Selat Hormuz dan Bayang-Bayang Perang Dunia III

Khairi Fuady, CNBC Indonesia
08 July 2025 05:10
Khairi Fuady
Khairi Fuady
Khairi Fuady merupakan pemerhati hubungan internasional yang juga Co Founder Indonesia South-South Foundation (ISSF). Ia juga merupakan Senior Advisor di PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM)... Selengkapnya
FOTO FILE: Pemandangan udara pantai Iran dan pulau Qeshm di selat Hormuz, 10 Desember 2023. REUTERS/Stringer/Foto File
Foto: Foto udara Selat Hormuz. (REUTERS/Nicolas Economou)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di hamparan Teluk Persia, Selat Hormuz adalah panggung geopolitik yang bergolak. Lorong sempit yang mengalirkan 20% minyak dunia, adalah nadi ekonomi global sekaligus titik api konflik. Dengan lebar hanya 33 kilometer pada titik tersempit, Hormuz telah menjadi jantung dunia sejak zaman Kekaisaran Persia. Dari jalur perdagangan sutra hingga emas hitam abad modern, selat ini adalah arteri perdagangan yang diperebutkan.



Sejarah mencatat ketegangannya: krisis tanker Perang Iran-Irak 1980-an, penyitaan kapal Inggris oleh Iran pada 2019, hingga manuver militer AS untuk menjaga hegemoni. Setiap ombak di selat ini berbisik tentang ambisi, setiap kapal yang melintas membawa beban intrik geopolitik. Hormuz adalah cermin sejarah, memantulkan perebutan kekuasaan yang tak pernah usai.

Self Help dalam Dunia Anarki
Dalam paradigma neorealisme Kenneth Waltz, dunia adalah arena anarki tanpa otoritas sentral, di mana negara-negara bertindak demi kelangsungan hidup dan supremasi. Sesuatu yang oleh Waltz disebut dengan konsep Self help.

Selat Hormuz adalah perwujudan teori tersebut. Iran, menguasai pantai utara selat, memegang ancaman strategis dengan kemampuan mengganggu aliran minyak. Senjata geopolitik yang mampu melumpuhkan ekonomi global.

Di sisi lain, AS, dengan armada kelimanya di Bahrain, menjaga "kebebasan navigasi" sebagai dalih mempertahankan dominasi. Dalam tarian kekuasaan ini, ketegangan Iran-AS adalah nyala api yang siap membakar keseimbangan, dengan Selat Hormuz sebagai titik nol potensi konflik. Hormuz menjadi semacam kartu AS bagi Iran dalam memainkan peran ekonomi politiknya. Sementara Palestina adalah legitimasi moral Iran dalam berjuang.

Palestina dan Iran: Solidaritas dalam Pusaran Konflik
Perjuangan Palestina, yang terluka oleh penjajahan, berjalan seiring dengan visi Iran pasca Revolusi Islam 1979. Dukungan Iran untuk Hamas, Jihad Islam, dan Hizbullah adalah strategi neorealist untuk menantang hegemoni AS dan Israel, memperluas pengaruh regional. Selat Hormuz menjadi panggung tidak langsung. Ancaman Iran untuk menutup selat adalah peringatan bahwa sanksi Barat atas dukungannya untuk Palestina memiliki harga global.

Dalam elegi perlawanan ini, Palestina dan Iran menyuarakan solidaritas, menjadikan selat ini simbol perjuangan melawan dominasi, sebuah puisi kemanusiaan di tengah gemuruh konflik.

Bayang-Bayang Perang Dunia Ketiga
Bayang-bayang Perang Dunia Ketiga adalah ancaman yang mengintai di cakrawala. Jika konflik terbuka pecah misalnya, serangan militer AS terhadap Iran atau penutupan selat oleh Teheran, dampaknya akan mengguncang dunia. Gangguan aliran minyak dapat memicu krisis energi global, melambungkan harga bahan bakar, dan menjerumuskan ekonomi ke dalam jurang resesi.

Dalam sistem anarki, kesalahan perhitungan kecil bisa memicu reaksi berantai. Serangan terhadap kapal tanker di Selat Hormuz dapat memicu pembalasan militer, yang kemudian menyeret kekuatan besar lain ke dalam pusaran konflik.

Rusia, sebagai sekutu Iran, mungkin memberikan dukungan militer atau logistik. Sementara Tiongkok, yang bergantung pada minyak Teluk, bisa terseret untuk melindungi kepentingan ekonominya. NATO, di bawah tekanan AS, mungkin memperluas konflik ke ranah global. Konflik Israel-Palestina menambah bahan bakar, eskalasi di Gaza atau serangan Israel terhadap kelompok pro-Iran dapat memicu respons Iran di Selat Hormuz, menciptakan efek domino yang mempercepat krisis.

Indonesia di Tengah Polarisasi Global
Bagi Indonesia, Selat Hormuz bukan urusan jauh, melainkan ancaman nyata terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan. Ketergantungan pada impor minyak dan perdagangan maritim menjadikan gangguan di selat ini potensi krisis energi dan inflasi. Dalam lensa neorealisme, Indonesia harus bertindak pragmatis untuk mengamankan kepentingan nasional sambil mempertahankan politik bebas aktif. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan, Indonesia perlu mengambil langkah strategis.

Pertama, diversifikasi sumber energi adalah niscaya, dengan mempercepat transisi ke energi terbarukan. Tenaga surya, angin, dan geothermal, serta menjalin kemitraan energi dengan negara-negara di luar Teluk, seperti Rusia, Nigeria, atau Angola, untuk mengurangi risiko gangguan pasokan.

Kedua, penguatan cadangan strategis minyak nasional akan menjadi benteng melawan guncangan pasar. Ketiga, Indonesia harus memimpin diplomasi regional melalui ASEAN dan OKI, mendorong dialog multilateral untuk meredakan ketegangan di Teluk Persia, sembari memperjuangkan isu Palestina tanpa terseret polarisasi AS-Iran.

Keempat, penguatan kapabilitas maritim, khususnya Angkatan Laut, akan menjadikan Indonesia penjaga stabilitas di Selat Malaka, jalur alternatif perdagangan jika Selat Hormuz terganggu. Dengan memperkuat patroli dan infrastruktur maritim, seperti pangkalan di Natuna, Indonesia dapat menegaskan peran sebagai kekuatan Indo-Pasifik yang netral namun berpengaruh.

Diplomasi Ala Presiden Prabowo
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia memiliki peluang untuk tampil dengan wajah diplomasi yang tegas namun bijaksana. Dengan latar belakang militer dan pengalaman geopolitik, Presiden Prabowo memahami dinamika keseimbangan kekuasaan (balance of power). Visi "Indonesia Emas" menempatkan kemandirian ekonomi dan keamanan nasional sebagai pilar utama, menjadikannya figur kunci dalam mengantisipasi bayang-bayang Perang Dunia Ketiga.

Presiden Prabowo dapat memperkuat diplomasi pertahanan dengan kekuatan besar yakni AS, Tiongkok, Rusia, dan negara-negara Teluk, memastikan Indonesia tetap relevan tanpa memihak. Kunjungan kenegaraan dan perjanjian bilateral, seperti kerja sama energi atau pertahanan, akan memperkuat posisi tawar Indonesia.

Kita juga bisa mendorong modernisasi alutsista Angkatan Laut dan pembangunan pangkalan maritim strategis, seperti di Natuna atau Sabang, untuk mengamankan jalur perdagangan Indonesia di tengah ketidakpastian global. Langkah ini tidak hanya memperkuat keamanan nasional, tetapi juga menegaskan Indonesia sebagai penjaga stabilitas Indo-Pasifik.

Indonesia juga perlu memaksimalkan peran di OKI untuk memperjuangkan isu Palestina, sekaligus meredakan ketegangan Iran-AS melalui diplomasi lintas budaya. Dan untuk proyeksi jangka panjang, Indonesia juga harus memprioritaskan kemandirian energi nasional, mendorong investasi dalam energi terbarukan (EBT) dan eksplorasi minyak domestik, sehingga Indonesia tak lagi terlalu bergantung pada Selat Hormuz.

Penutup: Puisi Perdamaian di Tengah Gejolak Konflik
Selat Hormuz adalah nyanyian tentang kekuasaan, perjuangan, dan harapan. Dalam lensa sejarah, ia adalah saksi perebutan hegemoni. Dalam kacamata neorealis, ia adalah panggung keseimbangan kekuasaan (balance of power). Dalam solidaritas Palestina-Iran, ia adalah simbol perlawanan. Dan dalam bayang-bayang Perang Dunia Ketiga, ia adalah peringatan akan kerapuhan dunia. Bagi Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, alarm dari Selat Hormuz adalah panggilan untuk bertindak, mengamankan kepentingan nasional dengan diversifikasi energi, penguatan maritim, dan diplomasi yang cerdas.

Di tengah ombak yang bergolak, Indonesia harus menari dengan anggun, menyanyikan puisi perdamaian yang renyah didengar namun teguh dan determinan. Dengan kebijaksanaan politik Presiden Prabowo, negeri ini dapat menjelma sebagai mercusuar stabilitas, menjaga nyala harapan agar bayang-bayang Perang Dunia Ketiga tak pernah menjelma nyata, dan agar Selat Hormuz tetap menjadi lorong kehidupan, bukan jurang kehancuran. Di bawah langit yang sama, mari kita menabur benih perdamaian, agar dunia tak lagi dirundung gelombang perang.


(miq/miq)