Pembiayaan Kreatif Skema Co-Investment dalam Pengembangan Panas Bumi

Sunarsip CNBC Indonesia
Kamis, 18/04/2024 11:15 WIB
Sunarsip
Sunarsip
Sunarsip adalah Chief Economist, The Indonesia Economic Intelligence (IEI). Sebelumnya menjabat sebagai Komisaris di PT Pembangkitan Jawa Ba... Selengkapnya
Foto: Salah satu fasilitas milik PT Pertamina Geothermal Energy (Dokumentasi PGE)

Indonesia telah berkomitmen untuk mengembangkan infrastruktur transisi energi dalam rangka mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060. Panas bumi (geothermal) memiliki peluang besar dikembangkan untuk mendukung percepatan infrastruktur transisi energi, terutama di Jawa sebagai daerah yang memiliki kebutuhan energi bersifat base load (beban dasar) yang besar.


Base load maksudnya adalah pembangkit yang dapat menghasilkan energi (listrik) secara terus menerus, tidak terganggu oleh perubahan cuaca sehingga mampu menghasilkan daya yang konstan, dan pada umumnya berskala besar.

Kapasitas pembangkit fosil (PLTU) yang terpasang, terutama di Jawa, sangat besar. Jawa adalah penyangga utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karenanya, Jawa membutuhkan pembangkit base load dalam kapasitas besar, untuk menjamin kebutuhan energi baik bagi rumah tangga maupun industri.

Berdasarkan data dari BPS, sampai dengan 2022, total kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di Jawa dan Bali mencapai sekitar 49 ribu MW atau sekitar 67% dari total kapasitas pembangkit secara nasional sebesar 73 ribu MW. Sebagian besar, pembangkit yang terpasang di Jawa adalah pembangkit base load yang antara lain berasal dari pembangkit fosil (PLTU batubara).

Dengan demikian, bila pada masanya pembangkit PLTU batubara pensiun (retirement) ataupun dipensiunkan lebih awal (early retirement) maka pembangkit pengganti yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) semestinya merupakan pembangkit base load yang dapat menghasilkan listrik dalam jumlah besar.

Terlalu berisiko, bila pembangkit pengganti adalah berasal dari sumber EBT yang bersifat intermittent. Dari berbagai pilihan EBT, panas bumi menjadi pilihan realistis untuk dikembangkan. Terlebih, sebagian besar potensi panas bumi di Indonesia berada di Jawa yang relevan dengan rencana penguatan ketahanan energi melalui pengembangan infrastruktur transisi energi.

Sebagaimana yang telah penulis sajikan dalam artikel sebelumnya berjudul "Kebijakan De-Risking Kebijakan De-Risking dan Peran Penjaminan dalam Pengembangan Panas Bumi" di CNBC Indonesia (26 Maret 2024), pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, termasuk dukungan fiskal, untuk mendorong kegiatan investasi pengembangan panas bumi khususnya pada kegiatan hulu (eksplorasi dan pengeboran).

Dukungan pemerintah ini sangat diperlukan, mengingat kegiatan hulu panas bumi memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Bila risiko kegagalan tersebut sepenuhnya ditanggung pelaku usaha, akan sulit mengharapkan investasi pengembangan panas bumi dapat berkembang.

Salah satu bentuk dukungan fiskal yang strategis bagi pengembangan kegiatan hulu panas bumi tersebut adalah penjaminan atas kegiatan eksplorasi yang ditugaskan oleh pemerintah (melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)) kepada badan usaha eksplorasi panas bumi oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia atau PT PII (Persero).

Melalui kegiatan eksplorasi penugasan yang dijamin oleh PT PII (Persero) tersebut maka risiko kegiatan eksplorasi menjadi ditanggung pemerintah. Sehingga, dunia usaha tidak terbebani risiko usaha di tingkat hulu, sehingga kepastian usaha dalam pengembangan usaha panas bumi menjadi lebih terukur.

Risiko PLN Sebagai Off-Taker Versus Kontrak Penjualan Listrik Panas Bumi
Namun demikian, tantangan bagi pengembangan panas bumi belum selesai. Potensi panas bumi yang besar membutuhkan modal investasi yang besar pula untuk memaksimalkan pengembangannya.

Di sisi lain, untuk menarik investasi maka badan usaha pemegang izin panas bumi (IPB) membutuhkan jaminan keekonomian harga listrik. Tidak hanya bagi badan usaha pemegang IPB, jaminan harga listrik yang ekonomis juga turut menentukan bankability dari proyek panas bumi.

Bila harga listrik tidak favourable, perbankan pun tidak tertarik membiayai proyek tersebut. Dalam konteks ini, relasi antara badan usaha pemegang IPB dengan PLN sebagai off-taker tenaga listrik akan turut menentukan dalam mendorong kesuksesan pengembangan panas bumi di Indonesia.

Persoalannya, PLN sebagai off-taker (pembeli wajib) setidaknya dihadapkan pada tiga jenis risiko. Pertama, kurang lengkapnya data dan informasi eksplorasi panas bumi akan berpotensi membuat PLN membayar premi risiko berupa harga listrik yang lebih mahal.

Lelang WKP dilaksanakan pemerintah. Sementara itu, PLN diminta menerima hasil lelang termasuk harga lelang. Posisi PLN yang harus menerima hasil lelang berikut harga lelangnya tersebut berpotensi menjadi hambatan bagi penentuan harga listrik yang fair. Di sisi lain, PLN memiliki standar acuan Biaya Pokok Produksi (BPP) pembangkitan yang menjadi rujukan dalam penetapan harga listrik yang akan dibeli PLN.

Kedua, pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mengikuti perjanjian take-or-pay. Artinya, PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan PLTP sejumlah kapasitas faktor (capacity factor) tertentu dengan harga yang telah ditetapkan melalui Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) atau Purchase Power Agreement (PPA).

Sebagaimana pembangkit listrik pada umumnya, harga pembelian listrik oleh PLN berdenominasi dolar AS. Di sisi lain, PLN menjual listrik kepada pelanggan berdasarkan harga dalam rupiah. Kondisi ini berpotensi menimbulkan risiko mismatch bagi PLN.

Ketiga, risiko berupa tingginya biaya transmisi dan jaringan. Regulasi menetapkan bahwa pengadaan transmisi dan jaringan menjadi kewajiban PLN. Di sisi lain, pengusahaan panas bumi pada umumnya berlokasi di daerah pegunungan dan jauh dari jaringan listrik bertegangan tinggi. Kondisi ini pada akhirnya, dapat berpotensi meningkatkan biaya infrastruktur transmisi dan jaringan yang ditanggung oleh PLN.

Saat ini, model kontrak bisnis pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi listrik mengacu pada dua skema. Pertama, sistem kontrak penjualan uap (steam sales contract/SSC). Melalui skema ini, badan usaha pemegang IPB merupakan badan usaha yang terpisah dengan badan usaha yang memiliki izin pengusahaan listrik (PLTP).

Dengan demikian, posisi badan usaha pemegang IPB adalah merupakan kontraktor atau pengembang bisnis hulu panas bumi yang produk akhirnya adalah menghasilkan uap (steam) panas bumi yang kemudian dijual kepada badan usaha PLTP.

Melalui skema ini, PLN berpotensi memperoleh nilai tambah yang lebih besar dibanding badan usaha pemegang IPB. PLN sebagai badan usaha pengelolaan PLTP hanya membeli energi primer berupa uap panas bumi, tidak membeli listrik dari badan usaha pemegang IPB. Risiko usaha hulu ditanggung oleh badan usaha pemegang IPB. Model bisnis seperti ini hampir sama dengan model bisnis pada pengusahaan PLTU.

Kedua, sistem kontrak penjualan listrik (Power Purchase Agreement/PPA). Melalui skema ini, badan usaha pemegang IPB sekaligus juga sebagai badan usaha yang memiliki izin pengusahaan tenaga listrik (PLTP) atau sebagai produsen tenaga listrik independen (Independent Power Producer/IPP).

Dengan demikian, badan usaha pemegang IPB menjalankan usaha panas bumi secara terintegrasi, yaitu mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pemanfaatan panas bumi hingga pengoperasian PLTP. Artinya, badan usaha pemegang IPB selain menyediakan uap dari lapangan panas bumi juga menyediakan tenaga listrik yang dihasilkan dari pengelolaan energi panas bumi dan PLN sebagai pembeli listriknya.

Melalui skema ini, badan usaha pemegang IPB dan sekaligus pemegang izin pengusahaan PLTP berpotensi memperoleh nilai tambah yang lebih besar dibanding PLN. Ini mengingat, seluruh lini bisnis panas bumi dimiliki dan dijalankan oleh badan usaha pemegang IPB/PLTP. PLN membeli membeli listrik dari badan usaha pemegang IPB/PLTP. Risiko terkait pembelian tenaga listrik dan penjualan listrik sepenuhnya ditanggung PLN.

Kedua skema bisnis pengusahaan panas bumi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. PLN sebagai off-taker tentunya lebih memilih skema SSC. Ini mengingat, skema SSC ini relatif sama dengan praktik bisnis ketenagalistrikan PLN, di mana PLN sebagai pemilik pembangkit hanya membeli energi primer. Sedangkan bagi badan usaha pemegang IPB lebih memilih skema PPA atau menjalankan pengusahaan panas bumi secara terintegrasi.

Penerapan Skema Co-Investment Sebagai Alternatif Jalan Tengah
Penulis berpendapat perlu dikembangkan skema model bisnis alternatif yang dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak secara berimbang, yaitu antara badan usaha pemegang IPB dan PLN sebagai off-taker tenaga listrik.

Yaitu, skema model bisnis yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan sejumlah kelemahan yang terdapat pada masing-masing model bisnis yang kini berlaku. Dalam hal ini, penulis mengusulkan model pembiayaan kreatif melalui skema Co-Investment.

Skema Co-Investment ini pada dasarnya adalah melibatkan kedua belah pihak yaitu badan usaha pemegang IPB dan PLN sebagai off-taker tenaga listrik dalam kegiatan investasi pengusahaan panas bumi.

Dengan demikian, baik badan usaha pemegang IPB maupun PLN memiliki investasi dan saham pada kedua aktivitas kegiatan pengusahaan panas bumi. Komposisi kepemilikan saham disesuaikan dengan kompetensi bisnis (core business) utama masing-masing pihak (lihat GAMBAR).

GAMBAR: Ilustrasi Skema Co-Investment Antara Badan Usaha Pemegang IPB dan PLN



Foto: Ilustrasi Skema Co-Investment Antara Badan Usaha Pemegang IPB dan PLL. (Dokumentasi penulis)



Sebagaimana terlihat pada GAMBAR di atas, badan usaha yang bergerak di bidang pengembangan panas bumi akan memiliki saham di kedua project company yang akan dibentuk dengan komposisi yaitu sebagai pemegang saham mayoritas di Project Company Energi Primer (Panas Bumi) dan sebagai pemegang saham minoritas di Project Company IPP (PLTP).

Begitu juga dengan PLN yang biasanya akan diwakili oleh anak perusahaannya yang bergerak di bisnis pembangkitan akan memiliki saham di kedua project company dengan komposisi yaitu sebagai pemegang saham mayoritas di Project Company IPP (PLTP) dan sebagai pemegang saham minoritas di Project Company Energi Primer (Panas Bumi).

Pertimbangan pertama dalam menentukan mayoritas dan minoritas adalah core business masing-masing. Tentunya, besar kecilnya porsi saham yang dimiliki masing-masing pihak diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama.

Penerapan skema Co-Investment dalam pengusahaan panas bumi ini memiliki beberapa manfaat positif bagi kedua belah pihak. Pertama, keterlibatan PLN di tahapan bisnis hulu (eksplorasi dan eksploitasi) panas bumi bersama dengan badan usaha pengembangan panas bumi akan meningkatkan bankability proyek tersebut.

Kekuatan modal bersama antara badan usaha pengembangan panas bumi dengan PLN akan menjadi lebih besar, sehingga kepercayaan perbankan menjadi lebih tinggi terhadap sustainaibility proyek pengembangan hulu panas bumi.

Begitu juga keterlibatan badan usaha pemegang IPB (Pertamina, Geodipa atau badan usaha swasta lainnya, misalnya) dalam kepemilikan saham di PLTP akan meningkatkan keyakinan kreditur untuk memberikan pendanaan eksternal bagi kegiatan konstruksi PLTP.

Kehadiran Pertamina, Geodipa atau badan usaha swasta lainnya tersebut akan meningkatkan keamanan pasokan energi primer (security of supply) bagi PLTP tersebut, sehingga sustainability PLTP menjadi lebih terjamin.

Kedua, keterlibatan PLN di bisnis hulu panas bumi tersebut juga akan meningkatkan kepercayaan dari perusahaan penjaminan kredit (yaitu dari PT PII Persero) terhadap proyek pengembangan panas bumi.

Kelayakan kredit menjadi lebih kuat sehingga akan lebih memudahkan dalam memperoleh pendanaan eksternal bagi kegiatan pengembangan bisnis di hulu panas bumi. Di samping itu, keterlibatan PLN di tahapan pengembangan hulu panas bumi juga akan meningkatkan menambah sumber pendanaan internal melalui ekuitas.

Ketiga, akan terjadi risk sharing dan revenue sharing antara badan usaha pengembangan panas bumi dengan PLN baik di bisnis hulu panas bumi maupun bisnis PLTP.

Keempat, penentuan harga listrik akan menjadi lebih mudah karena kedua belah pihak terlibat dalam setiap tahapan bisnis. Sehingga, isu keterbatasan informasi bagi PLN semakin berkurang.

Penentuan harga listrik nantinya akan lebih menjamin kepentingan kedua belah pihak, sehingga perbedaan sudut pandang terkait penetapan harga listrik yang selama ini sering terjadi dapat dihindari.

Keekonomian harga listrik yang terbentuk menjadi lebih pasti dengan kehadiran PLN di bisnis pembangkitan. Kondisi ini tentunya memberikan jaminan pendapatan dan keuntungan bagi badan usaha pemegang IPB.


(miq/miq)