Energi Berkeadilan: Subsidi Tepat Sasaran

Sampe L. Purba, CNBC Indonesia
06 August 2024 12:20
Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Sampe L. Purba merupakan profesional independen energi. Ia tercatat sebagai alumni program doktoral di Universitas Pertahanan Republik Indonesia... Selengkapnya
Jelang Idul Adha 2024, PT Pertamina Patra Niaga Siap Tambah Pasokan BBM Solar dan LPG. (Dok. PT Pertamina Patra Niaga)
Foto: Ilustrasi LPG. (Dok. PT Pertamina Patra Niaga)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setiap tahun, subsidi energi di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, disertai dengan kenaikan kompensasi. Berdasarkan Nota Keuangan APBN, akumulasi subsidi energi dalam lima tahun terakhir (2019-2024) mencapai Rp 795 triliun.

Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 mengatur penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM). Dalam perpres tersebut, Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tidak mendapatkan subsidi, tetapi terkait kompensasi tidak diatur secara perinci.

Akumulasi kompensasi energi yang dikategorikan sebagai Belanja Lain-lain tidak tercatat dalam Nota Keuangan. Namun, dari total Rp 333 triliun outlook 2023, sebagian besar alokasi dana tersebut digunakan untuk kompensasi energi akibat kebijakan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat sebagai upaya mempertahankan momentum pemulihan ekonomi nasional.

Subsidi energi pada tahun 2024 terdiri dari LPG 3 kg sebesar Rp. 87,5 triliun dengan volume 8,3 juta metrik ton, Jenis BBM Tertentu (JBT) sebesar Rp 25,8 triliun (subsidi terbatas minyak solar Rp. 1000/liter dengan volume 19 juta kiloliter dan minyak tanah/kerosene sebesar 0,58 juta kiloliter), dan subsidi listrik sebesar Rp. 75,8 triliun. Kompensasi untuk JBKP seperti Pertalite dan solar mencapai Rp. 163 triliun. Penugasan ini sering disebut juga dengan Public Service Operation (PSO).

Jumlah kendaraan bermotor dan konsumsi BBM per unit saat ini adalah sebagai berikut: kendaraan bermotor roda dua hingga 150 CC ada 113 juta unit dengan konsumsi 136 liter per unit per tahun, kendaraan bermotor roda empat plat hitam hingga 2000 CC sebanyak 19,1 juta unit dengan konsumsi 1.895 liter per tahun, dan kendaraan plat hitam di atas 2000 CC sejumlah 0,8 juta unit dengan konsumsi 477-573 liter per tahun.

Sepeda motor hingga kendaraan roda empat 2000 CC menggunakan Pertalite, sedangkan kendaraan di atas 2000 CC menggunakan biosolar subsidi. Besar PSO yang diterima oleh satu unit kendaraan bermotor roda empat hingga 2000 CC adalah 4,3 hingga 5 kali lebih besar dari subsidi dan kompensasi yang diterima oleh satu unit sepeda motor. Bahkan, pemilik kendaraan di atas 2000 CC menerima kompensasi dan subsidi sekitar 10 kali lebih besar dibandingkan dengan pemilik sepeda motor.

Banyak pihak lain, termasuk kalangan niaga non-subsidi seperti pemilik kendaraan berat dan industri yang seharusnya menggunakan solar non-subsidi, tergoda untuk memanfaatkan solar bersubsidi. Banyak penyalahgunaan ini terungkap di media.

LPG diperkenalkan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah (kerosene) pada tahun 2014 di era pemerintahan SBY-JK. Berbagai hitungan dan justifikasi disampaikan oleh JK sebagai panglima ekonomi waktu itu.

Namun, ada beberapa hal yang kurang diperhitungkan, yaitu Indonesia tidak memiliki cukup gas yang mengandung properti C3 dan C4 (propane dan butane) sebagai pembentuk LPG. Gas di Indonesia adalah gas kering (lean gas), yang mengakibatkan ketergantungan impor dan volatilitas kurs.

Volume impor LPG pada tahun 2024 adalah 3,6 juta ton, pada tahun 2019 tercatat menjadi 5,1 juta ton, dan pada tahun 2023 meningkat menjadi 6,95 juta ton, naik sekitar 200% sejak kebijakan konversi.

Pemerintah memperkenalkan dua macam harga LPG, yaitu LPG bersubsidi dalam kemasan 3 kg sekitar Rp. 7.000 per kilogram, dan LPG non-subsidi dengan harga dua kali lebih mahal. Rasionalitas ekonomi mengatakan bahwa manusia cenderung memilih yang lebih murah selama memberikan manfaat yang sama (people respond to incentives - Gregory Mankiw, 1997).

Seperti dalam kasus solar, berbagai temuan juga menunjukkan bahwa pengguna LPG non-subsidi bukan hanya masyarakat miskin, sebagaimana dalam cross check atau triangulasi penerima bantuan sosial berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam presentasi publiknya memperkirakan bahwa dalam periode 2019-2023, rasio biaya impor LPG mencapai 77% dari total subsidi LPG.

Subsidi dan kompensasi listrik disalurkan melalui 38 golongan tarif sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2023 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero). Golongan tarif subsidi mencakup sekitar 40.111 ribu pelanggan (44,85%), sedangkan golongan tarif non-subsidi yang menerima kompensasi mencapai 49.322 ribu pelanggan (55,15%).

PLN menyatakan bahwa seluruh tarif non-subsidi masih di bawah harga keekonomian. Golongan pelanggan penerima kompensasi termasuk rumah tangga mampu, industri menengah dan besar, serta bisnis menengah dan besar seperti mal dan supermarket.

Di sisi hulu, pemerintah membantu PLN dengan kebijakan harga. Harga batubara untuk keperluan listrik umum ditetapkan sebesar USD 70 per metrik ton (dengan kalori 6.322 kcal/kg GAR), sementara rata-rata harga batu bara dunia adalah di atas $120.

Fakta ini menunjukkan bahwa subsidi dan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah lebih banyak dinikmati oleh golongan yang lebih kaya. Solusi jangka pendek dalam kebijakan subsidi energi 2025 yang dilakukan oleh pemerintah terkait subsidi BBM meliputi:

(a) Melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk BBM solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah,

(b) Melanjutkan kebijakan subsidi BBM tepat sasaran,

(c) Melanjutkan upaya transformasi subsidi LPG 3 kg tepat sasaran menjadi berbasis penerima manfaat dan terintegrasi dengan data penerima manfaat yang akurat.

Adapun terkait subsidi listrik, solusi yang diajukan meliputi:

(a) Subsidi listrik diberikan kepada golongan yang berhak,

(b) Subsidi listrik kepada rumah tangga miskin dan rentan,

(c) Mendorong transisi energi yang lebih efisien dan adil dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, fiskal, dan lingkungan.

Kami usulkan solusi bertahap jangka panjang meliputi:

(a) Mengubah subsidi kepada komoditas dan perusahaan menjadi subsidi kepada orang. Model subsidi ini telah berhasil diterapkan di India dan Brazil,

(b) Memperbanyak jaringan gas yang tidak dipersaingkan dengan pasar LPG, untuk mendorong transisi energi yang lebih terukur,

(c) Menerapkan hukum supply and demand pasar yang efektif dan efisien, dengan membuka kesempatan yang berimbang kepada banyak pemain profesional di bidangnya,

(d) Menerapkan harga yang sama untuk komoditas BBM dan LPG,

(e) PSO tetap dijalankan, tetapi terbuka dan dengan kesempatan yang sama kepada seluruh pemain industri yang memasarkan BBM dan LPG.

Dengan kebijakan tersebut, diharapkan energi yang berkeadilan dapat terwujud. Meskipun sulit, hal ini dapat dilaksanakan. Kita berharap dan menunggu kebijakan serta arah kebijakan pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan menjalankan tugas pelayanannya mulai 20 Oktober 2024.


(miq/miq)