Menakar Untung-Rugi Kabinet Gemuk Presiden Prabowo Subianto

Sofyan Herbowo CNBC Indonesia
Rabu, 30/10/2024 06:15 WIB
Sofyan Herbowo
Sofyan Herbowo
Sofyan Herbowo merupakan mantan ASN Komisi Penyiaran Indonesia Pusat yang saat ini berprofesi sebagai konsultan public affairs dan public re... Selengkapnya
Foto: Suasana retret Kabinet Merah Putih di Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. (Rusman/BPMI Sekretariat Presiden)

Presiden Prabowo Subianto secara berurutan melantik Kabinet Merah Putih yang berisi 109 tokoh dari beragam kalangan di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (21/10/2024). Beberapa nama familiar seperti Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Bahlil Lahadalia (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), hingga Pratikno (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) kembali masuk ke dalam jajaran kabinet.


Selanjutnya beberapa debutan menghiasi jajaran kabinet baru ini seperti Prasetyo Hadi (Menteri Sekretaris Negara), Sugiono (Menteri Luar Negeri), Abdul Mu'ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah), Yassierli (Menteri Ketenagakerjaan), hingga Widianti Putri (Menteri Pariwisata).

Kabinet dengan postur besar ini seakan menyampaikan sinyal penting bahwa Prabowo mengakomodasi banyak talenta dari berbagai spektrum politik, sekaligus menunjukkan atensi tinggi pada isu sektoral yang diwadahi dalam kementerian baru di Kabinet Merah Putih. Prabowo sendiri menyampaikan bahwa dalam membentuk kabinet, dirinya membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak.

Dalam ceramahnya di acara BNI Investor Daily Summit (Kamis, 10/10/2024), Prabowo menyampaikan, "Kalau kita ini negara otoriter, hanya satu partai, ya bisa jalankan ini dengan 24 Kementerian. Tapi saya harus merangkul semua kelompok. Harus ada perwakilan dari Indonesia Timur, Indonesia Barat, Indonesia Tengah...".

Hal tersebut diperkuat dengan ruang hukum pascarevisi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian, di mana batasan kementerian yang dibentuk sebanyak 34 dihapus. Praktis Prabowo lebih memiliki banyak keleluasaan untuk membangun kabinet dengan armada yang lebih besar. Spektrum politik yang terbentuk dinamis di parlemen juga memungkinkan Prabowo untuk menjadikan penyusunan kabinet sebagai medium akomodasi politik berbagai kekuatan.

Tapi apakah sebenarnya risiko dari kabinet "gemuk" yang hendak dibangun oleh Prabowo?

Pertama, Prabowo harus berhati-hati dengan penyusunan nomenklatur kementerian dan badan negara beserta sosok menteri yang akan dipilihnya. Pertimbangan kapabilitas personal calon Menteri menjadi penting untuk mengukur daya dorong kementerian yang akan dipimpin untuk mengeksekusi beberapa program dan kebijakan yang Prabowo rencanakan.

Pemisahan Kementerian Pendidikan Dasar & Menengah dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi misalnya, mengandaikan akselerasi kebijakan pendidikan dengan karakter program spesifik dan dukungan fiskal yang memadai. Sosok profesional-akademisi yang dipilih untuk mengisi jabatan tersebut, juga diandaikan memiliki daya gedor dengan birokrasi yang ada agar kebijakan dan program segera tereksekusi dengan baik di lapangan.

Kedua, Prabowo juga menghadapi tantangan ruang fiskal yang terbatas dan harus didayagunakan dengan efektif dan efisien. Merujuk RUU APBN 2025, APBN tahun depan yang menjadi modal awal kepemimpinan Prabowo masih sebesar Rp 3.621,3 triliun.

Melebarkan nomeklatur Kementerian menjadi 48 Kementerian, tidak serta merta memperluas ruang fiskal. Jangan karena pertambahan jumlah kementerian tersebut justru malah membebani APBN kita dan memangkas kemampuan fiskal untuk mendongkrak peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, Prabowo harus berhitung cermat dengan penambahan jumlah kementerian, berbanding ruang fiskal yang tersedia, untuk dimaksimalkan menjadi daya dukung pertumbuhan ekonomi secara makro.

Ketiga, perampingan mata rantai birokrasi dan pemberantasan budaya korup. Penambahan jumlah kementerian juga berdampak dalam eksekusi jumlah program dari pusat ke daerah sebagaimana diatur dalam prinsip otonomi daerah.

Pembentukan Kementerian Kebudayaan misalnya, akan berdampak pada penyesuaian ruang tanggungjawab birokratis antara pusat dan daerah terkait pemajuan kebudayaan dan pelestarian seni tradisi kita.

Selain itu, bertambahnya kementerian baru jangan sampai menambah rentetan panjang birokrasi yang berdampak bagi iklim investasi dan sektor ekonomi riil di lapangan. Apalagi jika budaya pungli dan korupsi yang masih mengakar tidak segera diberantas dengan aturan yang tegas dan mengikat.

Keuntungan Kabinet Gemuk
Penambahan kementerian menjadi 48 juga memiliki beberapa aspek positif yang perlu dibaca sebagai optimisme. Pertama, pembentukan kementerian yang spesifik mengurusi bidang tertentu (Kementerian Kebudayaan, Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan) akan memberikan jaminan ketersediaan kebijakan dan dukungan fiskal dari sektor terkait.

Kedua, potensi layanan publik yang terkait sektor tertentu (seni budaya, perumahan, imigrasi, pemasyarakatan) akan menjadi lebih prima karena didukung oleh fokus Pemerintah Pusat yang kuat.

Ketiga, program pemerintah pusat yang ditawarkan kepada publik menjadi lebih beragam, dan peluang terjadinya intersection (irisan) antar program kementerian yang lebih banyak akan menjadi potensi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Urgensi Komunikasi Publik yang Teduh
Prabowo berusaha sangat keras menampilkan diri sebagai sosok Presiden baru yang terbuka, demokratis, dan akomodatif terhadap semua golongan. Publik disuguhkan dengan pilihan calon menteri yang akan mengisi pos kabinet sejak sebelum pelantikan.

Dan dengan beragam sumber informasi yang bisa diakses, publik bisa menilai rekam jejak kepemimpinan mereka masing-masing. Prabowo dinilai cukup berhasil menavigasi periode peralihan kepemimpinan nasional ini dengan menerapkan politik akomodatif.

Namun Prabowo juga harus menerapkan komunikasi persuasif dengan gagasan "rekonsiliasi nasional" dan "persatuan" secara lebih masif. Penerapan komunikasi persuasif, baik secara verbal maupun non-verbal, akan menjadi kunci bagi terbentuknya landasan pemerintahan baru.

Kemampuan menerjemahkan gagasan persatuan yang disampaikan dengan narasi yang teduh dianggap bisa menjadi poin utama dalam merajut kestabilan politik selama lima tahun mendatang.

Publik masih mengharapkan kestabilan politik yang tergambar dari dinamika elite saat periode transisi kepemimpinan nasional ini berjalan. Berbekal kemampuan merendahkan diri untuk mengakomodasi berbagai poros politik, Prabowo harus secara simultan memproduksi komunikasi politik yang teduh.

Kestabilan politik yang akan terbentuk akan menjadi variabel penting dalam pembangunan ekonomi nasional, dan tentu saja 282,4 juta manusia Indonesia yang mengharapkan kesejahteraan.


(miq/miq)