Minyak Jelantah untuk Energi Berkelanjutan

Iota Diamond, CNBC Indonesia
03 December 2024 17:03
Iota Diamond
Iota Diamond
Iota Diamond merupakan seorang Analis Kebijakan di bidang energi, dengan fokus dan peminatan pada pemanfaatan sumber daya alam, transisi energi, dan energi berkelanjutan. Saat ini, ia sedang ditugaskan menjadi Energy Economics Modeler di PT Pertamina (Pers.. Selengkapnya
Ilustrasi minyak goreng jelantah. (Dok. Freepik)
Foto: Ilustrasi minyak goreng jelantah. (Dok. Freepik)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sebagian besar dari kita pasti pernah menggunakan minyak goreng dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, minyak goreng digunakan lebih dari sekali sampai menjadi minyak jelantah. Seringkali, minyak jelantah di rumah tangga dibuang ke saluran pembuangan air. Padahal, minyak jelantah dapat membeku pada suhu rendah sehingga dapat mengakibatkan saluran air tersumbat, menutupi permukaan air, serta mencemari air dan tanah. Namun, kebanyakan masyarakat tetap memilih untuk membuang minyak jelantah. Lalu, ke mana sebaiknya minyak jelantah dibuang?

Ternyata, minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) memiliki manfaat yang belum banyak diketahui masyarakat. Minyak jelantah dapat diolah menjadi produk lain yang memiliki nilai tambah, bahkan juga bisa diekspor. Namun, edukasi terkait manfaat minyak jelantah belum tersampaikan dengan baik. Menurut hasil penelitian Traction Energy Asia pada lima kota besar di Indonesia pada tahun 2022, hanya sekitar 12% responden rumah tangga yang mengetahui bahwa minyak jelantah dapat dimanfaatkan menjadi produk lain. Sampai beberapa minggu yang lalu, Penulis adalah bagian dari 78% yang belum mengetahui manfaat lain dari minyak jelantah.

Potensi minyak jelantah sebagai substitusi bahan baku biofuel

Kementerian ESDM melaporkan bahwa produk bahan bakar domestik yang penjualannya paling banyak pada tahun 2023 adalah biogasoil, atau biasa disebut biosolar. Biosolar adalah campuran dari solar dengan produk biodiesel, umumnya menggunakan bahan turunan dari crude palm oil (CPO). Porsi biodiesel telah mencapai 35% pada tahun 2023 seiring dengan program B35 yang diamanatkan oleh pemerintah. Sejak mandat pencampuran biodiesel pada tahun 2015, penjualan biosolar terus meningkat sekitar 12,3% setiap tahunnya, mengindikasikan potensi biofuel yang besar dalam langkah dekarbonisasi sektor transportasi di Indonesia.

Selain biosolar, Indonesia juga tengah mengembangkan bioavtur, atau biasa disebut sebagai Sustainable Aviation Fuel (SAF), yaitu campuran dari avtur dengan biofuel yang berasal dari produk turunan minyak kelapa sawit yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) yang biasa dipakai di Indonesia.

Namun, CPO dan RBDPKO juga dimanfaatkan di sektor-sektor lain, seperti pangan, industri kosmetik, industri kimia, dan lain-lain. Selain itu, produk minyak kelapa sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Dengan posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak kelapa sawit nomor satu di dunia2, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa komoditas ini menjadi salah satu motor penggerak produk domestik bruto di sektor pertanian dan perkebunan (tumbuh 1,69%) serta pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III tahun 2024 (4,95%). Dengan perlunya mempertahankan eksistensi Indonesia di pasar global serta banyaknya sektor yang membutuhkan komoditas ini, minyak kelapa sawit menjadi komoditas yang most wanted.

Oleh karena itu, minyak jelantah menjadi kunci dalam usaha diversifikasi sumber bahan baku biofuel. Minyak jelantah yang termasuk dalam kategori limbah rumah tangga adalah komoditas yang tidak memiliki nilai. Produksinya pun tidak membutuhkan lahan maupun sumber daya alam tambahan, sehingga jejak karbon yang dihasilkan untuk memproduksinya lebih sedikit dibandingkan produk turunan kelapa sawit. Dengan keuntungan tersebut, biofuel berbahan baku minyak jelantah berpotensi untuk menjadi substitusi untuk komoditas CPO dan RDBPKO sebagai campuran untuk memproduksi biosolar maupun bioavtur.

Tantangan industri minyak jelantah

Di pasar internasional, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai produsen dan eksportir minyak goreng. Sepatutnya, Indonesia juga dapat menjadi pemain utama dalam pasar minyak jelantah. Namun, Indonesia hanya menduduki peringkat sepuluh eksportir minyak jelantah terbesar di dunia dengan nilai ekspor sebesar 243,8 juta dolar AS pada tahun 2023. Perbandingannya, Malaysia yang merupakan negara ekspotir minyak goreng peringkat dua di dunia, menempati peringkat tiga eksportir minyak jelantah dengan nilai ekspor sebesar 914,5 juta dolar AS pada tahun 2023. Hal ini mengindikasikan masih banyak potensi minyak jelantah Indonesia yang belum dimaksimalkan.

Kementerian ESDM menyampaikan bahwa salah satu tantangan terbesar penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biofuel adalah jaminan pasokan ketersediaannya. Pasalnya, belum ada standar terkait batas pemakaian minyak goreng sampai menjadi minyak jelantah. Akibatnya, masyarakat tetap menggunakan minyak goreng yang sudah tidak layak berulang-ulang kali, sehingga potensi produksi pasokan minyak jelantah tidak dapat diprediksi secara akurat. Hal ini sangat bergantung pada perilaku masing-masing rumah tangga dan industri penghasil minyak jelantah.

Selain itu, sistem pengumpulannya pun belum efektif. Jumlah pengepul minyak jelantah belum optimal dan belum ditempatkan di lokasi-lokasi strategis. Padahal, walaupun tanpa intervensi pemerintah, masyarakat kini telah dapat menjual minyak jelantah ke pengepul dengan harga yang beragam, bahkan dapat mencapai Rp6.500 per liter. Insentif yang telah ada ini seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba untuk mengumpulkan minyak jelantah, namun informasi yang sampai di masyarakat masih minim.

Meskipun banyak tantangannya, beberapa tahun terakhir Indonesia telah mengekspor minyak jelantah ke berbagai negara baik di benua Asia, Eropa, sampai di Afrika. Nilai dari ekspor minyak jelantah pun beragam, dari sekitar $0,6/kg sampai dengan $1,6/kg. Selain itu, jumlah ekspor minyak jelantah dari Indonesia ke negara pengimpor terlihat tidak stabil setiap tahunnya. Nilai dan volume ekspor yang tidak stabil dapat menandakan bahwa skema penjualan tersebut masih berupa jual-beli putus. Hal ini menimbulkan ketidakpastian pada produsen dan pengekspor minyak jelantah.

Mengembangkan domestik, juga menguasai internasional

Kepastian pasokan minyak jelantah dapat dicapai dengan adanya dukungan untuk pengembangan industri minyak jelantah di Indonesia. Diperlukan koordinasi antar kementerian dan lembaga serta industri dan asosiasi untuk memprioritaskan edukasi rutin terkait minyak jelantah, menciptakan sistem pengumpulan yang lebih efisien, serta membentuk skema insentif menarik untuk rumah tangga, industri penghasil minyak jelantah, maupun pengumpul minyak jelantah. Dalam pembiayaannya, mengingat pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon telah dilakukan di sektor kelistrikan, dana yang terkumpul dapat segera dikelola dan dialokasikan untuk sektor-sektor berkelanjutan yang membutuhkan, salah satunya adalah insentif untuk program minyak jelantah.

Di sisi demand, ketidakpastian dapat diatasi dengan mendorong kebutuhan minyak jelantah dalam negeri dengan mengembangkan industri bioavtur yang berbahan baku minyak jelantah. Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi (Kemenkomarves) telah menerbitkan dokumen peta jalan untuk target pencampuran SAF, yaitu 1% pada tahun 2027 dan meningkat sampai dengan 50% pada tahun 2060. Artinya, industri minyak jelantah sebagai bahan baku perlu dikembangkan seiring dengan kebutuhan SAF domestik yang akan terus meningkat.

Selain itu, kebutuhan SAF internasional juga perlu dipertimbangkan. Menurut proyeksi Wood Mackenzie, negara-negara Asia memiliki potensi untuk menjadi pemasok SAF untuk kebutuhan Eropa di masa depan. Namun, surplus dari neraca SAF Indonesia diperkirakan hampir mendekati nol. Padahal, terdapat potensi kebutuhan yang besar dari bandara-bandara Eropa yang akan mewajibkan 2% SAF pada tahun 2025, dan terus meningkat menjadi 70% SAF pada tahun 2050.

Dengan posisi Eropa yang saat ini sudah merupakan pengimpor minyak jelantah dari negara-negara Asia untuk diproses menjadi SAF, kemungkinan ke depannya volume minyak jelantah dan SAF yang dibutuhkan oleh Eropa dari Asia semakin besar. Sehingga, negara-negara Asia seperti Singapura yang diprediksikan akan memiliki surplus produksi SAF memiliki potensi yang tinggi dalam menguasai pasar internasional. Potensi ini tidak boleh terluput oleh Indonesia dalam melakukan perencanaan jangka panjang.

Berkembangnya industri minyak jelantah diharapkan dapat menjadi salah satu langkah strategis pemerintah Indonesia untuk mendukung transisi energi serta meningkatkan perekonomian nasional. Saat ini, langkah-langkah transisi energi kerap merupakan proyek besar yang tidak mengikutsertakan rakyat kebanyakan, dan biasanya hanya diketahui oleh kalangan industri dan pemerintah. Namun, kesadaran akan nilai ekonomi minyak jelantah diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk dapat memberikan kontribusi kepada negara melalui langkah kecil; mengelola minyak jelantah untuk energi yang berkelanjutan.

 


(rah/rah)

Tags

Related Opinion
Recommendation