The Nightmare and Daydream for Indonesia's Silver Generation

Talitha Fauzia Chairunissa, CNBC Indonesia
12 July 2024 11:45
Talitha Fauzia Chairunissa
Talitha Fauzia Chairunissa
Talitha Fauzia Chairunissa merupakan kandidat PhD, Kebijakan Publik Lee Kuan Yew School of Public Policy. Ia juga menjadi salah satu mentor di Think Policy... Selengkapnya
Ilustrasi Panti Jompo. (Detik.com/Andhika Prasetia)
Foto: Ilustrasi Panti Jompo. (Detik.com/Andhika Prasetia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia saat ini sedang menikmati hasil dari bonus demografi, dengan tenaga kerja muda dan dinamis dalam mendorong kemajuan bangsa. Namun, situasi demografi yang menguntungkan ini berada di ambang perubahan signifikan karena negara ini diproyeksikan akan menjadi masyarakat yang menua (aging society) pada tahun 2045.

Walau pemerintah berusaha keras untuk mengangkat bangsa menjadi negara maju dan membina generasi muda sebagai Generasi Emas, sayangnya, populasi lanjut usia (lansia) tampak terabaikan. Kelalaian ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga merupakan strategi yang bersifat sempit, karena lansia yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, berhak mendapatkan dukungan yang memadai di masa senja mereka.

Keyakinan umum di Indonesia, yang sangat tertanam dalam nilai-nilai Asia (Asian Value), adalah bahwa anak-anak adalah investasi orang tua mereka dan merupakan tanggung jawab merekalah untuk merawat orang tua mereka kelak.

Norma budaya ini digambarkan dengan sangat jelas dalam serial TV baru Joko Anwar "Nightmare and Daydream," yang dengan cerdas mengangkat beberapa isu kebijakan paling mendesak di negara ini.

Sang tokoh utama, Panji-seorang sopir taksi-berjuang dengan rasa bersalah karena menempatkan ibunya yang menua di panti jompo, takut menjadi anak durhaka. Di sisi lain, ibunya, yang berjuang dengan demensia, merasa patah hati ketika menyadari dia dititipkan di fasilitas tersebut.

Narasi yang kuat ini tidak hanya menyoroti tantangan yang dihadapi banyak keluarga Indonesia, tetapi juga beban emosional yang ditanggung oleh orang tua dan keluarga mereka, serta memperlihatkan kebutuhan mendesak akan infrastruktur perawatan lansia yang memadai.

Berbeda dengan masyarakat Barat, di mana tinggal di panti jompo merupakan hal yang biasa, orang tua di Indonesia cenderung berinvestasi pada anak-anak mereka secara total dan mengharapkan dukungan anak-anak mereka di masa tua.

Ekspektasi budaya ini membuat banyak orang tua menua tanpa perencanaan keuangan yang memadai untuk pensiun, padahal mereka menghadapi biaya kesehatan yang tinggi dan inflasi dari biaya hidup tanpa jaring pengaman yang memadai.

Keyakinan bahwa anak-anak seharusnya orang tua di masa tua begitu tertanam bahkan pada benak para pembuat kebijakan kita, seperti Menteri Sosial Tri Rismaharini, yang menolak konsep panti jompo dan menganggapnya tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Sikap semacam ini bisa merugikan kesejahteraan lansia karena mengabaikan kebutuhan yang semakin besar akan fasilitas perawatan lansia yang profesional.

Bantuan sosial untuk lansia di Indonesia dapat dibilang sangat tidak memadai. Transfer tunai Rp 600.000 setiap tiga bulan untuk rumah tangga diberikan terbatas untuk lansia di rumah tangga termiskin.

Di samping beberapa undang-undang yang sudah ada, seperti Undang-Undang Nomor 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dan Undang-Undang Nomor 43/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, agaknya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang terus berkembang dari populasi yang menua.

Kurangnya dukungan yang komprehensif ini membebani anggota masyarakat yang lebih lemah--yang umumnya dinilai berdasarkan produktivitas ekonomi mereka. Saat ini, perempuanlah yang menanggung beban sebagai pengasuh utama anak dan lansia, karena dipandang kurang produktif secara ekonomi.

Beban pengasuhan tersebut berkontribusi pada tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan yang stagnan di angka 50% selama bertahun-tahun. Seiring bertambahnya usia Indonesia, karena kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak, tanggung jawab ini bukan tidak mungkin untuk nantinya jatuh kepada anak, mirip dengan tren di negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

Di AS, diperkirakan terdapat 5,4 juta anak yang membantu merawat orang tua, kakek-nenek, atau anggota keluarga dengan disabilitas atau penyakit degeneratif karena keluarga tidak mampu untuk membayar atau menemukan opsi perawatan lainnya.

Akibatnya, di masa yang akan datang, lebih banyak lagi orang dewasa muda yang menjadi bagian dari "sandwich generation", yang merawat anak-anak mereka dan orang tua yang menua. Tanggung jawab ganda ini menghambat produktivitas ekonomi dan kesejahteraan pribadi mereka, baik di masa kini maupun di usia tua mereka sendiri.

Untuk menghindari siklus yang dapat membahayakan aspirasi kita untuk menjadi negara maju dengan Generasi Emas pada tahun 2045, Indonesia harus memikirkan kembali pendekatannya terhadap perawatan lansia. Menyediakan panti jompo atau panti sosial yang memadai dapat menjadi solusi dan langkah pertama, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian dari berbagai negara.

Fasilitas-fasilitas ini dapat memberikan perawatan profesional, interaksi sosial, dan kegiatan yang meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi stres, serta risiko penyakit degeneratif. Panti jompo atau panti sosial ini dapat dihubungkan dengan sistem BPJS agar kebutuhan lansia akan perawatan kesehatan tertangani dengan baik.

Jika pemerintah merancang kebijakannya dengan jeli, fasilitas semacam ini juga dapat menciptakan peluang kerja bagi generasi muda bangsa, sehingga meningkatkan produktivitas dan pendapatan pajak. Apabila stigma dan nilai-nilai telah bergeser dan kesadaran sosial akan pentingnya perawatan lansia sudah terbentuk, para pemain di sektor swasta akan turut serta berpartisipasi untuk mengisi celah pasar terkait perawatan lansia.

Investasi strategis ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup lansia tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi bangsa, menjadikannya situasi yang saling menguntungkan untuk Indonesia di masa mendatang.

Investasi dalam perawatan lansia bukan hanya sebuah kewajiban moral, tetapi juga kebutuhan strategis. Dengan memastikan bahwa lansia terawat dengan baik, generasi muda dapat berfokus pada karier mereka dan berkontribusi lebih efektif pada perekonomian. Hal ini, pada gilirannya, akan semakin mendekatkan Indonesia kepada tujuannya untuk menjadi negara maju.

Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis perawatan lansia. Hal ini termasuk meningkatkan perlindungan sosial, perumahan, serta perawatan bagi lansia, penyediaan perawatan geriatric terpadu, serta memastikan kualitas panti jompo dan panti sosial yang terstandar di seluruh negeri.

Dengan memprioritaskan kesejahteraan populasi yang menua, Indonesia dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif yang menghormati kontribusi semua warganya, baik muda maupun tua, dan membuka jalan bagi pembangunan berkelanjutan.

Dengan berinvestasi dalam perawatan lansia yang komprehensif di ambang perubahan demografis yang signifikan, negara dapat memastikan kehidupan yang bermartabat bagi warga lanjut usia dan memastikan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mudanya. Waktu untuk bertindak adalah sekarang, sebelum bonus demografi berubah menjadi tantangan demografi.


(miq/miq)

Tags
Recommendation