Mencermati Rencana Pengadaan Jet Tempur Indonesia Periode 2025-2029

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk belanja pertahanan Indonesia pada periode 2020-2024 tercatat sebagai yang terbesar sejak era Reformasi, di mana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah mengalokasikan US$ 34,4 miliar.
Dari nilai tersebut, hingga semester pertama 2023, Menteri Keuangan secara total telah menyetujui penerbitan Penetapan Sumber Pembiayaan sekitar US$ 25 miliar. Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 sudah direvisi empat kali oleh 'Taman Suropati' guna mengakomodasi kepentingan belanja pertahanan.
Mencermati Blue Book perubahan keempat, peruntukan alokasi belanja pertahanan terbagi atas unit organisasi Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara. Dari sisi alokasi PLN, TNI Angkatan Udara mendapatkan tidak sampai US$ 19 miliar untuk akuisisi pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, radar pertahanan udara, rudal, pesawat tanpa awak dan lainnya.
TNI Angkatan Laut menerima alokasi PLN kurang dari US$ 9 miliar, di antaranya untuk pengadaan kapal selam, kapal kombatan, rudal, pesawat tanpa awak dan lain sebagainya. Alokasi PLN bagi TNI Angkatan Darat besarannya di bawah US$ 7 miliar, baik untuk membeli sistem senjata baru maupun pemeliharaan dan perawatan peralatan yang saat ini dioperasikan.
Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI mendapatkan alokasi PLN dengan nilai yang jauh di bawah alokasi bagi ketiga matra TNI. Terdapat sejumlah kegiatan di lingkup Kementerian Pertahanan yang dibiayai oleh PLN seperti pengadaan satelit dan pesawat tanpa awak.
Sedangkan Mabes TNI mempunyai peruntukan PLN yang sangat kecil bahkan dibandingkan dengan Kementerian Pertahanan. Alokasi PLN yang kecil bagi Mabes TNI dapat dipahami sebab sebagai pengguna kekuatan TNI, Mabes TNI mengandalkan sistem senjata yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara.
Dengan alokasi yang sedemikian besar, apakah belanja pertahanan akan dilaksanakan secara efektif sehingga kekuatan pertahanan Indonesia pada tahun 2028-2030 akan lebih mampu (capable) dibandingkan saat ini?
Penting untuk dipahami bahwa produksi mesin perang yang dipesan oleh suatu negara memerlukan waktu antara dua tahun hingga enam tahun, tergantung dari kondisi backlog order pihak produsen senjata.
Pertanyaan tentang efektivitas belanja pertahanan patut diajukan karena bagaimanapun Indonesia harus membayar kembali utang yang dikucurkan oleh kreditor asing sampai 20 tahun atau 30 tahun ke depan terhitung sejak loan agreement ditandatangani.
Terkait dengan pertanyaan tersebut, hal demikian dapat dijawab antara lain dengan memperhatikan daftar kegiatan belanja mesin perang yang dibiayai oleh PLN.
Terdapat kegiatan belanja pertahanan yang dikategorikan sebagai efektif, namun ada pula kegiatan belanja pertahanan yang diklasifikasikan sebagai tidak efektif.
Setidaknya tiga parameter dapat digunakan untuk menggolongkan apakah kegiatan belanja efektif atau tidak efektif. Yakni pertama apakah sistem senjata yang dibeli memang dibutuhkan oleh TNI, kedua apakah mesin perang yang diakuisisi merupakan produk baru ataukah bekas pakai dan ketiga, apakah nilai alokasi pembiayaan setara dengan kuantitas dan atau kualitas peralatan perang yang didapatkan.
Tentang paramater pertama yaitu apakah sistem senjata yang dibeli memang dibutuhkan oleh TNI, terdapat banyak kegiatan dalam Blue Book yang memenuhi parameter ini. Semisal program pengadaan pesawat tempur Rafale buatan Dassault Aviation, rencana pembelian jet tempur F-15EX karya Boeing dan rencana akuisisi kapal selam.
Kegiatan-kegiatan tersebut memang sesuai dengan kebutuhan TNI, sehingga tidak ada hal yang perlu diperdebatkan. Apalagi sistem senjata yang dibeli merupakan produk tier pertama dan telah banyak dipakai oleh negara-negara lain.
Namun DRPLN-JM 2020-2024 mengakomodasi pula program pengadaan sistem senjata yang nampaknya tidak dibutuhkan oleh TNI, seperti program Kapal Serang Ringan (KSR) yang dengan alokasi PLN telah menggelembung dari US$ 180 juta menjadi US$ 900 juta.
Terdapat sejumlah pertanyaan tentang kegunaan KSR, seperti apakah ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan berasal dari wilayah pesisir? Apakah KSR dapat digunakan di Laut China Selatan untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia? Apakah KSR sudah sesuai dengan konsep operasi Angkatan Laut yang saat ini dianut atau tidak?
Menyangkut parameter kedua yaitu apakah mesin perang yang diakuisisi merupakan produk baru ataukah bekas pakai, tidak dapat dipungkiri bahwa DPRLN-JM 2020-2024 mengakomodasi akuisisi sistem senjata bekas. Rencana akuisisi Mirage 2000-5 senilai US$ 734,5 juta, Mirage 2000-9 yang dialokasikan US$ 480 juta dan kapal korvet bekas sebesar US$ 105 juta adalah contoh pengadaan sistem senjata bekas yang patut dipertanyakan.
Apakah pagu PLN untuk 12 Mirage 2000-5 eks Qatar tidak overprice mengingat harga per unit Mirage 2000 bekas di pasar internasional berkisar antara €20 juta hingga €$25 juta? Mengapa alokasi PLN untuk Mirage 2000-9 bekas Uni Emirat Arab lebih sedikit daripada eks Qatar? Apakah karena akan dibeli dalam jumlah yang lebih sedikit juga?
Alasan rencana membeli Mirage 2000-5 sebagai transisi menuju Rafale juga tidak dapat diterima oleh akal sehat. Sebab meskipun desain sayap pesawat tempur TNI Angkatan Udara saat ini seperti F-16 dan Su-27/30 berbeda dengan Mirage 2000, tidak butuh waktu lama bagi para penerbang tempur untuk beradaptasi dengan pesawat sayap delta.
Menurut ilmu aeronautika, perbedaan desain sayap memang menghasilkan airflow yang berbeda sehingga akan mempengaruhi karakteristik pesawat, namun para penerbang tidak akan memerlukan waktu lama untuk beradaptasi terhadap hal tersebut.
Selain itu, fakta menunjukkan bahwa para penerbang Rafale Angkatan Laut Prancis hanya pernah menerbangkan Super Etendard yang tidak mengadopsi sayap delta dan tidak pernah mengoperasikan Mirage 2000 sebelum Super Etendard digantikan oleh Rafale.
Adapun parameter ketiga yakni apakah nilai alokasi pembiayaan setara dengan kuantitas dan atau kualitas peralatan perang yang didapatkan. Rencana pengadaan Mirage 2000-5 bekas Qatar diragukan memenuhi parameter ini.
Sekali lagi pertanyaannya yaitu apakah pagu PLN untuk 12 Mirage 2000-5 eks Qatar tidak overprice mengingat harga per unit Mirage 2000 bekas di pasar internasional berkisar antara €20 juta hingga €$25 juta? Begitu pula dengan rencana pengadaan tambahan pesawat tanpa awak CH-4B dari Cina di tengah pertanyaan tentang kinerja peralatan tersebut.