Hari Pahlawan, KH Abdul Chalim, dan Pentingnya Dokumentasi

Fathi Royyani, CNBC Indonesia
09 November 2023 15:45
Fathi Royyani
Fathi Royyani
Mohammad Fathi Royyani merupakan lulusan dari Fakultas Adab jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000. Tahun 2002-2004, Fathi menempuh kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indone.. Selengkapnya
Kiai Abdul Chalim. Istimewa
Foto: Kiai Abdul Chalim (Dokumentasi Istimewa)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sejarah, tentu saja berkisah mengenai kehidupan manusia dengan dinamikanya. Kadangkala kita mengetahui suatu peristiwa sejarah dari tutur yang diwariskan bergenerasi.

Namun, sejarah yang demikian, walaupun diyakini kebenarannya tetap memiliki kelemahan, yakni kurangnya data otentik yang tertulis dan sejaman dengan peristiwa.

Kisah sejarah makin kuat, jika penulisnya tidak saja sejaman melainkan terlibat aktif dalam peristiwa tersebut. Aktif di sini dalam pengertian, sang pencatat peristiwa tidak hanya mendokumentasikan melalui catatan melainkan juga turut memberikan ide, sehingga peristiwa besar dapat terjadi.

Seperti dalam peristiwa heroik, 10 November 1945. Satu peristiwa yang melibatkan ratusan ribu arek-arek Suroboyo dalam menentang penindasan. Pada peristiwa tersebut, seluruh elemen masyarakat, tidak peduli etnis, golongan, dan agama, tumpah ruah menyerbu Kota Surabaya. Sekarang, peristiwa tersebut diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Tentu saja, NU sebagai ormas terbesar turut kontribusi dalam peristiwa penting tersebut, bahkan kiai-kiai NU menjadi "penentu" dalam memulai pertempuran. Komando lapangan bisa berasal dari unsur manapun, tetapi saat memulai peperangan atas saran kiai-kiai NU.

Kita tidak bisa mengetahui kontribusi para kiai, kalau tidak terdokumentasikan. Walaupun ada cerita lisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetap dianggap kurang kuat sebagai dokumen sejarah.

Selain kiai-kiai yang terkenal pada masanya, juga terdapat beberapa sosok kiai yang rela menjadikan dirinya tidak dikenal. Mereka bertugas mencatat dan menemani kiai-kiai besar.

Orang-orang yang berada di belakang, sebagai pendokumentasi seringkali dilupakan, apalagi menyangkut peristiwa besar dan orang-orang besar.

Seperti yang ada di organisasi agama terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU). Siapa yang tidak mengenal Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Abbas dan kiai-kiai bear lainnya? Hampir dipastikan semua warga NU mengetahuinya

Ada banyak ragam kisah mengenai tokoh-tokoh besar NU, dengan dinamika dan sudut pandangnya. Ada kisah mengenai wawasan keagamaan yang luas, sikap heroik, teguh pada perjuangan, kesaktian, dan lain sebagainya.

Namun, pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang mendokumentasikan melalui catatan tentang gagasan besar dari kiai-kiai besar tersebut?

Adalah Kiai Abdul Chalim dari Leuwimunding, Majalengka. Nama ini mungkin asing bagi sebagian besar warga NU. Hal tersebut wajar, karena namanya jarang dibicarakan, gagasannya jarang didiskusikan, dan perannya jarang diekspos.

Selain itu, Kiai Abdul Chalim hidup saat kiai-kiai besar muassis (pendiri) NU hidup. Orang tentu lebih tertarik mengenai cerita Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, dan Kiai Abbas.

Walaupun demikian, jasa Kiai Abdul Chalim sangat besar, tidak saja bagi perkembangan NU melainkan juga pada perjuangan kemerdekaan.

Kiai Abdul Chalim lahir pada tanggal 2 Juni 1898 di Majalengka. Ketika belajar di Mekkah, bertemu dengan kiai-kiai yang saat itu sedang belajar di sana, seperti Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Raden Asnawi dan lain sebagainya. Ketika di Mekkah sudah aktif dalam organisasi Sarekat Islam (SI) satu organisasi politik saat itu.

Setelah kembali ke tanah air, persahabatan dengan Kiai Wahab Chasbullah terus berlanjut. Mereka berdua adalah "pelaksana" dari dhawuh atau kebijakan-kebijakan Kiai Hasyim.

Saat Kiai Hasyim meminta kiai Wahab untuk menghubungi para kiai di Nusantara, maka Kiai Abdul Chalim menyusun konsep pertemuan. Diantara yang fenomenal adalah Komite Hijaz, satu utusan dari ulama-ulama Indonesia yang memprotes kebijakan Kerajaan Saudi saat itu yang hendak membongkar makam Nabi, "pemurnian" agama dan lain sebagainya.

Atas usul dan kontribusi Kiai Abdul Chalim dalam mengkontekskan antara isu kontemporer saat itu dan pemenuhan kelengkapan administrasi, maka komite Hijaz dapat terbentuk dan diterima oleh Kerajaan Saudi.

Demikian juga kata "kemerdekaan" yang ada di lingkungan NU. Saat Kiai Wahab Chasbullah menjalankan perintah Kiai Hasyim, Kiai Abdul Chalim saat itu mengusulkan kata "kemerdekaan" dalam surat, diskusi, maupun gerakan para ulama.

Usul Kiai Abdul Chalim diterima oleh Kiai Wahab Chasbullah, maka berlahan namun pasti kata "kemerdekaan" pun viral di kalangan ulama saat itu. Kiai Abdul Chalim juga berperan besar dalam pendirian dan perkembangan NU di Cirebon.

Sebagai gambaran kedekatan hubungan antara Kiai Abdul Chalim dan Kiai Wahab Chasbullah adalah catatan memoar mengenai perjalanan NU yang dituturkan oleh Kiai Wahab Chasbullah, dan yang mencatatnya adalah Kiai Abdul Chalim.

Kiai Wahab tertutur, Kiai Abdul Chalim mencatat dengan huruf arab pegon dan berbentuk nadhom atau syair. Dari mana kita mengetahui kiprah Kiai Abdul Chalim? Dari arsip-arsip pemberitaan NU di Swara Nahdlatul Oelama, yakni pers di NU yang dibentuk pada awal-awal NU berdiri.

Selain itu, laporan dan catatan mengenai kongres-kongres yang dilakukan oleh NU juga banyak menyebut nama Kiai Abdul Chalim yang turut hadir dan berkontribusi dalam kongres.

Kiai Abdul Chalim mengajarkan pada kita mengenai pentingnya ide-ide besar didokumentasikan, dicatat, dikontekstualkan, dan tertib atau menyesuaikan secara administrasi. Melalui catatan, maka suatu peristiwa bisa kembali "ada", tidak hanya kisah-kisah yang dituturkan.

Termasuk, kontribusi para Kiai dan santri dalam peristiwa 10 November 1945, yakni suatu sejarah heroik masyarakat Surabaya, yang tentu saja banyak kontribusi penting para ulama dan santri dalam peristiwa tersebut.

Peristiwa tersebut diabadikan oleh Negara dan bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Kontribusinya yang besar dengan fakta-fakta dokumentasi yang nyata dan kuat, maka wajar jika masyarakat mengusulkan Kiai Abdul Chalim dan negara menganugerahi sebagai Pahlawan Nasional.


(miq/miq)

Tags
Recommendation