LNG & Infrastruktur Gas: Pilar Kedaulatan Energi Saat Dunia Bergejolak

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
"Nuklir", satu frasa yang ketika dibahas bagai pisau bermata dua. Setiap negara pasti ingin memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk kemakmuran masyarakat, tak terkecuali pemanfaatan nuklir baik untuk pembangkitan energi hingga medis bahkan pertanian. Namun, sejarah juga mencatat betapa mengerikannya pengelolaan nuklir yang tidak bertanggungjawab.
Setelah pertemuan Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin berlangsung Juni 2025, Putin menyampaikan keterbukaan pembahasan peluang kerja sama antarnegara dalam pengembangan teknologi nuklir. Pemanfaatan energi nuklir memang besar, salah satunya adalah daya sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berkisar antara 40 Mega Watt Listrik (Mwe) sampai 2000 Mwe.
Pembangunan PLTN juga merupakan salah satu upaya mengurasi emisi karbon karena dinilai lebih ramah lingkungan. Terlebih, Indonesia memiliki ambisi untuk pengurangan emisi karbon dengan komitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Di saat ada peluang tentu ada risiko. Bencana nuklir yang terjadi di Chernobyl dan Fukushima seharusnya cukup menjadi 'hantu' bagi seluruh negara ketika ingin menjajaki nuklir.
Pada saat kejadian Chernobyl, UNSCEAR memperkirakan terjadi kontaminasi radiaktif bencana memicu lebih dari 6000 kasus kanker tiroid pada remaja anak-anak. Menurut PBB dan WHO, korban Chernobyl yang meninggal dunia secara tidak langsung mencapai sekitar 4000 korban. Sekitar 400-an hektar hutan pinus hancur dan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lainnya terkontaminasi zat berbahaya.
Tak hanya Chenrnobyl, di Fukushima, Pemerintah jepang mengevakuasi penduduk yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari pabrik dan melakukan upaya pencegahan dampak radiasi.
Baik korban jiwa atau berbagai penyakit yang dihasilkan akibat radiasi nuklir tidak bisa hanya dilihat sekedar angka statistik, melainkan teguran bagi siapapun yang ingin memanfaatkan energi nuklir untuk mempertimbangkannya dengan baik.
Ketahanan Dalam Negeri vs Ancaman Geopolitik
Pemanfaatan energi nuklir yang baik memang menguntungkan. Jika melihat Amerika Serikat (AS) saja, AS memiliki armada nuklir terbesar dengan 94 reaktor dan memasok lebih dari 18% konsumsi listrik negaranya.
Bahkan di tahun 2025 ini Presiden AS telah menandatangani empat executive order terkait energi nuklir di mana memiliki tujuan untuk merevitalisasi sektor energi nuklir. Mengutip Yusra Abdi target utama dari perjanjian tersebut, yaitu peningkatan kapasitas energi nuklir dari sekitar 100 gigawatt menjadi 400 gigawatt pada tahun 2025.
Jika melihat di Indonesia, berdasarkan data ESDM realisasi konsumsi Listrik 2024 masyarakat Indonesia mencapai mencapai 1.441 kWh per kapita. Meningkat sebesar 7,78% dibandingkan tahun 2023. Pada tahun 2022 Indonesia pernah berhadapan dengan krisis Listrik dengan ancaman pasokan batu bara yang menipis.
Adapun kebijakan domestic market obligation yang digaungkan pemerintah untuk pengusaha menyediakan kebutuhan pasar dalam negerinya belum menerima respons positif pada tahun 2022. Di mana realisasi hanya kurang dari 1%.
Nuklir bisa menjadi opsi pengganti baik dari sisi produktivitas listrik ataupun target pemerintah dalam negeri dalam mengurangi emisi karbon. Namun, Indonesia juga dihadapi oleh strategi geopolitik yang perlu dipertimbangkan.
Indonesia mendukung upaya pelucutan senjata berbasis nuklir melalui penandatanganan Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons bersama Uni Soviet, Prancis, Brasil dan lainnya. Komitmen internasional ini memang bertujuan untuk menghindari pemanfaatan nuklir pada aspek kombatif.
Sehingga dalam melaksanakan kerja sama antarnegara, Indonesia perlu mewaspadai mengenai arah geopolitik kerja sama. Hal ini juga mengingat konflik negara Rusia dan ketegangan bersama negara lainnya masih berlangsung.
Keberlanjutan dalam Pemanfaatan Nuklir
Pemanfaatan nuklir yang bersifat non-kombatif dengan tujuan seperti kemandirian energi seharusnya tidak menyalahi posisi Indonesia dalam komitmen Internasional yang telah ditandatangani. Terlebih, Indonesia sendiri memiliki komitmen dalam mengurangi emisi karbon pasca penandatanganan Paris Agreement sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan.
Bahkan, ambisi Indonesia adalah mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060. Tentunya, pemanfaatan nuklir sebagai pengganti energi fosil dapat berpengaruh terhadap pencapaian tersebut.
Pemanfaatan nuklir dapat menjadi opsi keberlanjutan dan kemandirian energi namun di satu sisi dapat menjadi tantangan. Tentunya, dalam pemanfaatan nuklir, Indonesia perlu memastikan kemampuan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM).
Jikapun dilakukan kerja sama dengan Rusia sebagaimana ditawarkan oleh Putin dalam menjajaki pemanfaatan nuklir, maka pemberdayaan sumber daya manusia perlu ditegaskan agar di kemudian masa Indonesia dapat mandiri dalam pemanfaatan nuklir dikarenakan kecukupan kualitas SDM.