Gaji ke-13 ASN, Stimulus Ekonomi Pendongkrak Konsumsi

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Salah satu yang dinanti oleh mayoritas orang menjelang Hari Raya Idulfitri adalah hadirnya tunjangan hari raya keagamaan (THR). Pemberian THR bukan hanya berlaku di lingkungan pemerintah semata namun juga pada sektor nonpemerintahan selama terdapat hubungan ketenagakerjaan antara pemberi kerja dan pekerja.
Ditilik dari alasan pemberiannya, keberadaan THR selain bertujuan untuk menambah belanja masyarakat pada momentum Lebaran juga ditujukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Satu hal yang menjadi polemik adalah ketentuan terkait pemberian THR bagi pegawai honorer di kantor-kantor pemerintah. Sebuah ambiguitas yang memunculkan pertanyaan, apakah honorer dapat diberikan THR menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini?
Menjawab pertanyaan tersebut akan dihadapkan pada dua hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan ya atau tidak sebagai jawaban. Kedua hal tersebut berkaitan dengan prasyarat dan ketersediaan anggaran.
Frasa honorer memang cukup sulit didefinisikan keberadaannya saat ini. Apabila merujuk pada UU ASN, jenis kepegawaian di instansi pemerintah hanya terdiri atas PNS dan PPPK. Tidak terdapat penggolongan kepegawaian lain selain dari kedua jenis tersebut.
Pada ketentuan lebih lanjut disebutkan bahwa, "Pejabat Pembina Kepegawaian dapat diancam dengan sanksi apabila mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN". Larangan tersebut diatur dalam PP 49 tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Selain penafsiran dari UU ASN, penafsiran secara lebih luas terhadap pegawai yang bekerja di instansi pemerintah dapat merujuk pada berbagai peraturan lain. Terdapat beberapa peraturan yang memberikan ruang bagi pegawai selain PNS dan PPPK untuk tetap berkarya di instansi pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut antara lain :
* • Peraturan mengenai kelembagaan Badan Layanan Umum (BLU) yang di dalamnya termasuk pengaturan mengenai kepegawaian pada institusi yang ditetapkan sebagai BLU/BLUD.
* • Peraturan mengenai kelembagaan Lembaga Penyiaran Publik yang di dalamnya termasuk pengaturan mengenai kepegawaian pada institusi tersebut.
* • Peraturan mengenai pendirian/pembentukan lembaga nonstruktural lingkup pemerintah termasuk di dalamnya pengaturan mengenai kepegawaian serta hak dan kewajiban yang melekat.
* • Peraturan mengenai konversi PTS menjadi PTN dan perlakuan terhadap pegawai di perguruan tinggi negeri baru tersebut.
* • Serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan keuangan negara baik lingkup pusat/APBN maupun daerah/APBD.
Pada peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keuangan negara, tidak mungkin lepas dari adanya aturan mengenai standar biaya. Standar biaya merupakan komponen yang digunakan untuk menyusun rencana kerja kementerian dan lembaga.
Terdapat dua jenis standar biaya yaitu standar biaya masukan (SBM) dan standar biaya keluaran (SBK). Baik di lingkup pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah, terdapat kedua jenis standar biaya yang digunakan untuk menyusun anggaran pada lingkup kewenangan masing-masing.
Di dalam peraturan tentang SBM diatur beberapa uraian yang berkaitan dengan pemberian hak keuangan bagi pegawai selain PNS dan PPPK. Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan, serta Pramu Bakti merupakan contoh uraian pekerjaan serta hak keuangan yang diatur dalam SBM. Keempat jenis pekerjaan tersebut selain dapat menggunakan skema alih daya juga bisa dipekerjakan secara langsung oleh instansi pemerintahan.
Selain keempat jenis pekerjaan tersebut, dimungkinkan pula untuk memberikan upah bagi nonPNS untuk melakukan tugas tertentu. Pelaksanaan tugas tertentu misalnya sebagai penyuluh, panitia kegiatan, penyusun jurnal, penyusun butir soal, dan rohaniwan.
Atas pelaksanaan tugas tertentu tersebut kompensasi yang diberikan berupa honorarium dengan besaran sesuai SBM. Di sinilah kemudian muncul istilah honorer, karena kompensasi yang diberikan berdasarkan honorarium kegiatan yang sifatnya sementara bukan terus menerus.
Penafsiran dengan memasukkan peraturan-peraturan selain UU ASN yang selanjutnya memperluas cakupan tentang aparatur negara. Frasa aparatur negara pun kemudian digunakan untuk menyebut siapa saja yang berhak menerima THR. Perluasan makna inilah yang menyebabkan penerima THR tidak hanya terbatas pada PNS, PPPK, Prajurit TNI, Anggota Polri, dan Pejabat Negara namun siapa saja yang bekerja di instansi pemerintah dan memenuhi ketentuan.
Dari sisi prasyarat, setiap orang yang bertugas di institusi pemerintahan dapat diberikan THR. Namun terdapat ketentuan tambahan khususnya bagi pegawai "honorer" alias pegawai dengan status selain PNS, PPPK, Prajurit TNI, Anggota Polri, dan Pejabat Negara.
Ketentuan tambahan tersebut yaitu berkewarganegaraan Indonesia, bertugas secara terus menerus minimal 1 tahun, sumber pendanaan belanja pegawai dari APBN atau APBD, serta diangkat oleh pejabat yang memiliki kewenangan atau telah menandatangani perjanjian kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila masa kerja kurang dari 1 tahun, THR dapat diberikan dengan ketentuan tambahan yakni telah menjalankan tugas minimal 1 bulan serta hak berupa THR tercantum dalam perjanjian kerja yang telah ditandatangani.
Selain berkaitan dengan prasyarat, terdapat faktor lain yang mempengaruhi pemberian THR bagi pegawai dengan status honorer. Faktor tersebut berkaitan dengan ketersediaan anggaran. Meskipun seorang pegawai telah memenuhi syarat untuk mendapatkan THR, ketersediaan anggaran menjadi penentu langkah selanjutnya.
Dalam hal anggaran yang ada dalam dokumen pelaksanaan anggaran telah memperhitungkan pemberian THR, maka dapat segera dibayarkan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Namun apabila dalam dokumen pelaksanaan anggaran belum tersedia, maka diperlukan tambahan alokasi untuk membayarkan THR bagi pegawai honorer.
Di sinilah kemudian yang menjadi sumber keriuhan khususnya pada tingkat pemerintah daerah. Bagi daerah dengan kemampuan fiskal yang memadai, tambahan alokasi anggaran dapat secara cepat direalisasikan.
Sayangnya masih banyak pemda yang memiliki keterbatasan fiskal. Jangankan untuk memberikan THR kepada honorer secara layak, THR bagi ASN pun mungkin dibayarkan kurang dari besaran yang telah ditentukan.