Meninjau Ulang Program Prioritas Industri Pertahanan Indonesia

Alman Helvas Ali CNBC Indonesia
Kamis, 27/06/2024 12:50 WIB
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi C... Selengkapnya
Foto: Kapal Bantu Rumah Sakit. (Dokumentasi PT PAL Indonesia)

Kedaulatan pertahanan merupakan impian negara-negara berkembang sejak lama yang diwujudkan melalui pengembangan industri pertahanan domestik. Keinginan mempunyai industri pertahanan sendiri didorong oleh alasan-alasan seperti keamanan nasional dan pembangunan ekonomi.


India, Korea Selatan dan Taiwan ialah contoh beberapa negara yang berupaya keras mewujudkan kedaulatan pertahanan melalui desain dan produksi sejumlah peralatan pertahanan seperti pesawat latih, pesawat tempur dan kapal kombatan permukaan. Di negara-negara berkembang, kehadiran industri pertahanan biasanya digagas oleh negara sebab sektor swasta tidak mempunyai kapasitas seperti di negara-negara maju.

Upaya mewujudkan kedaulatan pertahanan bukan saja memerlukan dukungan politik yang kuat dari negara, tetapi pula kemampuan modal, penguasaan teknologi tinggi, kapasitas industri pertahanan dan sumberdaya manusia.

Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan revitalisasi industri pertahanan mulai menampakkan hasil, akan tetapi masih banyak tantangan terhadap penguasaan teknologi tinggi, produksi sistem senjata yang kompleks dan pemasaran produk-produk pertahanan.

Kebijakan offset yang digadang-gadang menjadi unggulan dalam penguasaan teknologi tinggi hingga kini belum menunjukkan hasil, ditandai oleh kesulitan industri pertahanan domestik menyerap teknologi tersebut.

Saat ini Indonesia akan memasuki era baru dalam program pembangunan kekuatan jangka panjang yakni periode 2025-2044. Salah satu tahapan dari periode tersebut adalah kurun waktu 2025-2029 yang merupakan masa baru pasca Minimum Essential Force 2010-2024.

Pertanyaannya, kebijakan industri pertahanan seperti apa yang akan diadopsi oleh pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto guna mewujudkan kedaulatan pertahanan? Apakah akan ada terobosan kebijakan guna memecahkan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh industri pertahanan domestik selama ini?

Mengingat kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh industri pertahanan Indonesia, merupakan pekerjaan rumah yang berat untuk mengatasinya dalam lima tahun ke depan. Salah satu terobosan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintahan baru adalah meninjau ulang 10 program prioritas industri pertahanan.

Tidak berlebihan untuk menilai bahwa mayoritas program prioritas tersebut gagal mencapai tujuan, sehingga wajar apabila pemerintahan baru melaksanakan tinjauan ulang. Apalagi program-program itu telah dimulai sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sudah berlangsung selama 10 tahun.

Program prioritas industri pertahanan perlu dikurangi dari 10 kegiatan menjadi tiga program saja. Program yang perlu dipertahankan ialah kapal selam, propelan dan pesawat tanpa awak. Sedangkan program tank medium kini sudah memasuki fase produksi massal, adapun program-program lainnya dapat dianggap gagal. Mengapa hanya tiga program saja yang perlu menjadi prioritas bagi pemerintahan baru?

Dari sisi fiskal, dapat dipastikan pemerintahan baru akan memberikan prioritas anggaran pada kegiatan-kegiatan kunci yang menjadi janji kampanye pemilu presiden sekaligus pembeda dengan pemerintahan sebelumnya.

Meskipun anggaran pertahanan tahunan mungkin akan mengalami kenaikan, patut diduga kenaikan itu tidak akan berkontribusi besar pada anggaran yang terkait penelitian dan pengembangan. Selama ini sumber pembiayaan untuk 10 program prioritas industri pertahanan berasal dari anggaran penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan.

Pemerintah juga mengucurkan Penanaman Modal Negara untuk program tertentu, seperti berinvestasi sebesar Rp.2.78 trilyun untuk mendukung pembangunan fasilitas kapal selam di PT PAL Indonesia. Program penguasaan teknologi kapal selam melalui pembelian tiga kapal selam DSME 209/1400 telah gagal karena nyaris tidak ada know-how yang diberikan oleh Korea Selatan kepada Indonesia.

Dengan keputusan Kementerian Pertahanan yang memberikan kontrak akuisisi dua kapal selam diesel elektrik kepada Naval Group, peluang Indonesia untuk menguasai teknologi kapal selam kembali terbuka. Kedua kapal selam yang mengadopsi full Lithium-ion Battery akan dibangun di Indonesia oleh para tenaga ahli dan terampil Indonesia di bawah supervisi penuh Naval Group.

Konsep demikian berbeda dengan pembangunan tiga kapal selam DSME 209/1400 di mana para tenaga ahli dan tenaga terampil Indonesia hanya learning by seeing saja. Pola yang ditawarkan oleh Naval Group kepada Indonesia sebelumnya sudah dipraktekkan oleh Mazagon Dock Shipbuilder, India yang membangun enam kapal selam kelas Scorpene di India.

Menurut seorang manajer senior galangan India, dalam konstruksi dua kapal selam pertama mereka mendapatkan know-how dari Naval Group. Berdasarkan know-how pada dua kapal selam pertama, pembangunan kapal selam ketiga dan seterusnya dilakukan penuh oleh para tenaga ahli dan tenaga terampil India, sementara peran Naval Group tidak signifikan lagi.

Program propelan selama ini tidak mencapai tujuan yaitu menguasai teknologi produksi bahan peledak grade militer disebabkan oleh kurangnya investasi pemerintah pada PT Dahana. Selama ini Indonesia harus mengimpor double base propellant sebab tidak dapat memproduksi nitroglycerin dan nitrocelloluse yang digolongkan sebagai grade militer karena produk dalam negeri tidak dapat diandalkan.

Indonesia hanya dapat memproduksi nitroglycerin dan nitrocelloluse yang berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan amunisi dan propelan militer apabila pemerintah berinvestasi pada fasilitas produksi seperti air dan listrik. Sebab guna menghasilkan nitroglycerin dan nitrocelloluse dengan grade militer, dibutuhkan pasokan air dalam jumlah besar dan berkelanjutan di mana hal demikian harus didukung oleh suplai listrik yang bekerja 24 jam terus menerus.

Upaya membangun kemampuan menghasilkan double base propellant dapat dikatakan sebagai low hanging fruit seandainya pemerintah mau berinvestasi. Andaikata pemerintah beberapa tahun lalu mau menambah investasi untuk fasilitas produksi yang sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh Roxel dan Eurenco, niscaya hari ini firma tersebut sudah dapat memproduksi bahan peledak grade militer.

Pertanyaannya adalah apakah pemerintah mau berinvestasi agar PT Dahana dapat memproduksi bahan peledak dan propelan grade militer? Satu hal yang pasti, program itu tidak memulai segala sesuatu dari nol lagi sebab tinggal melengkapi fasilitas yang sudah ada selama ini.

Penguasaan teknologi pesawat tanpa awak dapat kembali menjadi prioritas pemerintah apabila pemerintah bersedia menempuh skema yang berbeda daripada program sebelumnya yang sudah gagal. Pemerintah perlu menempuh skema baru yaitu membeli lisensi dari salah satu negara produsen pesawat tanpa awak sebagai jalan pintas untuk menguasai teknologi-teknologi terkait.

Pembelian lisensi memang mahal dari sisi biaya yang harus dikeluarkan, namun harus diingat bahwa tidak ada biaya murah atau bahkan gratis dalam penguasaan teknologi maju. Adapun tipe pesawat tanpa awak yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah Medium Altitude Long Endurance (MALE) dengan kategori Class III mengacu pada standar NATO, yaitu yang memiliki berat lebih besar 600 kg, di mana berat tersebut sudah termasuk muatan seperti peralatan elektro-optik dan rudal.


(miq/miq)