Awan Gelap Tata Kelola Zakat Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada hari Rabu, 29 Maret 2023, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi yang meminta Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) untuk memberikan opini hukum terkait kewajiban suatu negara di bawah hukum internasional dalam melindungi hak generasi saat ini dan generasi masa depan terkait dampak perubahan iklim.
Resolusi tersebut diadopsi setelah mendapatkan lebih dari 120 dukungan negara-negara anggota PBB. Secara sederhana, resolusi ini menjadi basis bagi Mahkamah Internasional untuk memulai persidangan penyusunan opini penasihatan (advisory opinion) yang menjelaskan apa saja konsekuensi hukum dari kewajiban negara yang demikian, termasuk dalam konteks negara pesisir dan kepulauan.
Resolusi tersebut tergolong revolusioner mengingat ia menitikberatkan pada kewajiban negara dalam melindungi generasi masa depan, khususnya yang berada di area rentan terdampak perubahan iklim, seperti yang terdampak kenaikan air laut.
Di tingkat internasional, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 28 Februari 2022 lalu, melalui Kelompok Kerja II (Working Group II) yang bertugas menyusun Laporan Asesmen Keenam (Sixth Assessment Report/AR6) bertajuk subbab "Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability" menegaskan bahwa kenaikan air laut telah menuai konsekuensi konkret yang menyerang ekosistem, infrastruktur, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa risiko terhadap kota-kota pesisir dan pemukiman diproyeksikan meningkat. Peningkatan itu setidaknya ialah satu kali lipat pada tahun 2100 tanpa tindakan adaptasi dan mitigasi yang signifikan.
Berkaca dari perspektif internasional dan ulasan upaya diplomasi Indonesia di atas, apakah pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi hak-hak lingkungan generasi mendatang yang belum lahir, khususnya yang tinggal di daerah yang terkena dampak kenaikan permukaan air laut?
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luasnya tak terbayangkan, memiliki perairan kepulauan yang lebih besar daripada gabungan negara kepulauan lainnya.
Laporan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mengenai Sustainable Ocean Economy Country Diagnostics of Indonesia (April 2021) menyebutkan bahwa Indonesia memegang status sebagai ekonomi kelautan terbesar di ASEAN dengan kontribusi sebesar US$ 256 miliar berdasarkan nilai tambah bruto tahunan di tahun 2013 yang melonjak tinggi dari angka US$ 73 miliar di tahun 2008.
Dengan predikat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi dampak langsung akibat kenaikan permukaan laut. Sebagai negara Asia Tenggara dengan banyak populasi besar yang terletak di daerah pesisir dataran rendah yang rentan, Indonesia juga dianggap berisiko lebih besar terkena dampak perubahan iklim melalui kenaikan permukaan laut.
Jika populasi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang lebih besar, bagaimana situasinya bagi generasi mendatang yang tinggal di daerah yang terkena dampak kenaikan permukaan laut?
Dampak Kenaikan Air Laut bagi Generasi Masa Depan Indonesia
Timbul pertanyaan bagi Indonesia: apakah kebijakan nasional Indonesia telah sejalan dengan prinsip tata kelola hukum lingkungan yang mengedepankan keadilan antargenerasi? Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2099).
Dalam Pasal 3 huruf f UU No. 32/2009 tersebut, terdapat ketentuan yang cukup progresif di mana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dilakukan dengan bertujuan untuk menjamin terpenuhinya keadilan bagi generasi sekarang dan generasi masa depan.
Pasal tersebut secara tegas memberikan kewajiban di level operasional bagi Indonesia sebagai negara untuk menjamin terpenuhinya keadilan bagi generasi masa depan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Meskipun hukum nasional Indonesia telah mengakui dan mengadopsi prinsip keadilan antargenerasi dalam kerangka tataran operasionalnya, tetapi landasan hukum bagi kerangka tersebut tidak boleh hanya terletak pada apa yang tercantum dalam undang-undang tingkat nasional.
Artikel opini ini berpendapat bahwa prinsip keadilan antargenerasi yang sudah dianut dalam UU No. 32/2009 dapat dengan mudah diubah, jika bukan dihapuskan, sesuai dengan kehendak politik rezim yang berkuasa. Pergantian rezim akan dengan mudah menyebabkan prinsip itu dicabut atau ditarik kembali.
Padahal, perlindungan hak lingkungan tidak boleh diperlakukan sama dengan kebijakan perlindungan sektor lainnya karena hak atas lingkungan yang bersih dan sehat melibatkan kelangsungan hidup generasi berikutnya. Tepatnya, tindakan hari ini akan memiliki konsekuensi langsung yang mengerikan bagi generasi mendatang.
Perlu ada prinsip kewajiban negara yang bersifat mutlak yang memaksa pemerintah suatu negara untuk selalu memperhatikan hak-hak mereka yang belum lahir di dunia, termasuk bagi Indonesia.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pun memegang peranan sentral dalam agenda diplomasi lingkungan yang menekankan pelindungan hak generasi masa depan terdampak kenaikan air laut, yang dapat mengacu pada dua mekanisme: (1) pengarusutamaan prinsip dan komitmen Indonesia dalam melindungi hak generasi masa depan melalui prioritas politik luar negeri dalam rencana strategis empat tahunannya; dan (2) pengejawantahan hal serupa pada level teknis melalui pedoman delegasi Republik Indonesia yang berpartisipasi dalam forum internasional terkait perubahan iklim.
Dengan demikian, Indonesia perlu melihat nilai ekonomi dari pelindungan hak generasi masa depan di wilayah terdampak kenaikan air laut tidak hanya sebagai upaya kapitalisasi nilai ekonomi, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral.