Peluang Non-Edible Oil Hutan RI untuk Pasar Global Biofuel

Krisis energi dunia pada awal tahun 2000, yang ditandai dengan melonjaknya harga minyak bumi/BBM, mendorong penduduk dunia mengalihkan sumber energinya ke energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan dan dapat diperbarui. EBT juga menjadi salah satu agenda penting dalam acara Conference of the Parties-28 United Nations Framework Convention on Climate Change (COP-28 UNFCCC) pada 30 November-12 Desember 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab, untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim.
Salah satu bentuk energi alternatif yang banyak dikaji dan dikembangkan adalah biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel merupakan salah satu produk biofuel yang mampu mengurangi emisi hidrokarbon tak terbakar, karbon monoksida, sulfat, nitrat dan hidrokarbon polisiklik aromatik, serta partikel padatan, sehingga merupakan bahan bakar yang disukai karena ramah lingkungan.
Selain itu, produk lain dari biofuel adalah bioavtur (Sustainable Aviaton Fuel/ SAF) yang mulai menarik pasar global untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pesawat terbang di masa datang dan dalam pencapaian target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050.
Sepanjang 2020, konsumsi biofuel global mencapai 1,68 juta barel per hari (bph). Amerika Serikat menjadi negara yang mengonsumsi biofuel paling tinggi di dunia sebesar 558 ribu bph atau 33,2% dari total konsumsi biofuel dunia.
Brasil pada posisi kedua sebanyak 418 ribu bph dan Indonesia di posisi ketiga dengan konsumsi sebesar 98 ribu bph, berturut-turut sebesar 24,9% dan 5,8% dari total konsumsi biofuel dunia. Diikuti negara lain yang termasuk mengkonsumsi biofuel di bawah 5% dari total konsumsi biofuel dunia (Eropa, Asia, Kanada).
Dalam Skenario NZE, konsumsi biofuel tahun 2030 meningkat menjadi 6 juta bph dan tahun 2050 menjadi 7 juta bph. Sementara, permintaan bioavtur diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan dengan tingkat pra-Covid, yang selama ini mengandalkan bahan baku dari jelantah (Used cooking oil/ UCO).
Permintaan bioavtur global, berkembang pesat dan mulai menonjol setelah tahun 2030 hingga tahun 2050, mencapai 450M liter untuk produksi tahunannya. Permintaan tersebut melampaui pasokan 25% atau lebih hingga tahun 2040, terutama di dua pasar penerbangan terbesar di dunia, yaitu Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS).
Isu pengembangan biofuel yang tidak bertarik kepentingan dengan pangan dan ramah lingkungan menjadi tantangan untuk permintaan biofuel yang sangat tinggi di masa datang. Isu tersebut dinilai dapat menimbulkan masalah lingkungan dan mengancam ketahanan pangan sehingga membuka pasar global biofuel menggunakan bahan baku non-pangan atau non-edible oil untuk memenuhi permintaan global biofuel.
Peluang besar tersebut sangat terbuka bagi Indonesia sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan potensial menghasikan biofuel, disamping ketersediaan lahan yang luas untuk pengembangan bioenergi. Hal ini juga sebagai peluang bagi Indonesia yang pernah menjadi eksportir minyak (BBM) hingga sebelum tahun 2004.
Karena pada triwulan pertama tahun tersebut, harian The Asian Wall Street Journal (18/5/2004) memaparkan fakta status Indonesia sebagai negara "net oil importer" manakala jumlah minyak yang diimpor untuk keperluan BBM dalam negeri (sekitar 484.000 bph) sudah melampaui jumlah minyak yang bisa diekspor (sekitar 448.000 bph). Kondisi impor BBM tersebut terus meningkat, sementara jumlah yang diekspor terus menurun.
Dukungan pemerintah Indonesia dalam pengembangan EBT dari tanaman hutan terus meningkat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk energi atau HTE, salah satunya dengan pelepasan kawasan hutan 6,91 juta ha yang juga berpotensi untuk menjadi sumber bioenergi, di samping lahan kritis seluas 12,7 juta hektare yang harus segera direhabilitasi.
Pemerintah juga mulai menerapkan paradigma baru pengelolaan kawasan hutan produksi, melalui pendekatan multi usaha kehutanan (MUK) sejak tahun 2021. Paradigma baru itu ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Indonesia mempunyai harapan yang besar dalam pengembangan biofuel untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia tersebut, karena usaha dalam bidang bioenergi memerlukan spesies yang cepat berbuah dengan produktivitas tinggi dan masa berbuah panjang, mempunyai rendemen minyak yang tinggi dan terjamin kelestarian produksinya.
Beberapa spesies dari hutan tropis di Indonesia, berpotensi sebagai bahan baku biofuel seperti: nyamplung, malapari, saga hutan, bintaro, kepuh, kesambi, kelor, dll. Species yang telah dikaji berbuah cepat, mempunyai produktivitas biji dan rendemen minyak tinggi, mudah teknik budidayanya, teknologi pengolahan menjadi biodiesel dan pemanfaatan limbah industrinya telah dikuasai adalah Nyamplung (Calophyllum inophyllum) dan Malapari (Pongamia pinnata).
Produktivitas buah dan rendemen minyak (crude oil) berturut-turut sebesar 15-20 ton/ha/tahun dan 50-69% untuk Nyamplung dan 9-12 ton/ha/tahun dan 25-28% untuk Malapari. Rendemen minyak tersebut masih dapat ditingkatkan dengan metode solven (n-hexane).
Kedua spesies tersebut telah terbukti dapat menghasilkan biodiesel dan telah memenuhi persyaratan SNI Biodiesel. Dalam skala laboratorium, kedua spesies tersebut juga telah berhasil diolah menjadi bioavtur (SAF) dan saat ini sedang dikembangkan untuk skala yang lebih besar.
Selain non-edible oil, spesies tersebut merupakan tanaman asli (native) dan tersebar luas di Indonesia serta mempunyai adaptabilitas tinggi/ toleran pada lahan-lahan kritis (lahan terdegradasi). Spesies tersebut juga telah lama dikembangkan sebagai tanaman konservasi di Indonesia (pemecah angin, konservasi air, sempadan sungai, rehabilitasi lahan) karena ever green dan mempunyai kemampuan penyerapan karbon yang tinggi.
Permintaan pengembangan biofuel non-edible oil dari luar negeri ke Indonesia saat ini mulai berdatangan untuk memenuhi kebutuhan biofuel global ke depan, sehingga pengembangan biofuel dalam skala industri merupakan suatu keniscayaan. Hal ini juga membuka peluang Indonesia untuk kembali menjadi negara produsen atau pengekspor minyak dalam bentuk Bahan Bakar Nabati (BBN).
(miq/miq)