Indonesia Pusat Kuasa Energi, Bukan Sekadar Sumber Daya

Di tengah perubahan iklim global dan krisis energi, Indonesia sesungguhnya memegang satu kunci penting: energi. Negeri ini dikaruniai kekayaan sumber daya luar biasa-dari matahari yang bersinar sepanjang tahun, embusan angin pesisir, panas bumi yang melimpah, hingga mineral strategis seperti nikel, kobalt, dan tembaga. Semua ini bukan lagi hanya "sumber daya". Ini adalah fondasi untuk membangun "kuasa daya".
Sudah saatnya kita mengubah paradigma, kekayaan alam Indonesia ini lebih banyak dibicarakan sebagai potensi ketimbang digunakan sebagai kekuatan. Kita terlalu lama menjadi eksportir bahan mentah, bukan pengolah bernilai tambah. Kita ekspor nikel, lalu impor baterai. Kita kirim sawit, lalu beli biodiesel. Inilah saatnya Indonesia beranjak dari "sumber daya" menjadi "kuasa energi".
Menjadi pemegang kuasa energi dunia bukan sekadar impian. Posisi tersebut bisa diraih menggunakan rencana yang disusun dengan arah dan langkah jelas. Di tengah peta transisi energi global, siapa yang menguasai bahan baku, teknologi, dan standar akan menjadi penentu arah masa depan.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 menjadi sinyal awal dari transformasi besar ini. Selama satu dekade ke depan, Indonesia akan menambah 69,5 GW pembangkit-dan lebih dari 76% berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Ini bukan hanya soal teknis kelistrikan, ini adalah sinyal kuat bahwa Indonesia siap memimpin transisi menuju energi hijau.
Namun, membangun masa depan energi tak cukup hanya dengan angka. Sebagai langkah pertama, Indonesia perlu mengembangkan industri dalam negeri: dari panel surya, turbin angin, hingga baterai dan sistem penyimpanan energi. Tanpa itu, transisi akan bergantung pada barang impor, dan kita hanya akan menjadi pasar teknologi asing.
Selain itu, diplomasi energi juga harus diperkuat. Indonesia bisa menjadi pemasok listrik hijau ke Singapura, green ammonia ke Jepang, dan produsen bahan baku kendaraan listrik ke Uni Eropa. Kita tak bisa pasif menunggu investasi. Kita harus aktif menegosiasikan peran strategis dalam rantai pasok global.
Tantangannya tak sedikit. Tata kelola energi kita masih terpecah di banyak institusi. Karena itu, perlu dibentuk lembaga lintas sektor yang fokus mengawal transisi energi-semacam National Energy Transformation Authority. Lembaga ini bisa menyatukan perencanaan, pendanaan, dan pelaksanaan proyek energi besar, serta berperan sebagai jembatan antara pemerintah pusat dan daerah.
Lebih dari itu, transformasi energi harus menyentuh rakyat. PLTS atap, bioenergi desa, dan cold storage tenaga angin harus dirasakan manfaatnya langsung oleh petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Transisi energi tak boleh menjadi proyek elite. Ia harus membumi dan inklusif.
Indonesia juga harus menghindari jebakan hilirisasi setengah hati. Hilirisasi bukan hanya soal smelter nikel. Kita harus membangun ekosistem manufaktur energi bersih yang lengkap-dari hulu ke hilir. Tanpa itu, kita hanya akan berpindah dari ketergantungan pada satu komoditas ke komoditas lain.
Di dunia yang sedang memburu target net zero, energi adalah alat tawar yang lebih kuat dari senjata. Uni Eropa belajar dari krisis Rusia. Amerika Serikat membangun kembali industrinya. China menguasai logam tanah jarang dan baterai. Indonesia tidak boleh hanya jadi penonton.
Menjadi pemegang kuasa energi berarti berdaulat dalam pasokan, unggul dalam teknologi, dan berani mengambil posisi strategis. Energi bukan lagi sekadar komoditas, melainkan alat perjuangan bangsa.
Pemerintah perlu berani menetapkan arah. Bukan hanya insentif fiskal, tetapi juga visi jangka panjang. Dunia menanti kepemimpinan energi baru. Dan Indonesia bisa jadi jawabannya.
Selanjutnya, sekarang adalah waktu bagi pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat untuk duduk satu meja dan memastikan bahwa energi dapat menjadi alat kedaulatan dan kemakmuran.
Semua langkah yang telah dijabarkan sebelumnya diperlukan supaya Indonesia bisa terus maju dan bertransisi dari negara yang awalnya mengandalkan sumber daya hingga menjadi pemegang kuasa daya, dari negara yang berpotensi menjadi negara berpengaruh, dari negara yang memiliki kekayaan alam menjadi negara pemilik kekuatan.
(miq/miq)