Tekad Membangun Sepak Bola Indonesia Sebagai Sebuah Industri


Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
"Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice and most of all, love of what you are doing" - Pele.
Sudah cukup lama saya tidak mengikuti perkembangan sepak bola, terutama Liga Indonesia. Apalagi menonton langsung di stadion - rasanya sudah bertahun-tahun tidak saya lakukan.
Sejak bermukim di negeri tetangga, minat terhadap sepak bola sedikit meredup, tergeser oleh dominasi olah raga lain yang jauh lebih populer, seperti rugby. Namun, ketertarikan itu perlahan muncul kembali ketika Timnas Garuda mulai terbang ke kancah internasional.
Hanya saja, minat itu berhenti di level timnas, tidak sampai menular ke ke liga domestik. Namun, sebuah undangan dari seorang teman - yang juga pengelola Persebaya Surabaya- mengubah semuanya. Undangan untuk laga Liga 1 antara Persebaya Vs Persita Tangerang di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya.
Awalnya, saya ragu. Pengalaman terakhir menonton di stadion, meninggalkan kesan kurang menyenangkan. Ditambah lagi, stigma negatif yang selam ini melekat pada sepak bola Indonesia membuat berpikir ulang. Kerusuhan antarsuporter, perkelahian, hingga tindakan anarkis kerap mewarnai sepak bola Indonesia.
Bonek: Antara Stigma dan Perubahan
Setiap klub sepak bola memiliki pendukung setia. Apalagi klub besar dan punya sejarah panjang seperti Persebaya Surabaya, pendukungnya dikenal militan. Dukungan supoter Persebaya, yang dikenal sebagai "Bonek" alias bondho nekat (modal nekat), selalu militan.
Mereka setia mengawal tim Bajul Ijo - julukan Persebaya, baik di laga kandang maupun tandang. Belakangan muncul "Bonita", sebutan bagi suporter wanita Persebaya.
Dulu, stigma negatif sempat melekat pada Bonek. Beberapa insiden kerusuhan pasca pertandingan membuat nama mereka kerap dikaitkan dengan kekacauan. Slogan "Salam Satu Nyali - Wani", menggambarkan mentalitas Bonek yang selalu berani menghadapi segala situasi.
Kekhawatiran saya cukup beralasan. Namun, keinginan untuk kembali merasakan atmofer stadion mengalahkan rasa ragu. Apalagi, perubahan besar telah terjadi dalam kultur suporter Persebaya.
Mereka mulai bergerak ke arah yang lebih positif, berkat upaya dari manajemen klub maupun komunitas suporter. Kini, Bonek bukan hanya "modal nekat", tapi juga "bondho nekat dan kreatif", sebagai paradigma baru suporter Persebaya.
Kekhawatiran saya terbukti tak berdasar. Begitu tiba di GBT, saya langsung terkesan. Stadionnya megah, dengan rumput sangat baik dan terawat. Tribun - baik VIP maupun regular - terlihat bersih dan nyaman.
Area parkirnya luas, mampu menampung ratusan kendaraan. Malam itu, atmofer stadion benar-benar menggetarkan, bukan hanya bagi Persebaya, tapi juga bagi tim lawan, Persita Tangerang.
Panitia pelaksana pertandingan juga sangat profesional. Aparat kepolisian dan panitia berjaga di setiap pintu masuk, memastikan barang bawaan penonton diperiksa ketat. Mereka tegas, tapi tetap ramah dan responsif. Alur masuk dan keluar penonton diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penumpukan.
Akses jalan menuju stadion memang padat, tapi tetap terkendali. Sepanjang perjalanan, terlihat kendaraan penuh dengan atribut hijau khas Bonek. Meski, pertandingan ini bukan laga besar seperti melawan Persija Jakarta atau Persib Bandung - dua klub dengan rivalitas historis - antusiasme suporter tetap mengalir deras.
Suporter: Nyawa Klub dan Industri Sepak Bola
Suporter adalah bagian tak terpisahkan dari klub sepak bola. Tak heran jika ada istilah "pemain ke-12". Kehadiran mereka bukan hanya menyemarakkan atmosfer stadion, taoi juga menopang eksistensi klub.
Sejarah membuktikan, Bonek terus setia mendukung Persebaya, bahkan di masa-masa sulit akibat konflik PSSI dan dualisme klub. Tanpa mereka, sulit membayangkan Persebaya bisa kembali ke pentas sepak bola nasional setelah Kongres Tahunan PSSI di Bandung pada 2017.
Namun di sisi lain, dukungan suporter "yang tidak sehat" justru bisa merugikan klub itu sendiri. Jika ingin membangun sepakbola sebagai industri, semua pihak harus berkontribusi; federasi, klub, suporter, hingga pemerintah. Lingkungan sepak bola yang kondusif, akan menarik investor dan pertumbuhan liga secara profesional.
PSSI memang mulai berbenah, meskipun saat ini perubahannya lebih terasa di level timnas. Terlepas dari pro dan kontra soal naturalisasi, langkah-langkah yang diambil federasi terbukti membawa Timnas Indonesia naik level dan kembali membangkitkan gairah masyarakat terhadap sepak bola.
Pembenahan liga mungkin menjadi tahap berikutnya. Indonesia bisa berkaca pada negara-negara maju dalam pengelolaan liga dan klub, misalnya Jepang.
Mereka memiliki "road map" sepak bola nasional yang jelas. J-League, liga profesional Jepang, baru diluncurkan pada 1993, tetapi berkembang pesat karena sistem pembinaan yang terintegrasi, konsisten dan berkesinambungan. Sejak usia dini, anak-anak Jepang sudah dibekali konsep dan ketrampilan sepak bola yang matang.
Hasilnya? Tim Samurai Biru kini langganan tampil di putaran final Piala Dunia dan menjadi salah satu kekuatan utama di Asia. Tak hanya itu, banyak pemain Jepang yang merumput di Liga Eropa. Dulu terdapat nama Shinji Kagawa dan Keisuke Honda.
Saat ini, pemain Jepang yang bermain di Liga Eropa jauh lebih banyak , sepertiu Wataru Endo, Daichi Kamada, Kaoru Mitoma dan Yukinari Sugawara yang bermain di Liga Inggris. Di Liga Belgia ada Shogo Taniguchi dan Joel Chima Fujita dari Sint Truiden serta Koki Machida. Ada juga Junya Ito, Keito Nakamura dserta Takumi Minamino bermain di Liga Perancis.
Kesuksesan: Soal Waktu
Pelajaran yang dapat diambil dari situ adalah: Pertama, profesionalisme dalam pengelolaan. Federasi, badan liga, dan klub harus dikelola oleh orang-orang yang memahami sepak bola dan bisnis, bukan oleh birokrat atau politisi yang sekadar cari panggung. Kedua, menyelaraskan sepak bola dengan industri. Sepak bola harus dipandang sebagai agar dapat berkembang dan menyejahterakan para pelakunya.
Ketiga, adaptasi dengan perubahan. Baik dari segi manajemen klub, federasi dan klub, hingga ilmu sepak bola yang terus berkembang. Keempat, memiliki "road map" jangka panjang. Semua elemen dalam ekosistem sepak bola harus bergerak dalam satu visi yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Dalam konteks itu, suporter juga harus hadir sebagai mitra yang berkontribusi pada perkembangan sepak bola nasional.
Malam itu, Persita mampu menahan imbang Persebaya 1-1. Namun saya meninggalkan Stadion GBT dengan gembira, melihat Persebaya dan perkembangan Liga Indonesia menuju arah yang lebih baik.
Tentu saja, semua itu tidak semudah menuliskan dalam kata-kata. Seperti kata Jose Mourinho, "Look, I'm a coach. I'm not Harry Potter. He is magical, but in reality, there is no magic. Magic is fiction and football is real."
Tak ada sihir dalam sepak bola. Yang ada adalah visi yang jelas, kerja keras dan kemauan untuk terus maju. Dengan semua itu, kesuksesan hanya soal waktu!
(miq/miq)
