Akhir Negosiasi Perang Dagang: Indonesia & AS Saling Diuntungkan

Kurniawan Budi Irianto, CNBC Indonesia
20 July 2025 05:20
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja... Selengkapnya
Presiden Prabowo Subianto melakukan panggilan telepon dengan Presiden AS, Donald Trump. (Instagram/prabowo)
Foto: Presiden Indonesia Prabowo Subianto melakukan panggilan telepon dengan Presiden AS Donald Trump, beberapa waktu lalu. (Instagram/prabowo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setelah melalui durasi waktu yang cukup lama, akhirnya negosiasi tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) mencapai kesepakatan. Meskipun sebelumnya sempat diwarnai dengan beredarnya ancaman kenaikan tarif hingga 32% oleh Trump, hasil akhir tarif yang ditetapkan ternyata lebih rendah. Dalam negosiasi kilat antara Prabowo dan Trump, disepakati tarif bea masuk yang dikenakan bagi produk Indonesia sebesar 19%.

Bagi Indonesia, pengenaan tarif 19% bisa dikatakan sebagai sebuah prestasi saat ini meskipun pemerintah berencana untuk terus melakukan negosiasi lanjutan. Indonesia masih berharap untuk dapat pengurangan tarif lebih rendah lagi dibandingkan tarif yang telah disepakati beberapa hari lalu.

Pemerintah AS menetapkan batas akhir negosiasi tarif pada awal Agustus 2025 bagi seluruh negara di dunia. Hingga saat ini setidaknya baru tiga negara yang telah merampungkan proses negosiasi tersebut.

Inggris merupakan negara pertama yang mendapatkan tarif 10% untuk ekspor kendaraan. Indonesia merupakan negara kedua dengan besaran 19% dan selanjutnya Vietnam. Vietnam dikabarkan mendapatkan tarif 20% meski belum ada pengumuman secara resmi.

Hasil akhir kesepakatan kedua negara layak mendapatkan apresiasi, setidaknya bagi Indonesia pengurangan tarif tersebut bisa mempertahankan lapangan pekerjaan serta mengurangi potensi PHK masal. Industri tekstil dalam negeri akan terdampak paling parah jika tarif bea masuk tetap berada di angka 32%.

Potensi terjadinya peralihan lokasi produksi ke luar Indonesia sangat mungkin terjadi. Memang besaran tarif bea masuk yang dikenakan nantinya bukan menjadi beban Indonesia, namun pengenaan tarif tersebut dipastikan akan membuat produk Indonesia menjadi tidak menarik di pasar AS. Yang terjadi kemudian adalah, konsumen di AS akan memilih produk serupa dari negara lain dengan harga lebih murah.

Dari beberapa rilis terkait kesepakatan antara Indonesia dan AS, terlihat bahwa komoditas yang ditawarkan oleh pemerintah AS tidak ada perubahan. Produk pertanian, pesawat, maupun migas adalah contoh produk yang ditawarkan sejak beberapa waktu lalu oleh pemerintah AS untuk mengurangi defisit perdagangan dengan Indonesia.

Terdapat beberapa poin kesepakatan yang bisa menjadi peluang bagi Indonesia meski terdapat kritik dari berbagai pihak. Kritik yang muncul utamanya terkait dari rasa "keadilan" atas besaran bea masuk yang dipungut oleh masing-masing negara.

Khalayak di Indonesia mempertanyakan mengenai pengenaan bea masuk 0% bagi produk AS yang masuk ke Indonesia berbanding 19% bagi produk Indonesia yang masuk ke AS. Meskipun seolah-olah ada ketidakadilan dalam kesepakatan tersebut namun apabila dicermati pembebasan bea masuk tersebut malah menguntungkan bagi Indonesia.

Berdasarkan komposisi barang yang diperdagangkan antara Indonesia dan AS, ekspor utama AS berupa produk-produk pertanian seperti kedelai, permesinan, maupun produk olahan minyak bumi. Komoditas inilah yang hingga saat ini Indonesia masih mendatangkan dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Sedangkan ekspor utama Indonesia didominasi produk tekstil berupa pakaian dan sepatu serta produk pertanian yang didominasi oleh minyak sawit dan olahan ikan/udang. Perbedaan jenis barang yang diperdagangkan tersebut sebenarnya mengurangi risiko terganggunya pasar di masing-masing negara. Transaksi perdagangan yang terjadi bersifat saling melengkapi di antara kedua negara.

Potensi adanya PHK di Indonesia atas pembebasan bea masuk kedelai dari AS pun bisa dikatakan minim. Sebagai contoh apabila mengambil kedelai sebagai komoditas yang akan diimpor nantinya. Hampir 86% kebutuhan kedelai Indonesia dipasok dari AS. Petani lokal di Indonesia sangat sedikit yang menanam kedelai dan lebih memilih tumbuhan palawija selain kedelai.

Rendahnya jumlah petani kedelai tidak akan terpengaruh dengan adanya impor kedelai AS yang akan mendapatkan pembebasan bea masuk nantinya. Bagi masyarakat luas pun pembebasan bea masuk kedelai malah mengurangi potensi kenaikan harga tahu dan tempe.

Justru yang akan terjadi adalah persaingan antara peternak sapi di AS, Australia, dan Selandia Baru jika Indonesia membuka kuota impor daging dan susu dari AS. Selama ini kebutuhan daging dan susu di Indonesia didominasi pasokan dari Australia dan Selandia Baru.

Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah kesepakatan mengenai larangan transhipment atau perpindahan barang selama perjalanan sebelum menuju ke tujuan akhir. Dalam kesepakatan ini makna transhipment adalah penggunaan wilayah Indonesia sebagai perantara masuk barang sebelum ke tujuan akhir yaitu wilayah AS. Secara lebih perinci adalah perubahan asal barang (country of origin) dari negara lain menjadi berasal dari Indonesia.

Praktik transhipment akan marak nantinya tatkala besaran tarif yang dikenakan ke setiap negara sudah diumumkan. Besaran tarif yang ditetapkan oleh pemerintah AS nantinya akan bervariasi. Bagi negara dengan tarif tinggi dipastikan akan mengekspor produknya melalui negara lain dengan tarif yang lebih murah. Potensi produk "mampir" akan membanjiri negara negara bertarif murah dengan konsekuensi pergantian label atau kemasan produk sesuai negara yang disinggahi.

Praktik kecurangan ini yang sudah diantisipasi oleh pemerintah AS dalam kesepakatan antar negara. Sanksi yang diberikan berupa denda bagi negara-negara yang mengakomodasi perdagangan dari negara bertarif bea masuk tinggi melalui negara dengan tarif bea masuk rendah.

Kedua negara sepakat untuk memerangi praktik transhipment yang bakal terjadi nantinya. Bagi Indonesia, praktik transhipment akan merugikan karena tidak membuka lapangan pekerjaan baru serta mengakibatkan nilai semu dalam transaksi perdagangan internasional. Seolah-olah terjadi transaksi besar namun hanya numpang lewat saja.

Meski transhipment belum jelas sampai sejauh mana kriteria yang digunakan, namun pemerintah Indonesia seharusnya mulai menyusun langkah untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya. Langkah paling mudah berupa pengetatan pemberian sertifikat asal barang atau certificate of origin produk yang akan dikirim ke AS.

Pemerintah perlu memastikan bahwa semua produk yang akan dikirim ke AS benar-benar diproduksi di Indonesia. Keberadaan lokasi produksi sangat penting karena akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Selain itu, lokasi produksi akan digunakan sebagai validasi untuk menghindari sanksi tambahan atas tuduhan transhipment yang mungkin jadi ganjalan di kemudian hari.

Saat ini Indonesia tinggal menanti kesepakatan negara lain khususnya di kawasan regional dengan pemerintah AS. Kita berharap bahwa tarif yang akan dikenakan ke negara lain tidak lebih rendah dibandingkan tarif yang diterapkan bagi Indonesia. Dalam hal tarif yang dikenakan ke negara lain lebih tinggi dibandingkan Indonesia, terbuka peluang adanya relokasi industri dari negara lain ke dalam negeri.


(miq/miq)