Skenario Dunia Di Tengah Intensifnya Penerapan Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S CNBC Indonesia
Senin, 10/06/2024 18:10 WIB
Firman Kurniawan S
Firman Kurniawan S
Firman Kurniawan S merupakan pendiri literos.org. Beliau juga dikenal sebagai pemerhati budaya dan komunikasi digital.... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi ChatGPT. (AFP via Getty Images/LIONEL BONAVENTURE)

Seluruhnya dimulai sejak artificial intelligence (AI) diperkenalkan. Memuncak saat generative AI makin pesat dikembangkan. Tak relevannya manusia jadi makin menakutkan. Dan di ujung pengembangannya nanti, generative AI mampu meniru seluruh bentuk kecerdasan manusia.


Ketika saat itu tiba, manusia hanya mengais sisa-sisa pekerjaan, yang tak dikerjakan AI. Maka yang ada bukan lagi ketakutan, tapi realitas yang hanya menyisakan sedikit bangku kosong. Bagi manusia yang menonton di pinggir arena.

Generative AI adalah bentuk AI yang dikembangkan agar sepenuhnya memiliki kemampuan, "menghasilkan", segala yang dapat dihasilkan manusia. Ini termasuk menghasilkan dan memahami kata-kata.

Lewat kemampuan ini, interaksi manusia dengan perangkat cerdas terjadi tanpa perlu lagi mempelajari bahasa pemrograman komputer. AI dalam wujud perangkat cerdas, menanggapi permintaan manusia dalam bentuk kata-kata. Interaksinya dilakukan dalam bahasa sehari-hari, bahkan lewat aneka bahasa di dunia. Sedangkan respon yang diberikan, sesuai bahasa penggunanya.

Kemampuan generative AI lainnya, menghasilkan gambar: gambar tak bergerak maupun bergerak, juga dalam bentuk video. Manusia yang menghasilkan gambar lewat lukisan, fotografi maupun videografi hari ini, makin tersaingi AI.

SORA yang dirilis OpenAI beberapa saat lalu, mampu menghasilkan narasi berbentuk video. Penggunanya cukup mengetikkan prompt pada perangkat, meminta disusunnya suatu jalan cerita, perangkat cerdas memproses dan memberikan hasilnya berupa video. Cerita tersusun sesuai dengan permintaan pengguna, namun tampilan videonya mengagumkan. Tentu ini pesaing tangguh bagi profesi sinematografi.

Generative AI juga mampu menghasilkan perilaku serupa manusia. Ini dalam bentuk deepfake. Di tengah hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden Indonesia awal tahun ini, beredar konten Presiden Jokowi yang sedang berpidato di hadapan sebuah forum di luar negeri.

Menariknya, pidato diucapkan dalam bahasa China. Bahasa yang mungkin tak dikuasai Presiden Jokowi. Pengucapannya lantang, lancar dan tegas meyakinkan. Namun setelah ditelusuri, dipastikan konten itu adalah hasil formulasi AI, deepfake.

Deepfake yang merupakan imitasi oleh AI terhadap suara, intonasi, mimik wajah hingga gerak tubuh dari orang tertentu, sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara berguna. Ini memenuhi kebutuhan pendidikan, hiburan, penyiaran, kampanye sosial maupun aktivitas komunikasi pemasaran. Tentu saja deepfake juga dapat dimanfaatkan secara salah, untuk tujuan ilegal: menipu, memanipulasi dukungan politik, hingga memalsukan realitas.

Penerapan deepfake di bidang pendidikan, mampu menghadirkan pengajar-pengajar yang diformulasi dari pengajar manusia nyata. Proses berlangsung setelah seluruh aspek perilaku pengajar manusia, dapat diterjemahkan menjadi data. Hasil formulasinya berupa kehadiran pengajar berbentuk artificial, membawakan tema pembelajaran tertentu.

Sedangkan di dunia pemasaran, dikenal adanya AI influencer, pemengaruh yang dikembangkan berdasar AI. Influencer ini hadir memasarkan produk fesyen, kosmetik, perangkat rumah tangga, otomotif, perangkat telekomunikasi, hingga AI influencer yang dikembangkan untuk tujuan pemasaran sosial.

Sebagaimana pengajar di dunia pendidikan, influencer komunikasi pemasaran dapat dihasilkan sebagai personal tiruan, dengan acuan di dunia nyata. Namun bisa juga dikembangkan berdasarkan rekaan, tanpa ada acuannya.

Proses penggantian manusia oleh generative AI yang makin luas, terutama didorong argumentasi nilai ekonomi yang dapat diraih. Ini menyebabkan makin banyak entitas ekonomi yang mengadaptasi sistem kerja berbasis AI.

Lewat pemanfaatan pengajar deepfake, juga dunia komunikasi pemasaran yang menggunakan AI influencer, dapat diraih penghematan. Artinya produktivitas meningkat. Jumlah kinerja untuk setiap unit biaya yang dikeluarkan, mengalami penggandaan. Keadaan ini pada gilirannya menghasilkan pertumbuhan. Alokasi biaya untuk pekerjaan oleh manusia, dialihkan ke perangkat cerdas yang menghasilkan output lebih tinggi.

Dalam akuntansi pembiayaannya, memang di awal instalasi perangkat cerdas, dibutuhkan investasi yang besar. Hanya entitas-entitas ekonomi kaya saja yang pada kesempatan awal, mampu melakukan penggantian. Namun setelah operasionalisasi berjalan, terjadi pengembalian bagi entitas ekonomi. Tentu dengan pengembalian yang lebih besar.

Selain biaya yang dikeluarkan akhirnya jadi ringan, entitas ekonomi juga terbebas dari masalah pengelolaan SDM. Entitas-entitas ekonomi tak lagi dibebani biaya-biaya bonus, asuransi kesehatan dan kecelakaan, tabungan jaminan hari tua, pengembangan berkala, demoralisasi kerja. Seluruhnya terminimalkan, akibat digantikan oleh perangkat cerdas yang tak punya tuntutan manusiawi. Seluruhnya sesuai dengan prinsip investasi.

Jika ekosistem pemanfaatan perangkat cerdas makin luas, yang artinya makin banyak entitas ekonomi yang menikmati pengembalian investasi, di sanalah terdapat celah pertumbuhan ekonomi makro. Karenanya dapat disaksikan hari ini, makin banyak entitas ekonomi yang tertarik, bahkan menarik bidang perbankan, membiayai dana awal instalasi sistem kerja berbasis AI.

Ini termasuk bagi entitas ekonomi berukuran menengah dan kecil. Namun sayangnya, yang juga jadi pemandangan lazim yang mengiringi: munculnya gelombang PHK oleh entitas-entitas ekonomi. Ini bukan lantaran terjadinya kesulitan ekonomi, tapi PHK yang dilakukan demi penghematan dan pertumbuhan. Manusia mengalami degradasi nilai ekonomi, disisihkan perangkat cerdas.

Fenomena relasi pemanfaatan AI yang mendongkarak pertumbuhan ekonomi makro, relevan dengan analisa Erik Brynjolfsson dan Gabriel Unger, 2023. Seluruh uraiannya termuat dalam artikel berjudul 'The Macroeconomics of Artificial Intelligence'.

Tulisan yang dimuat sebagai publikasi International Monetary Fund ini, di antaranya mengemukakan: hanya entitas ekonomi terbesar, yang secara intensif menggunakan AI dalam proses kerja intinya.

AI memungkinkan entitas-entitas ekonomi ini menjadi lebih produktif, menguntungkan, dan lebih besar dibanding pesaingnya. Namun biaya awal yang sangat besar, yang hanya mampu ditanggung entitas ekonomi terbesar, menyebabkan tak terjangkau oleh entitas ekonomi yang kecil.

Gambarannya saat ChatGPT-4 mulai digunakan secara luas. Ini mengharuskan entitas ekonomi pengadopsinya, membangun sistem kerja berbasis generative AI. Harus disediakan biaya pelatihan lebih dari US $100 juta selama pengembangan awal, dan membutuhkan sekitar US $700.000 per hari, untuk operasional.

Namun dalam penggunaan generative AI jenis lain ~dari penelitian yang dilakukan terhadap 5.000 pekerja di sebuah call center yang diasistensi AI~ pekerja yang paling tidak terampil maupun pekerja terbaru, menunjukkan peningkatan produktivitas yang besar.

Temuan yang dikutip berdasar penelitian Brynjolfsson, Li, dan Raymond pada tahun 2023 itu, jadi petunjuk: keuntungan jangka panjang entitas ekonomi dapat diraih saat menerapkan sistem kerja berbasis AI

Sebut saja tumbuhnya ekonomi makro akibat pemanfaatan sistem kerja berbasis AI, yang ekosistemnya makin luas di seluruh dunia, merupakan skenario pertama. Namun sebagai alternatifnya, skenario kedua juga bisa terjadi.

Ketika ekosistem kerja berbasis AI makin luas. Entitas-entitas ekonomi menikmati penghematan dan pertumbuhan, sesuai perhitungan. Maka dunia mengalami keseimbangan baru. Ini akibat pertumbuhan ekonomi makro yang signifikan.

Seluruhnya terjadi akibat sistematisnya penanganan manusia, yang posisinya digantikan perangkat cerdas. Sebelum pemutusan hubungan kerja, diberikan pelatihan pengembangan kemampuan menjalankan usaha secara mandiri. Juga pesangon dalam hitungan yang layak.

Pelatihan dan pesangon digunakan penyandang PHK, masuk ke bidang-bidang kerja yang tak terlayani AI. Hasilnya dapat menggantikan sumber pendapatan dari pekerjaan sebelumnya. Skenario pertama ini, berhasil menyelenggarakan perpindahan dari manusia ke perangkat cerdas hampir tanpa gejolak.

Namun jika skenario kedua yang terjadi: manusia yang memperoleh pelatihan pengembangan diri maupun pesangon yang layak, namun pekerjaan penggantinya tak bisa membawanya pada kehidupan yang sepadan seperti sebelumnya. Bukankah kerunyaman yang bakal terjadi? Daya beli makin menurun, konsumsi menciut, akibatnya pertumbuhan ekonomi melambat.

Dan dalam realitasnya, bukankah justru skenario kedua ini yang lebih berpeluang terjadi? Pada saat terjadi ledakan produktivitas akibat tergantikannya manusia oleh perangkat cerdas secara luas, manusia yang digantikan tak mampu menemukan jenis pekerjaan yang mampu mengantarnya hidup layak. Lalu, apa yang bakal dialami dunia dalam mode skenario kedua ini?

Sebagian jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat diperoleh berdasar tulisan Philippa Kelly, 2023. Pada tulisan berjudul 'AI is Coming for Our Jobs! Could Universal Basic Income be The Solution?' ini, termuat pikiran Karl Widerquist ~Guru Besar Filsafat di Georgetown University Qatar, yang juga ekonom dan ahli teori politik~. Widerquist menyebut, ketika AI merampas pekerjaan, tak serta merta menjadikan manusia pengangguran seumur hidup.

Namun yang segera terjadi adalah tersisihnya pekerja kerah putih, sehingga memperebutkan pekerjaan bergaji rendah, yang tidak aman. Ini menimbulkan kesenjangan ekonomi yang rawan, antara pemilik entitas ekonomi berpenghasilan tinggi dengan mantan pekerjanya yang penghasilannya jadi rendah. Kerawanan ini dapat memunculkan konflik akibat kesenjangan yang makin lebar.

Karenanya, Widerquist mengusulkan pemberian universal basic income (UBI) kepada para pekerja yang tergantikan AI, sebagai solusi. Pemikir lain bahkan menyebut, UBI diberikan sebagai bonus kepada para pekerja atas perannya sebagai pengembang dan penyebar pengetahuan, yang digunakan merancang model AI seperti ChatGPT-4. Lewat solusi ini, diharapkan kesenjangan menyempit.

Namun pertanyaan berikutnya: apakah tak jadi paradoks bagi para pemilik entitas ekonomi, manakala mengadopsi AI untuk melipatgandakan pertumbuhan yang dapat diraih. Namun setelah seluruhnya terwujud, justru harus mengeluarkan pendapatannya yang tumbuh, bagi orang yang sudah tidak bekerja di entitas ekonominya?


(miq/miq)