Peredaran Uang Palsu: Tantangan dan Peluang BI Sebagai Penjaga Rupiah

Pengujung akhir tahun 2024 ditutup dengan peristiwa kurang baik yang terjadi di lingkungan institusi pendidikan di Makassar. Peristiwa pembuatan dan peredaran uang palsu yang ditemukan oleh Kepolisian Makassar pada sekitar 19 Desember 2024 tempo lalu membuat heboh publik. Bukan hanya karena jumlahnya yang sudah beredar di tengah masyarakat namun diduga dilakukan oleh aktor-aktor intelektual.
Pembuatan dan peredaran uang palsu sendiri bukan merupakan kejahatan baru. Bahkan, mengutip dari penelitian Lesta Alfatiana dari Universitas Gadjah Mada, uang palsu sempat berkembang dengan masif di Jawa pada periode 1900-1940.
Pemberantasan uang palsu kemudian dilakukan oleh Pemerintah kolonial dengan menandatangani konvensi Jenewa 1929 yang kemudian disahkan oleh Pemerintah era Presiden Soeharto melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan International Convention for The Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929.
Dewasa ini, kejahatan terhadap mata uang palsu semakin berkembang. Salah satunya adalah hasil studi yang dilakukan oleh Financial Action Task Force (FATF) dalam FATF Report Money Laundering and Terrorist Financing Related to Counterfeiting of Currency yang menjelaskan bagaimana mata uang palsu digunakan untuk tujuan pendanaan teroris dan kejahatan lainnya.
Kejahatan terhadap mata uang rupiah sendiri dapat mengutip Denico Doly terbagi menjadi dua berdasarkan UU Mata uang, yaitu pembuatan uang palsu dan pengedaran uang palsu. Kejahatan baik pembuatan dan pengedaran uang palsu akan berdampak pada perekonomian suatu negara.
Bahkan jika disangkutkan, kejahatan terhadap mata uang seharusnya dapat masuk ke dalam kategori extraordinary crime apabila mengutip dari pengertian extraordinary crime Sukardi yang pada pokoknya menjelaskan bahwa extraordinary crime termasuk ke dalam kejahatan yang berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan politik.
Dalam kerangka yuridis di Indonesia, Rupiah palsu sendiri sebagaimana dimaksud dalam UU Mata Uang adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum. Definisi dimaksud secara eksplisit menjelaskan tujuan Rupiah palsu adalah digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
Peran dan Tantangan Bank Sentral
Pengedaran uang merupakan salah satu kewenangan tertua yang dimiliki oleh Bank Sentral. Secara historis, pendirian De Javasche Bank (kini Bank Indonesia) pada tahun 1828 oleh pemerintah Kerajaan Belanda memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Belanda melalui octroi atau hak-hak Istimewa untuk bertindak sebagai bank sirkulasi.
Saat ini, melalui amanat yang diberikan oleh UU Mata Uang, Bank Indonesia merupakan satu-satunya Lembaga yang berwenang melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/pencabutan dan penarikan Rupiah. Ketersediaan uang rupiah yang berkualitas dan terpercaya dengan tetap memperhatikan perluasan akses dan Perlindungan Konsumen juga merupakan cerminan mandat Bank Indonesia terkait dengan stabilitas sistem pembayaran.
Sebagai guardian of Rupiah, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan uang Rupiah adalah peredaran Rupiah Palsu. Mengingat luasnya Indonesia maka Bank Indonesia bersama instansi pemerintah seperti Badan Intelijen Negara, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Keuangan melalui Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal) bekerjasama dalam pemberantasan Rupiah palsu.
Dalam kasus yang menimpa institusi pendidikan di Makassar, Bank Indonesia telah memastikan bahwa uang palsu yang dicetak sulit menyamai rupiah asli.
Tantangan terhadap uang palsu harus dianggap serius karena dapat saja berdampak pada peningkatan inflasi akibat jumlah uang yang beredar begitu tinggi di masyarakat atau penurunan kepercayaan publik terhadap mata uang terutama kredibilitas Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengedarkan mata uang Rupiah.
Kredibilitas merupakan variabel penting bagi suatu Bank Sentral terutama dalam menjalankan mandat pengendalian inflasi sebagaimana dijelaskan Mishkin dalam bukunya The Economic of Money, Banking, and Financial Market.
Upaya dan Peluang Bank Indonesia
Dalam upaya memberantas uang palsu, Bank Indonesia memiliki strategy map pencegahan dan pemberantasan uang palsu melalui 3 (tiga) pilar, yaitu Uang Rupiah yang berkualitas, terpercaya, aman, dan andal, edukasi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap Ciri Keaslian Uang Rupiah (CIKUR), dan sanksi tegas terhadap pelaku tindak pidana UPAL dengan kerja sama bersama aparat hukum.
Bank Indonesia juga mengajak masyarakat Indonesia untuk turut mengikuti kampanye Cinta, Bangga, Paham Rupiah.
Peredaran uang Rupiah cenderung naik berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Desember 2024 dari Bank Indonesia yang menunjukkan masih dibutuhkannya uang kartal di masyarakat dengan kenaikan jumlah Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 9,96 persen yoy pada triwulan III 2024.
Dengan tingkat peredaran uang yang cenderung meningkat karena kebutuhan masyarakat serta tantangan peredaran uang palsu, perlu adanya inovasi dalam memberantas uang palsu. Inovasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Bank Indonesia memiliki peluang tinggi dalam pemanfaatan inovasi teknologi dalam sistem pembayaran, antara lain melalui QRIS. QRIS dapat menjadi sarana alternatif transaksi elektronik di tengah tantangan peredaran uang palsu secara fisik. Penggunaan QRIS mengurangi risiko menerima uang palsu karena dilakukan secara digital tanpa melibatkan uang fisik.
Peluang inipun dimanfaatkan oleh Bank Indonesia salah satunya dengan kabar insentif dari Bank Indonesia yang akan menggratiskan biaya jasa atau merchant discount rate untuk transaksi QRIS hingga Rp500 ribu yang disampaikan oleh Gubernur BI dalam konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 2024. Bank Indonesia sendiri mencatat pertumbuhan transaksi QRIS pada triwulan III sebesar 209,61 persen yoy.
Peluang itu diharapkan selain dapat mendorong pelaku pasar untuk menggunakan QRIS dalam transaksi serta namun juga upaya pencegahan uang palsu beredar. Meskipun peluang penggunaan QRIS sebagai upaya pencegahan uang palsu dapat dimanfaatkan, namun mengingat pertumbuhan uang kartal yang cenderung naik, Bank Indonesia tetap perlu bersinergi dalam mengedukasi pemahaman masyarakat tentang Rupiah.
Serta menjalankan mandat dalam ketersediaan uang rupiah yang berkualitas dan terpercaya dengan tetap memperhatikan perluasan akses terutama dalam daerah 4T yang belum memiliki infrastruktur pembayaran dan teknologi yang memadai.
Tidak hanya Bank Indonesia, setelah dilakukan edukasi maka elemen Masyarakat diharapkan mampu terlibat dalam pemberantasan uang palsu dengan melaporkan temuan uang yang diragukan keasliannya kepada bank, kepolisian atau meminta klarifikasi ke kantor Bank Indonesia terdekat.
(miq/miq)