Kepemimpinan Ibu dan Kedaulatan Gizi Nasional

Ray Wagiu Basrowi, CNBC Indonesia
18 December 2024 12:32
Ray Wagiu Basrowi
Ray Wagiu Basrowi
Ray Wagiu Basrowi merupakan doktor (S3) dalam bidang Kedokteran Kerja dan Kedokteran Komunitas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Sebelum meraih gelar doktor, Ray menamatkan pendidikan dokter umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Sa.. Selengkapnya
Ilustrasi, ibu dan anak. (Dok. Pixabay)
Foto: Ilustrasi, ibu dan anak. (Dok. Pixabay)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Landasan dari kedaulatan gizi suatu bangsa berakar pada lembaga terkecil di masyarakat, yaitu keluarga. Ibu sebagai nukleus keluarga memainkan peran utama dalam menentukan arah kesehatan dan gizi rumah tangga. Sebagai penjaga gerbang nutrisi keluarga, Ibu bertugas memastikan setiap anggota mendapatkan asupan gizi yang tepat. Peran ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.

Penting untuk menjustifikasi secara ilmiah betapa mendasarnya peran ibu dalam aspek kedaulatan gizi bangsa ini. Penelitian yang dimuat dalam Lancet Global Health (2021) secara lugas menegaskan eratnya hubungan antara pendidikan gizi ibu dan risiko malnutrisi pada anak. Proyek meta-analisis berskala besar ini mencakup data dari lebih dari 200.000 keluarga di 60 negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan berfokus pada peran ibu dalam pengambilan keputusan terkait gizi.

Hasil terpenting dari studi ini menyatakan bahwa ibu menjadi aktor kunci dalam memilih pola makan anak-anak di rumah tangga. Pendidikan, pengetahuan, dan literasi gizi ibu menjadi faktor penting yang menentukan kualitas makanan keluarga, terutama dalam Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Yang menarik adalah ternyata ibu yang memiliki akses ke informasi atau pelatihan gizi, baik melalui sekolah, penyuluhan, atau media, cenderung memberikan pola makan yang secara bermakna lebih baik untuk anak-anak mereka.

Bahkan dengan analisis mendalam, studi ini membuktikan bahwa anak-anak yang diasuh ibu dengan pendidikan gizi baik memiliki risiko stunting 26 persen lebih rendah. Ini tentunya menjadi parameter objektif yang merasionalkan pentingnya investasi dalam hal literasi gizi bagi perempuan dan ibu Indonesia.

 

Kepemimpinan konkrit

Peran kepemimpinan ibu dalam gizi keluarga di Indonesia sebenarnya telah banyak dibuktikan baik secara empiris maupun klinis. Terdapat tiga peran kunci yang secara homogen direkomendasikan begitu banyak kajian ilmiah di tanah air. Yang pertama adalah peran pengelolaan dan manajemen keluarga.

Ibu memegang kendali dan peranan penting sebagai manajer keluarga yang menentukan arah kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anggota keluarga. Dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, ibu sering menjadi pengambil keputusan utama. Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 75 persen keputusan keuangan terkait pengeluaran kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan dilakukan oleh ibu.

Dalam pengelolaan waktu, ibu berperan mengatur aktivitas keluarga, mulai dari jadwal makan, belajar, hingga istirahat. Ibu yang mampu menciptakan rutinitas harian yang terstruktur dapat meningkatkan produktivitas keluarga. Studi di Yogyakarta (2021) menemukan bahwa anak-anak dari keluarga yang memiliki rutinitas terencana oleh ibunya memiliki tingkat kedisiplinan 30 persen lebih tinggi dibandingkan anak-anak dari keluarga tanpa struktur.

Peran kepemimpinan ibu yang selanjutnya adalah dalam aspek edukasi gizi untuk anak. Sebagai guru pertama bagi anak-anaknya, ibu berperan mengenalkan pentingnya gizi sejak dini. Edukasi ini meliputi pentingnya sarapan sehat, menghindari makanan olahan berlebih, dan membangun kebiasaan makan bersama. Kajian UNICEF (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang diajarkan pola makan sehat oleh ibunya memiliki risiko obesitas dua kali lebih rendah dibandingkan yang tidak mendapatkan pengajaran yang sama.

Contoh inspiratif yang sangat relevan dengan argumentasi ini dapat dilihat salah satunya di Yogyakarta lewat Komunitas "Ibu Cerdas". Disini kepemimpinan perempuan di komunitas secara aktif melibatkan ibu-ibu untuk mengajarkan anak-anak tentang gizi lewat pendekatan cerita dan permainan. Hasilnya, ada peningkatan konsumsi buah dan sayur pada anak-anak hingga 25 persen.

Bentuk kepemimpinan ketiga yang diidentifikasi oleh berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia adalah peran sentral dalam ketahanan pangan keluarga. Ibu terbukti menjadi ujung tombak dalam memastikan keberlangsungan sumber dan akses pangan keluarga. Ada satu contoh luar biasa di Banyuwangi, ibu-ibu petani meluncurkan program "Kampung Sayur", di mana setiap keluarga menanam sayur di pekarangan mereka. Inisiatif ini berhasil mengurangi pengeluaran pangan hingga 40 persen dan meningkatkan asupan gizi masyarakat.

Rekognisi dan penguatan peran

Meski peran ibu dalam keluarga telah lama diakui sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan masyarakat, namun pengakuan ini belum sepenuhnya diiringi dengan pemberdayaan yang optimal.

Data dari UN Women (2022) menunjukkan bahwa meskipun 7 dari 10 perempuan Indonesia berkontribusi besar dalam pengelolaan rumah tangga, tidak sampai separuh dari mereka yang mendapatkan akses pelatihan atau program pemberdayaan ekonomi dan pendidikan praktis. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara rekognisi terhadap peran ibu dan upaya untuk memperkuat peran tersebut secara nyata.

Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa tingkat literasi gizi ibu di wilayah pedesaan jauh lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan, dengan gap hingga tiga kali lipat. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas untuk meningkatkan pemahaman gizi di semua kalangan, terutama di rural.

Salah satu inovasi di bidang edukasi manajemen keluarga yang berpotensi untuk di implementasi skala luas adalah program "Cerdas Atur Pengeluaran Agar Gizi Anak Optimal" yang dirintis lewat skema pentahelix dari Danone Indonesia. Melalui program ini, dilatih daya tahan ibu dalam menopang keberlanjutan gizi keluarga.

Lewat program ini ibu disadarkan bahwa meskipun tidak bisa mencegah krisis seperti gagal panen atau krisis sosial yang mengakibatkan ketersediaan pangan berkurang, namun, dalam tataran keluarga bisa melakukan strategi untuk menyiapkan atau menanggulangi kerawanan pangan, salah satunya dengan melakukan pengelolaan keuangan keluarga. Hal ini dilakukan agar pemenuhan gizi keluarga, utamanya anak, tidak akan berkurang saat terjadi krisis.

Pemerintah sebenarnya telah berusaha menguatkan peran ibu melalui berbagai program, terutama yang berfokus pada kesehatan dan pendidikan. Salah satunya adalah program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), yang mayoritas penerimanya adalah perempuan atau ibu rumah tangga.

Selain itu, program Keluarga Harapan (PKH) memberikan insentif kepada ibu untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan kesehatan. Meskipun program-program ini membantu meningkatkan kualitas hidup keluarga, cakupannya masih perlu diperluas untuk menjangkau ibu-ibu di daerah terpencil.

Namun, rekognisi terhadap peran ibu sering kali masih bersifat simbolis dan kurang diintegrasikan dalam kebijakan yang berkelanjutan. Dalam aspek kepemimpinan komunitas, ibu-ibu sering dianggap sebagai "pelengkap" alih-alih pemimpin aktif.

Hal ini terlihat dari rendahnya keterlibatan ibu dalam forum-forum pengambilan keputusan komunitas. Misalnya, data dari Bappenas (2023) menunjukkan bahwa hanya 2 dari 10 perempuan, yang mayoritas adalah ibu rumah tangga yang terlibat aktif dalam musyawarah desa. Peningkatan partisipasi ibu dalam pengambilan keputusan ini penting untuk memastikan kebijakan lokal benar-benar berpihak pada ketahanan pangan dan gizi untuk kesejahteraan keluarga.

Upaya pemberdayaan ibu juga membutuhkan dukungan dari sektor swasta dan masyarakat. Inisiatif seperti pelatihan kewirausahaan oleh organisasi masyarakat atau lembaga nirlaba mulai menjangkau ibu-ibu rumah tangga, terutama di perkotaan.

Data dari LPEM UI memang menyebutkan keterlibatan sektor swasta dalam skala besar masih terbatas. Contoh inspiratif muncul dari program Rumah Bunda Sehat di Bandung dan Bogor, di mana sektor swasta bekerja sama dengan komunitas lokal memberikan pelatihan kesehatan, manajemen keuangan, dan gizi bagi ibu rumah tangga. Program seperti ini perlu direplikasi di daerah lain.

Secara taktis, menguatkan peran kepemimpinan ibu wajib dilakukan lewat peningkatan kapasitas melalui edukasi dan literasi. Penguatan komunitas ibu sebagai agen perubahan juga menjadi strategi yang bisa distimulasi di tingkat masyarakat secara mandiri. Peningkatan kesadaran melalui media sosial dan kampanye publik juga terbukti dapat menginspirasi lebih banyak ibu untuk mengambil peran dalam kedaulatan gizi bangsa.

Momentum Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember seharusnya menjadi pengingat betapa pentingnya peran ibu sebagai penggerak utama dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Rekognisi simbolis terhadap ibu harus diiringi dengan tindakan nyata, seperti memberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kebijakan yang mendukung peran ibu dalam keluarga dan masyarakat. Dengan memberdayakan ibu, kita sebenarnya sedang memperkuat pondasi bangsa, karena keluarga yang sehat, terdidik, dan sejahtera selalu dimulai dari ibu yang berdaya.

 


(rah/rah)

Tags

Related Opinion
Recommendation