Paradoks Influencer Finansial

Album fotonya penuh tangkapan layar saat grafik hijau, tapi aplikasinya hilang ketika merah menyala. Dibisiki untuk beli lewat kelas-kelas instan, tanpa analisa, lalu dengan bangga menyebut diri investor. Padahal waktu membuktikan: ia bukan investor-hanya spekulan berkedok rapi, bertaruh tanpa tahu sambil duduk manis, jadi penumpang tanpa arah.
Di sekitar kita, pembicaraan keuangan dianggap lebih tabu bahkan dibandingkan dengan perihal politik, rumah tangga, bahkan seks. Alhasil, bagi yang tidak memiliki insentif untuk mempunyai pengetahuan sejak dini terkait keuangan, cara instan adalah mengikuti jejak influencer yang terlebih dahulu lebih sukses dibanding dirinya.
Tak bisa dikatakan salah sepenuhnya, terkadang influencer membantu masyarakat untuk memahami apa yang disebut dengan "literasi keuangan". Bahkan, dapat saja lebih cepat dibandingkan sosialisasi literasi keuangan yang digaungkan dan dilakukan oleh pemerintah.
Market dari influencer finansial seolah tidak akan pernah redup. Tak jarang, bagi mereka yang memiliki public speaking yang bagus atau pengetahuan cukup menjadikan hal ini sebagai ladang kesempatan untuk membuka kelas berbayar.
Sayangnya, tak sedikit juga justru menjanjikan suatu instrumen investasi yang mereka rekomendasikan dalam kelasnya pasti akan profit tinggi. Pembawaan dirinya yang sudah memiliki rumah besar, harta rekening melimpah, mobil mewah, serta screenshot grafik kenaikan investasi yang hingga ribuan persen menjadi jurus jitu dalam menarik perhatian masyarakat untuk membeli kelasnya. Bagai emas di ujung mata, siapa yang tak ingin cepat kaya karena janji-janji itu?
Belajar Skeptis, Bukan Sinis
Dalam buku Luwi Ishwara yang berjudul Jurnalisme Dasar, skeptis merupakan ciri khas jurnalisme dan inti dari skeptis adalah keraguan. Dikutip juga dalam bukunya kalimat Tom Friedman dari New York Times yang mengatakan skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak tertipu.
Berbeda dengan sinis, yaitu sikap ketidakpercayaan, ia akan menolak, dan tidak bertindak. Skeptis seharusnya diterapkan ketika setiap orang menawarkan sesuatu. Bukan menolaknya, namun mencari terlebih dahulu apa yang ditawarkan.
Avrist Asset Management menjelaskan Indonesia dianggap mengalami keterlambatan dalam mengatur influencer keuangan yang berdasarkan data dari Center Economic and Law Studies (CELIOS), 7 dari 10 investor ritel cenderung mengandalkan influencer dalam mengambil keputusan investasi.
Di ranah Pasar Modal, hingga 22 Oktober 2024, jumlah investor di Pasar Modal mencapai 14,21 juta investor atau meningkat 16,81% ytd dengan dominasi oleh Gen Z dan Gen Millennial (di bawah 30 tahun) berdasarkan data dari OJK dengan persentase 55,07%.
Dengan tingginya pertumbuhan investor di Indonesia, terutama oleh Gen Z dan Milenial, maka adanya dorongan dalam membeli instrumen investasi seperti contohnya saham oleh influencer finansial perlu diperhatikan. Bahkan, data dari OJK mencatat kerugian akibat investasi bodong atau illegal mencapai Rp138,67 triliun dari tahun 2017 hingga 2023. Peluang pertumbuhan investor perlu diikuti oleh perlindungan investor yang bisa dilakukan oleh investor itu sendiri dan pemerintah.
Perlu Serius, Namun tidak Membatasi
Pembuatan kelas untuk mengedukasi dengan disertai tarif memang tidaklah salah. Ditambah, data OJK yang menunjukan indeks literasi keuangan Indonesia yang masih rentan di sekitar 65%. Influencer finansial bisa digunakan untuk mendorong literasi keuangan di Indonesia karena pengaruhnya yang besar di media massa.
Namun, pemerintah dirasa tetap perlu mengawasi bagaimana influencer finansial ini mempromosikan dirinya. Jika melihat di Australia, Komite Sekuritas dan Investasi Australia menindak keras nasihat keuangan yang diberikan oleh influencer tanpa lisensi dan kualifikasi. Bahkan bisa berakhir pada pidana penjara atau membayar denda hingga AU$1 juta.
Di Indonesia, OJK berencana mengawasi ketat influencer-influencer finansial yang melakukan aktivitas rekomendasi investasi tanpa analisis mendalam. Pengawasan ketat yang akan dilakukan pemerintah juga perlu memperhatikan prinsip fairness di mana setiap orang berhak untuk memperoleh penghasilan secara cukup, seperti pembuatan kelas berbayar. Sehingga, pengawasan bisa dilakukan seperti influencer yang perlu memiliki lisensi terkait keuangan untuk memberikan advis instrumen investasi.
Poin utama dalam melakukan investasi adalah mencapai keuntungan finansial. Namun, jika dilakukan tanpa mencari terlebih dahulu mengenai produk yang ingin dibeli serta biaya mengikuti influencer saham yang signifikan namun influencer tersebut tidak memiliki kompetensi dalam edukasi dan analisis, tentu keuntungan finansial hanya menjadi angan-angan.
Rasa skeptis perlu dilahirkan dalam melihat instrumen investasi yang ingin dibeli, bukan didasarkan karena tidak kepercayaan akan instrument namun rasa ingin mencari tahu terlebih dahulu sebelum memutuskan.
Alhasil, dari rasa skeptis yang melahirkan rasa ingin mencari tahu, investor akan memprioritaskan hasil penilaian objektifnya ketimbang dengan rekomendasi influencer. Sehingga outcome yang diharapkan adalah investor yang cerdas dan keuntungan finansial yang tercapai.
(miq/miq)