'Lingkaran Setan' Masalah Industri Pertahanan BUMN

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Paralel dengan dimulainya Minimum Essential Force (MEF) pada 2010, pemerintah juga melaksanakan revitalisasi industri pertahanan yang ditandai dengan pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Selain itu, pemerintah berupaya membangkitkan kembali peran industri pertahanan domestik guna mendukung kebutuhan sistem senjata yang digariskan dalam MEF.
Bersama dengan DPR, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pemerintah mengucurkan pula dana Penanaman Modal Negara (PMN) kepada sejumlah BUMN industri pertahanan untuk memodernisasi fasilitas produksi agar minimum dapat memenuhi kebutuhan domestik.
Saat ini MEF 2010-2024 akan segera berakhir dan dapat dipastikan bahwa tingkat pencapaian program tersebut hanya akan berada pada di kisaran 70 persen daripada 100 persen. Lalu bagaimana dengan kondisi industri pertahanan Indonesia seiring dengan akan usainya pelaksanaan MEF? Apakah revitalisasi industri pertahanan sudah mencapai tujuan yang ditetapkan? Apakah permasalahan-permasalahan klasik dalam industri pertahanan domestik sudah bisa diatasi?
Industri pertahanan di Indonesia dimiliki oleh dua entitas, yaitu negara dan swasta. Selama pelaksanaan MEF, terdapat keluhan dari sektor swasta bahwa pemerintah lebih berpihak kepada industri pertahanan BUMN daripada memberikan perlakuan yang setara antara BUMN dan swasta.
Meskipun firma-firma swasta juga mendapatkan kontrak pengadaan sistem senjata dari pemerintah, namun perusahaan-perusahaan BUMN mendapatkan porsi kontrak yang lebih besar. Secara singkat, level playing field masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Salah satu karakter industri pertahanan adalah padat modal, sehingga para pemain harus mempunyai atau didukung oleh sumber dana yang cukup besar. Permasalahan modal hingga sekarang masih menghantui industri pertahanan negeri ini, baik BUMN maupun swasta.
Masih terus dikucurkannya PMN kepada BUMN menunjukkan bahwa kapasitas modal internal BUMN belum mampu untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Adapun bagi industri pertahanan swasta, mereka menghadapi pula isu modal di mana dibutuhkan suntikan modal dari pihak ketiga agar dapat bersaing di pasar, termasuk berkompetisi melawan BUMN.
Isu permodalan selama ini menjadi salah satu penghambat industri pertahanan untuk berkembang. Jangankan untuk melakukan perluasan dan modernisasi fasilitas produksi, untuk memenuhi pesanan dari konsumen saja merupakan sebuah tantangan tersendiri.
Permasalahan permodalan nampaknya menjadi isu abadi bagi industri pertahanan Indonesia, baik firma BUMN maupun swasta. Pada sisi lain, mayoritas industri pertahanan masih mengandalkan pada pasar domestik, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan pinjaman komersial dari perbankan.
Ketergantungan industri pertahanan pada pasar domestik ditengarai menjadi salah satu penyebab mengapa firma-firma pertahanan sulit untuk dapat bertahan dengan hanya mengandalkan pendapatan dari sektor pertahanan saja. Hanya beberapa perusahaan saja yang mempunyai lini bisnis komersial, padahal salah satu karakter industri ini adalah dual use technology.
Pertanyaannya adalah apakah perusahaan-perusahaan pertahanan sudah menggarap secara optimal pasar dual use technology agar tidak semata tergantung pada kontrak dari Kementerian Pertahanan? Perlu diingat bahwa pasar dual use technology bukan saja di Indonesia, tetapi pula di luar negeri.
Menggarap pasar dual use technology tidak harus memiliki portofolio produk jadi seperti pesawat terbang dan kapal perang, namun dapat pula lewat skema global supply chain. Secara umum, global supply chain berlaku pada industri dirgantara, elektronika dan propulsi.
Sangat dipahami bahwa tidak mudah untuk masuk ke dalam global supply chain, namun hal demikian bukan kemustahilan selama memiliki kompetensi, keuangan yang sehat dan permodalan yang memadai. Sebagai ilustrasi, terdapat firma non industri pertahanan Indonesia berhasil masuk global supply chain Spirit AeroSystems berkat kegigihan pengelola walaupun perusahaan tersebut bukan bagian dari grup bisnis ternama di negeri ini.
Kemampuan rekayasa industri pertahanan domestik masih pula menjadi tantangan agar dapat bersaing dengan industri serupa dari luar negeri. Meskipun sejumlah firma pertahanan berhasil mengembangkan produk berdasarkan hasil rekayasa sendiri, akan tetapi kapasitas mereka dalam rekayasa perlu ditingkatkan.
Meningkatkan kapasitas rekayasa akan mudah dilaksanakan apabila mereka mendapatkan pesanan yang berkelanjutan dari konsumen. Namun permasalahan klasik adalah nilai anggaran belanja modal pada ABPN untuk Kementerian Pertahanan cukup kecil, sulit untuk mengharapkan adanya pesanan yang berkelanjutan.
Merupakan fakta bahwa Kementerian Pertahanan menggunakan skema Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk pembelian beberapa produk industri pertahanan domestik. Namun hal itu hanya diterapkan pada platform seperti pesawat terbang dan kapal perang di mana semua produk tersebut dibuat oleh BUMN.
Selain itu, beberapa produk perusahaan pertahanan swasta dibeli dengan memanfaatkan skema Pinjaman Dalam Negeri (PDN). Sayangnya, tidak semua produk dapat dibeli dengan skema PLN maupun PDN.
Secara obyektif, revitalisasi industri pertahanan yang dimulai 14 tahun silam sudah memperlihatkan kemajuan dibanding kondisi pada 2010. Namun revitalisasi industri pertahanan belum berhasil menjadikan industri pertahanan domestik mampu mengatasi persoalan klasik seperti permodalan, ekspansi pasar, penggunaan dual use technology dan kemampuan rekayasa.
Begitu pula dengan isu level playing field antara BUMN dan swasta dalam peluang mendapatkan kontrak dari pemerintah. Hal-hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang menanti pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Hal menonjol berikutnya dalam 14 tahun terakhir adalah kebijakan offset dan kandungan lokal untuk pengadaan sistem senjata dari luar negeri. Apakah kebijakan tersebut berkontribusi terhadap peningkatan penguasaan teknologi oleh industri pertahanan domestik?
Belum ada jawaban pasti atas pertanyaan itu kecuali dilakukan audit berdasarkan sektor, seperti sektor dirgantara, elektronika dan perkapalan. Kebijakan offset nampaknya menjadi andalan dalam menguasai teknologi, sebab selama pelaksanaan MEF pemerintah tidak memberikan prioritas pada pembelian lisensi milik industri pertahanan asing.
Saat ini Kementerian Pertahanan sedang melakukan negosiasi akhir akuisisi kapal selam diesel elektrik dengan Naval Group. Hal demikian menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mendapatkan offset sebanyak mungkin, apalagi kapal selam Scorpene akan dibangun di Indonesia.
Pada sisi lain, kemampuan mendapatkan offset harus didukung pula oleh kemampuan menyerap teknologi yang diberikan oleh Naval Group. Begitu pula dengan kemampuan menyerap pengetahuan dan keterampilan terkait dengan rekayasa dan manufaktur kapal selam.