globalisasi tentang pentingnya keseimbangan antara integrasi global dan kedaulatan nasional sangat relevan sebagai model analisis dalam konteks Indonesia.

Soft power Nye adalah mata uang diplomasi, sedangkan trilema Rodrik adalah peta navigasi, diaspora adalah pelayar yang mengarungi keduanya. Negara-negara yang memiliki nasionalisme yang terlalu tertutup akan kesulitan mengakses pasar global, teknologi canggih, dan jaringan inovasi internasional.

Sementara negara-negara yang mampu menjaga keseimbangan dan memiliki institusi domestik yang kuat sambil mengembangkan ekonomi mereka sendiri, akan lebih mudah mengakses hal-hal ini.

Indonesia tidak perlu memiliki pilihan antara nasionalisme dan globalisasi, mana yang harus dipilih. Sebuah visi strategis yang mengimbangi keduanya sangat penting. Rasa nasionalisme generasi muda tetap kuat; sebaliknya, mereka adalah aset strategis yang dapat membantu Indonesia bergabung dengan rantai nilai global.

Mereka adalah investor, "diplomat informal", dan inovator Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan keuntungan tanpa harus mengembalikannya secara fisik.

Negara seharusnya membangun ekosistem yang mendorong brain circulation atau brain gain, yaitu perputaran dan pertumbuhan talenta global, bukan terjebak dalam paradigma lama brain drain, di mana kepergian talenta dianggap sebagai kehilangan permanen.

Dalam era konektivitas digital dan kolaborasi lintas batas, kehadiran warga negara di luar negeri justru bisa menjadi aset strategis bagi bangsa, asalkan dikelola dengan kebijakan yang inklusif dan progresif.

Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang memungkinkan "talenta pergi, tapi tetap berkontribusi," bukan "talenta pergi saja dulu, lalu hilang."

Kebijakan yang inovatif, seperti memberikan insentif investasi diaspora, meningkatkan perlindungan hukum, birokrasi transparan, dan membangun infrastruktur digital yang memudahkan kerja sama internasional, tidak perlu membuat pemerintah Indonesia mengecam anak muda yang meninggalkan negeri.

Pesan Presiden Prabowo tentang 'kolaborasi global' bukan retorika, ia peta jalan survival di abad disruption. Presiden Prabowo menyatakan, "Indonesia harus jadi bangsa besar: berkolaborasi secara global, tapi kuat secara nasional " Pernyataan ini memiliki maksud tertentu.

Nasionalisme Indonesia harus ditransformasi menjadi sesuatu yang inklusif dan progresif daripada hanya defensif dan terbatas. Negara-negara yang dapat membangun jembatan lintas batas akan sangat menguntungkan di dunia yang semakin terhubung.

Singkatnya, kisah-kisah yang menuduh profesional muda yang tidak pulang sebagai kesalahan atau pengkhianatan, sudah tidak efektif. Atau bahkan sebaliknya memberi karpet merah untuk diaspora yang pulang menjadi kebal hukum, menjadi berlebihan. Kita harus melampaui retorika sempit ini dan menerapkan kebijakan yang memanfaatkan diaspora untuk membantu kemajuan negara.

Layaknya burung migran, diaspora bukanlah pengkhianat yang pergi, melainkan duta yang membawa benih kemajuan pulang-pergi. Keputusan untuk pulang atau tidak pulang adalah keputusan strategis dalam konteks globalisasi abad kedua puluh satu.

Dengan membangun sistem yang menarik bagi mereka yang ingin kembali ke Indonesia dan bagi mereka yang ingin tinggal di luar negeri sambil menguntungkan Indonesia, kita dapat menjamin masa depan Indonesia yang maju di dalam negeri dan tangguh di kompetisi global yang semakin ketat.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation