Fenomena Ida Dayak & Potensi Besar Minyak Tengkawang Kalbar

Kusumadewi Sri Yulita, CNBC Indonesia
17 April 2023 11:50
Kusumadewi Sri Yulita
Kusumadewi Sri Yulita
Yulita adalah staf peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Fokus risetnya tentang genetika populasi dan konservasi tumbuhan tropis, khususnya pohon komersial dan terancam punah. Sebelum bergabung di BRIN, Yulita pernah juga bekerja di beberapa.. Selengkapnya
Tengakawang. (Dok. Istimewa)
Foto: Tengkawang. (Dok. Istimewa)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Baru-baru ini, viral di media sosial sosok yang dikenal dengan Ida Dayak, juru pengobatan tradisional asal Kalimantan dengan pakaian bermotif khas Pulau Borneo. Setiap lokasi yang didatangi oleh Ida Dayak selalu ramai dipenuhi oleh pasien. Seperti pengalaman dua hari yang lalu di Perumahan Kostrad Cilodong, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Dari pagi, jalanan sudah macet karena lalu lalang orang dan kendaraan.

Walaupun berdasarkan informasi yang saya peroleh, ketika di Kostrad, Ida Dayak membatasi pasien setiap hari adalah 30 orang/pasien, tetapi yang datang baik sekadar untuk melihat, maupun mencoba peruntungan untuk berobat. Setiap mengobati pasien, Ida Dayak selalu menampilkan ciri khas yang interaktif dan menarik. Keahlian pengobatan Ida Dayak adalah mengobati pasien yang bermasalah dengan tulang.

Yang menarik lagi dari sosok Ibu Ida Dayak adalah dalam mengobati pasien, Ida Dayak terlihat menggunakan minyak oles. Penggunaan minyak adalah hal yang lumrah dalam pengobatan pijat dan urut, untuk memperlancar ketika mengurut anggota tubuh yang sakit.

Namun pada fenomena Ibu Ida, publik dibuat bertanya-tanya tentang kehebatan minyak tersebut, dan terbuat dari apakah minyak tersebut. Walaupun belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan minyak yang digunakan oleh beliau berbahan baku dari bumi asli Kalimantan yang memang terkenal akan bahan baku obat yang mujarab, seperti bawang dayak, akar laka, gaharu dan lain-lain.

Fenomena Ibu Dayak dan minyak olesnya -terlepas dari kemampuan beliau mengobati pasien-pasien- ini membuat saya teringat akan komoditas hasil hutan bukan kayu dari Kalimantan yang unik, potensial namun belum terlalu populer di masyarakat Indonesia, yaitu tengkawang atau dalam bahasa daerah umum disebut sebagai engkabang.

Minyak/lemak tengkawang dihasilkan dari biji buah meranti. Selama ini kita lebih mengenal pohon meranti sebagai penghasil kayu lapis dan kayu bangunan yang memiliki kualitas yang baik. Namun tidak banyak di antara kita yang tahu bahwa biji buah meranti dari beberapa jenis pohon menghasilkan minyak/lemak yang secara tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Kalimantan sebagai campuran makanan, pembuatan lilin, sabun hingga campuran bahan dasar kosmetik.

Dunia kosmetika sangat membutuhkan tengkawang pada satu sisi, sedangkan di sisi lain pasokan minyak tengkawang masih terbatas. Akibatnya harga minyak tengkawang bernilai ekonomi. Walaupun demikian, potensi ekonomi dari pengelolaan menjadi minyak tengkawang belum menjadi perhatian serius. Kita masih memilih memanfaatkan kayunya secara langsung untuk kebutuhan industri perkayuan.

Tengkawang itu sendiri adalah lemak atau minyak dari biji beberapa pohon meranti, terutama meranti merah yang juga dikenal dengan nama Bornean Illipe Nut. Ada sekitar 16 jenis pohon meranti (Shorea) penghasil tengkawang, 13 jenis tergolong meranti merah yang sebagian besar merupakan jenis endemik di Kalimantan Barat, 3 jenis lainnya tergolong kayu Balau yang tersebar di Sumatra dan Semenanjung Malaysia selain juga di Kalimantan.

Karena sebagian besar sebarang tengkawang ada di Kalimantan barat, tepatlah bila tengkawang dijadikan maskot provinsi Kalimantan Barat. Walaupun banyak jenis Shorea yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan Tengkawang, namun yang populer dan menjadi pilihan utama adalah jenis tengkawang tungkul atau Shorea stenoptera karena memiliki ukuran buah yang terbesar.

Jika jenis Shorea stenoptera tidak dijumpai dan susah, maka masyarakat biasa menggantinya dengan menggunakan dari Shorea pinanga dan Shorea macrophylla. Di habitat alaminya -secara teori- pohon tengkawang tidak berbunga setiap tahun, panen raya berlangsung rata-rata 3-5 tahun sekali, namun menurut informasi, ada pohon tengkawang di Kabupaten Bengkayang bisa bereproduksi setiap tahun.

Pengamatan yang sama juga terjadi pada beberapa jenis tengkawang yang sudah ditanam di lokasi konservasi ex situ di Pulau Jawa misalnya Shorea pinanga dan S. macrophylla. Dengan kondisi perubahan iklim global saat ini diharapkan tidak berpengaruh banyak terhadap proses reproduksi pohon-pohon tersebut.

Namun demikian, tidak berarti jenis meranti lain juga tidak menghasilkan minyak tengkawang mengingat jenis-jenis ini memiliki kemiripan karakteristik morfologi, biologi dan ekofisiologi. Terdapat 267 jenis meranti-merantian di Indonesia dari hampir 600 jenis yang ada di dunia. Hal tersebut menunjukkan masih banyak meranti lain yang berpotensi menghasilkan minyak tengkawang.

Pada tahun 1990-an, saat tengkawang menjadi primadona dan komoditas unggulan dari Kalimantan Barat, daerah ini mengekspor Tengkawang sebanyak 3.519,2 ton dengan nilai transaksi sebanyak 7.707.800 dolar AS. Angka yang lumayan tinggi. Namun, seiring dengan laju kerusakan hutan dan hilangnya habitat serta tidak adanya regenerasi meranti penghasil tengkawang, produksi terus menurun padahal permintaan pasar internasional terus naik.

Untuk menghasilkan lemak/minyak tengkawang, selama ini yang dilakukan adalah biji dari buah meranti diekstrak melalui proses pengasapan secara tradisional (atau menggunakan peralatan yang cukup sederhana) untuk menghasilkan minyak tengkawang yang bentuknya seperti mentega.

Ekstrak asam lemak dari biji tengkawang memiliki karakteristik yang mirip dengan dari biji kakao, namun memiliki kandungan asam lemak bebas (Free Fatty Acid/FFA) dan titik leleh yang lebih tinggi dari kakao. Fitur ini sangat penting karena akan berpengaruh terhadap kegunaannya dalam industri kosmetik, karena minyak tidak mudah tengik dan bisa disimpan dalam jangka waktu lebih lama.

Di pasar internasional, lemak diekstrak dari tengkawang dikenal sebagai Bornean tallow atau green butter. Lemak tengkawang ini digunakan sebagai bahan baku alternatif atau substitusi dari lemak kakao disebut setara mentega kakao (cocoa butter equivalent/CBE), mentega kakao pengganti (cocoa butter substitites/CBS) dan cocoa butter replacers/CBR).

Minyak tengkawang ini ditengarai dapat memulihkan elastisitas kulit sehingga menghambat penuaan dini, menghaluskan kulit yang kasar, kulit yang terpapar sinar matahari dan menyembuhkan luka. Selain itu, minyak tengkawang ini bisa digunakan untuk perawatan rambut karena dapat merangsang produksi sebum dan melembabkan rambut.

Seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan sustainable well being - yang sebagian besar diakibatkan karena kesadaran akan pentingnya pelestarian alam terutama akibat alih fungsi lahan dan perubahan iklim global, masyarakat mulai mencari produk-produk komersial berbahan baku sumber daya hayati lokal. Produk skin care berbasis sumber daya hayati lokal, antara lain minyak tengkawang yang sangat potensial menggantikan minyak kelapa sawit untuk industri kosmetik.

Hasil penelusuran saya di beberapa market place online yang menjual minyak tengkawang dan ada beberapa produsen skin care yang menggunakan minyak tengkawang dalam campuran bahan untuk produk perawatan kulit.

Saat ini sudah ada beberapa upaya peningkatan pemanfaat biji tengkawang di masyarakat, di antaranya oleh produksi lemak/mentega tengkawang oleh masyarakat Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pembuatan arboretum tengkawang di lahan bekas tambang oleh Dirjen PPKL-KHLK, pembuatan alat pemproses biji tengkawang Desa Sahan, pabrik pembuatan minyak tengkawang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Dalam segi harga, buah tengkawang yang belum kering dihargai Rp.1.500/kg, untuk buah yang sudah kering Rp. 3.000/kg. Sedangkan hasil dari olahan yang sudah menjadi lemak/mentaga harga nya berkisar Rp. 150.000,00 (berdasarkan informasi tahun 2021-2022).

Mengingat tingginya potensi tengkawang, dan nilai ekspor yang pernah ada, maka perlu ada kolabarasi antara dunia industri dan riset untuk pengembangan tengkawang sehingga kembali menguasai pasar internasional karena tengkawang hanya terdapat di Indonesia dan ini merupakan pasar potensial.

Kendala yang ada saat ini adalah harga jual yang belum sesuai, ketersediaan pasar yang berlanjut serta masa panen yang berbeda menjadi kendala dalam memanfaatkan tengkawang secara optimal.

Oleh karena itu kolaborasi dilakukan dari tingkat hulu sampai hilir. Di hulu, riset-riset pengembangan terus dilakukan untuk menghasilkan kualitas yang lebih bagus dan meningkat serta ada produk baru yang diketemukan, sedangkan di hilir adalah proses marketing hingga sampai di tangan konsumen.

Dengan mengoptimalkan pemanfaatan tengkawang, maka beberapa hal bisa diraih seperti melindungi kekayaan adat budaya masyarakat dayak -terlebih panen buah tengkawang di hutan adat, harus mengikuti ritual yang ada.

Selain itu tengkawang dapat ditanam sebagai pohon lokal untuk rehabilitasi lahan, pencegahan bencana, mengurangi risiko perubahan iklim sebagai penyerap karbon, dan tidak kalah penting adalah dapat menjadi pengungkit dan penggerak ekonomi masyarakat, seperti yang amanatkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2023 mengenai Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation