Problematika Subsidi Energi di Indonesia

Dalam simplifikasi kategoris, subsidi energi di Indonesia terdiri dari dua jenis utama: subsidi terselubung (implisit) dan subsidi langsung. Subsidi implisit diberikan berdasarkan peraturan khusus dari menteri sektor atau hierarki peraturan yang lebih tinggi seperti peraturan presiden.
Seringkali tidak terlihat oleh publik, tetapi memengaruhi harga dan alokasi energi. Subsidi langsung dialokasikan oleh menteri keuangan dan memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada dalam postur anggaran yang dalam APBN, dan disahkan melalui undang-undang. Kedua jenis subsidi ini memainkan peran penting dalam kebijakan energi nasional, meskipun mekanisme dan transparansinya berbeda.
Pengaturan harga batubara domestik dan harga serta alokasi gas bumi untuk pengguna tertentu adalah contoh subsidi implisit.
Sebagai implementasi lebih perinci dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri ESDM mengharuskan pemegang Izin Usaha Pertambangan Batubara untuk menjual 25% dari produksi tahunan mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk kebutuhan listrik dan industri.
Harga batubara untuk keperluan listrik umum ditetapkan sebesar US$70 per metrik ton (dengan kalori 6.322 kcal/kg GAR). Sementara itu, harga internasional batubara (Newcastle Coal) dengan kalori yang sama selama tiga tahun terakhir berada di atas US$ 120 per metrik ton dan pernah mencapai US$ 400 per metrik ton. Harga untuk kalori yang lebih rendah disesuaikan dengan formula tertentu.
Kebijakan ini bertujuan untuk membantu PT PLN (Persero) meningkatkan kapasitas layanan, memperluas akses listrik, meningkatkan efisiensi operasional, dan membangun infrastruktur energi berkelanjutan.
Pada tahun 2022, Indonesia memproduksi total 625 juta ton batubara, dengan 130 juta ton digunakan untuk keperluan listrik dan 40 juta ton untuk industri. Meskipun demikian, beberapa pihak mengkritik kebijakan tersebut dapat memperlambat adopsi energi terbarukan karena batubara tetap menjadi pilihan utama dan tidak selalu mencerminkan kinerja sebenarnya dari perusahaan yang terlibat.
Sebagai turunan dari Peraturan Presiden tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, Menteri ESDM menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk pengguna gas bumi tertentu. Pengguna gas ini meliputi perusahaan yang beroperasi dalam tujuh sektor industri, yaitu pabrik pupuk, pabrik petrokimia, pabrik oleokimia, pabrik baja, pabrik keramik, pabrik kaca, dan pabrik sarung tangan karet.
Harga gas di pintu pabrik (plant gate) bervariasi antara US$ 6 hingga US$ 7 per MMBTU. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri pengguna.
Namun, kebijakan ini mendapat kritik dengan beberapa alasan.
Pertama, kebijakan ini kurang mempertimbangkan risiko yang berbeda di seluruh rantai pasokan gas, mulai dari hulu (upstream), transportasi, hingga hilir (downstream). Selain itu, penurunan harga gas langsung membebani bagian hak (entitlement) pemerintah.
Kritik lainnya adalah mengapa subsidi diberikan kepada perusahaan daripada langsung kepada masyarakat pengguna. Juga, bagaimana mengukur efisiensi pabrik, misalnya apakah penggunaan volume gas yang sama di Indonesia menghasilkan pupuk dengan volume yang setara di negara lain.
Subsidi energi langsung di APBN
Dalam lima tahun terakhir, subsidi energi mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2020, jumlahnya mencapai Rp 108,8 triliun, dan dalam APBN 2024, angkanya meningkat menjadi Rp 189,1 triliun. Kebijakan subsidi melibatkan beberapa aspek, termasuk subsidi tetap untuk minyak solar, subsidi selisih harga untuk minyak tanah, serta subsidi listrik bagi golongan yang berhak dan skema bantuan langsung pupuk secara bertahap.
Pada tahun anggaran 2024, subsidi energi terbagi sebagai berikut. Jenis BBM tertentu sebesar Rp 25,8 triliun, LPG tabung 3 kg sebesar Rp 87,5 triliun dan listrik R1 450 VA sebesar Rp 70,9 triliun. Adapun kuota untuk BBM bersubsidi meliputi solar 17.969.000 kiloliter (KL), kerosene/minyak tanah 524.000 KL, dan Pertalite sekitar 31.600.000 KL.
Pada tahun 2022, volume LPG tabung 3 kg mencapai 7,80 juta metrik ton. Disparitas harga antara LPG subsidi (sekitar Rp. 6.000 per kg) dan LPG non-subsidi (sekitar Rp. 15.000 per kilogram) menyebabkan penyaluran subsidi tidak selalu tepat sasaran.
Beberapa tantangan dalam kebijakan subsidi meliputi validitas data penerima subsidi yang rendah, ketidakakuratan data penerima, serta faktor eksternal seperti perubahan nilai tukar, harga minyak ICP, dan acuan harga produk BBM (Mean of Platts Singapore) serta LPG dengan acuan CP Aramco. Perubahan parameter dan peningkatan volume pengguna yang tidak tepat sasaran juga berkontribusi pada kelangkaan LPG dan BBM bersubsidi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa pembelian BBM subsidi akan dibatasi mulai pertengahan Agustus 2024. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berpendapat bahwa belum ada pembatasan.
Yang ada saat ini adalah penurunan kadar sulfur dalam BBM untuk menjaga kualitas udara di Indonesia. Regulasi terkait, yaitu Perpres Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, masih dalam pembahasan.
Epilog
Meskipun ada perbedaan pendapat di antara para pemimpin di negara ini, kebijakan subsidi energi memang perlu mendapatkan perhatian untuk perbaikan. Beberapa isu yang muncul meliputi ketidaktepatan sasaran, efisiensi bagi korporasi, dan keadilan energi bagi konsumen. Selain itu, tuntutan internasional mengharuskan kualitas bahan bakar minyak (BBM) semakin bersih di satu negara.
BBM bersubsidi pertalite menggunakan spesifikasi RON (Research Octane Number) 90, demikian pula solar, dengan kandungan sulfur hingga 500 ppm. Sementara untuk energi yang lebih bersih yang mendekati standar Euro 4 setidaknya adalah jenis Pertamax plus (RON 95) dan Pertamax Turbo (RON 98), atau untuk minyak diesel dengan batas sulfur 50 ppm.
Pengubahan subsidi energi (listrik, LPG, dan BBM) memiliki implikasi yang luas. Dukungan politik, ekonomi serta sosial sangat diperlukan. Mari kita tunggu dan lihat langkah yang akan diambil oleh pemerintahan yang akan datang.
(miq/miq)