Energi, AI, dan Kedaulatan: Saatnya Indonesia Memilih Kendali

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Selasa, 22/07/2025 05:40 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: AFP via Getty Images/LIONEL BONAVENTURE

Indonesia punya banyak pilihan. Dengan 280 juta penduduk dan ekonomi terbesar ke-15 dunia, posisi kita dalam percaturan global makin strategis.

Namun di tengah lonjakan digitalisasi dan tekanan geopolitik, satu pertanyaan besar muncul: apakah kita benar-benar punya kendali atas masa depan energi kita sendiri?



Hari ini, kekuasaan tak lagi hanya diukur dari jumlah cadangan minyak atau volume ekspor gas. Kekuasaan kini dipegang oleh mereka yang memiliki data, sistem digital, dan kemampuan membaca arah melalui kecerdasan buatan.

Infrastruktur tidak lagi hanya soal jalan atau kabel listrik. Infrastruktur hari ini adalah kecerdasan, sistem yang mampu memprediksi, menyesuaikan, bahkan memutuskan.

Indonesia sedang bergerak di antara dua kutub: jalur perdagangan konvensional yang masih kita tempuh dan frontier teknologi baru yang mulai memengaruhi tata kelola energi.

Kita menandatangani kesepakatan jet tempur dengan Eropa, menjalin keseimbangan diplomatik dengan China dan Barat, sambil membuka lebar pintu foreign direct investment (FDI).

Namun pada saat yang sama, kapasitas produksi minyak dan gas kita menurun, eksplorasi stagnan, dan sistem pengelolaan energi kita makin bergantung pada teknologi luar.

Di tengah transisi ini, muncul pertanyaan paling mendasar: bagaimana kita bisa memimpin transformasi energi jika sistemnya saja bukan milik kita?

Kita mendigitalisasi sistem, tapi penyimpanan datanya ada di luar negeri. Kita mulai memakai AI, tapi modelnya asing dan sulit ditelusuri proses keputusannya.

Di sinilah urgensi membangun sistem yang tidak hanya cerdas, tapi juga berdaulat. Kecerdasan bisa dibeli.

Tapi kedaulatan tidak bisa dipinjam. Ia harus dibangun, dimulai dari pusat data lokal, model AI Indonesia sendiri, dan sistem regulasi yang memberikan kepastian bagi investor.

Investor global tidak takut risiko. Yang mereka takutkan adalah ketidakpastian yang tidak bisa dihitung.

Dan selama kita belum bisa mengubah ketidakpastian menjadi risiko yang terukur, arus modal akan selalu memilih tempat lain yang dianggap lebih stabil.

Jika kita ingin menarik aliran modal yang saat ini mengendap lebih dari US$140 triliun di pasar global, kita harus tampil bukan hanya sebagai penyedia sumber daya, tetapi sebagai penyelenggara ekosistem. Data harus dikelola di dalam negeri.

Aturan harus stabil. Kecerdasan harus kita miliki, bukan kita sewa.

Indonesia tidak perlu memilih pihak dalam konflik geopolitik. Tapi kita harus memilih siapa yang memegang kendali atas sistem kita sendiri. Masa depan energi, baik yang fisik maupun digital harus berada dalam genggaman kita.

Karena dalam dunia yang dipenuhi teknologi canggih dan jaringan pintar, kendali bukan hanya kekuatan. Kendali adalah pertahanan.

Dan negara yang tidak menguasai sistemnya sendiri, cepat atau lambat akan dikendalikan oleh sistem orang lain.



(miq/miq)