Menakar Urgensi Strategic Petroleum Reserve

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Keanekaragaman hayati bisa menjadi sumber devisa negara dan kesejahteraan masyarakat bukanlah mimpi dan utopia yang tidak bisa diraih. Asal kita tekun dalam menggali dan mengembangkan keanekaragaman hayati yang ada di sekitar, maka pundi-pundi uang akan datang dengan sendirinya.
Bukankah sejarah kita juga dipenuhi dengan perebutan sumber daya alam yang di antaranya keanekaragaman hayati dalam wujud rempah-rempah?
Tentu zaman telah berubah, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan rempah-rempah. Namun dengan limpahan keanekaragaman hayati yang banyak, maka kita bisa mengembangkan jenis-jenis lainnya yang secara kultural dimanfaatkan dan sudah dipasarkan di pasar global.
Menemukan jenis potensial dan mengembangkannya menjadi produk komersil memang butuh usaha keras dari semua kalangan. Tetapi langkah menjadi lebih mudah dengan kolaborasi antara lembaga riset, pemerintah daerah, dan perusahaan yang mengkomersilkannya.
Lembaga riset memiliki data mengenai jenis-jenis yang tidak saja potensial tetapi juga sudah terbukti laku di pasar global. Pemerintah daerah menyiapkan infrastruktur seperti lahan dan masyarakatnya, sedangkan swasta menyiapkan modal untuk pengembangan lebih lanjut.
Pemanfaatan Minyak Masoi dan Peluang
Masyarakat sudah lama memanfaatkan minyak masoi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Batang pohon dan kulit batang adalah bagian yang paling umum dimanfaatkan. Kulit batang, bagian yang menghasilkan minyak atsiri dimanfaatkan sebagai bumbu untuk penyedap makanan.
Orang-orang Jawa sudah lama mengenal dan memanfaatkan masoi untuk penyedap makanan, kemenyan atau pengharum ruangan (aromaterapi), dan untuk obat-obatan. Biasanya orang Jawa memanfaatkan minyak masoi sebagai obat murus, kejang perut pada wanita hamil, dan minyak oles yang dapat menghangatkan badan.
Lain ladang lain juga belalang, demikian peribahasa yang menggambarkan perbedaan karakter masyarakat. Masyarakat Jerman memanfaatkan minyak masoi sebagai campuran minuman keras dan juga pewangi pada sabun.
Sedangkan masyarakat Eropa lainnya memanfaatkan minyak masoi untuk campuran pada makanan dalam rangka mendapatkan aroma makanan supaya menyerupai kelapa. Masyarakat Amerika memanfaatkan masoi sebagai perasa pada es krim.
Karakter batang yang lunak dan memiliki ulir yang bagus adalah sisi lain dari potensi pohon tersebut. Berbagai masyarakat memanfaatkan batang yang sudah dikupas kulitnya sebagai bahan membuat kerajinan salah satunya sebagai patung.
Dengan umumnya masyarakat Indonesia dan dunia memanfaatkan masoi, maka tentu menunjukkan bahwa pohon ini potensial untuk dikembangkan secara lebih serius. Jenis yang secara ilmiah dikenal dengan sebutan Cryptocarya massoy adalah salah satu tanaman yang menghasilkan minyak atsiri. Tumbuhan yang masuk dalam keluarga Lauraceae ini adalah jenis pohon yang memiliki tegakan tinggi, bisa sampai 30 meter.
Tumbuhan ini mengeluarkan aroma yang khas pada pada daun muda dan kulit batang sebagai isyarat adanya minyak atsiri pada bagian tersebut. Kandungan minyak atsiri dikenal juga dengan massoia lakton. Aroma dari minyak ini seperti minyak kelapa dan terasa hangat bila terkena kulit.
Dengan kandungan yang terdapat pada minyak masoi, maka tak heran minyak ini digunakan sebagai bagian dari penghasil cita rasa pada es krim, berbagai obat-obatan, dan kosmetik. Bahkan, minyak masoi telah dikembangkan menjadi produk perisa makanan.
Walaupun secara nasional belum dikenal luas, tetapi di beberapa tempat minyak atsiri tersebut mulai dikembangkan. Bahkan, produk masoi ini telah menembus pasar internasional untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari tahun 2014-2017, produksi masoi Indonesia yang berasal dari Papua adalah 15-20 ton per tahun.
Untuk pasar internasional, harga minyak masoi berkisar antara Rp 2 hingga Rp 5 juta per kilogram. Variasi harga ditentukan oleh kadar lakton, terutama masoilakton yang terdapat pada produk.
Kandungan kadar masoilakton semakin tinggi maka harga semakin mahal. Pasar mengklasifikasikan kadar masoilakton dalam tiga tingkatan. Pertama yang memiliki kandungan masoilakton C10 sebanyak 45%-52%, kedua 60%-65%, dan ketiga 70%-75%. kadar kandungan masoilakton juga dijadikan indikasi mutu minyak atsiri masoi.
Pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Untuk mengatur dan menghindari penipuan dari penjual, pemerintah melalui Badan Standar Nasional (BSN) mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomer 7941:2013 sebagai pedoman mutu kulit masoi dan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomer 8285:2016 sebagai pedoman mutu minyak masoi. Dengan adanya standar tersebut, dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan mutu dan kualitas produk, menyamakan persepsi terhadap mutu dan menghindari penipuan dari penjual.
Dengan telah diketahuinya kandungan yang terdapat pada minyak masoi, persebaran tumbuhan yang didominasi di wilayah Papua, serta adanya permintaan pasar internasional terhadap minyak masoi, maka sudah selayaknyalah pohon tersebut lebih didukung untuk pengembangan skala luas sebagai sumber devisa negara.
Membangun hutan tanaman masoi dalam skala luas baik berupa hutan rakyat maupun hutan tanaman industri menjadikan produk minyak masoi dapat berkelanjutan dan tidak bergantung pada pertumbuhan alami. Upaya ini tidak saja mampu meningkatkan devisa negara juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta aspek konservasi sumber daya genetik.