Potensi Persoalan Baru di Tengah Subsidi Kendaraan Listrik

Jemima Nathenia, CNBC Indonesia
27 March 2023 17:30
Jemima Nathenia
Jemima Nathenia
Jemima Nathenia adalah peneliti urban transport di Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Fokus risetnya adalah meneliti dan memperjuangkan transportasi perkotaan yang hijau dan berkeadilan. Jemima adalah seorang sarjana lulusan Teknik Sipil Universita.. Selengkapnya
Penumpang mengantre untuk memasuki Stasiun Tanah Abang, Jakarta. CNBC Indonesia/Andrean Kristianto
Foto: Penumpang mengantre untuk memasuki KRL Commuter Line di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, beberapa waktu lalu (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Terhitung sejak 2018, saya mulai aktif menggunakan transportasi publik terutama KRL Commuter Line. Selama lima tahun itu pula, hormat saya pada anker (anak kereta) melonjak tinggi.

Bermobilisasi dari "Jakarta Coret" ke pusat kota, mereka harus siap sedia mengarungi lautan manusia yang transfer dari kereta satu ke kereta lainnya dengan risiko tersungkur dan terjerembab. Dalam jam-jam sibuk, armada yang terbatas membuat penumpangnya harus menguasai ilmu berdesak-desakan dan tidur sambil berdiri.

Belum lagi kalau harus melanjutkan perjalanan dengan moda yang rawan terdampak macet: bus, angkot, dan sebagainya. Jalan kaki dan bersepeda pun tidak kalah menyusahkannya. Muka trotoar Jakarta yang cantik dan rapi hanya berjejer di pusat ibu kota seperti Sudirman dan Cikini.

Dalam lima tahun itu pula, tak banyak perubahan signifikan yang saya rasakan selama menggunakan transportasi publik. Meskipun begitu, nampaknya tahun ini fokus utama pemerintah justru terletak pada pengembangan kendaraan pribadi berbahan dasar listrik, kebijakan yang semakin menguatkan stance negara ini sebagai negara dengan car-oriented cities.

Kabar awal tahun ini cukup membuat kaget. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani meluncurkan percepatan program KBLBB berupa bantuan pemerintah dan juga insentif fiskal di kantor Kemenko Marves, Jakarta, Senin (20/3/2023).

Luhut menyampaikan dengan adanya adopsi massal ini bersamaan dengan berbagai kebijakan yang lainnya, diharapkan industri transportasi Indonesia dapat bertransformasi menuju ke arah industri yang lebih hijau. Industri yang terbangun nantinya juga akan memperkuat posisi Indonesia di rantai nilai sumber daya mineral, baterai, serta kendaraan.

Terkait insentif yang diberikan dari sisi fiskal untuk memperkuat ekosistem KBLBB, Sri Mulyani menyampaikan secara akumulatif, insentif-insentif yang diberikan dari sisi fiskal perpajakan yang diberikan kepada kendaraan listrik dengan perkiraan masa pakainya akan mencapai 32% dari harga jual untuk mobil listrik dan 18% untuk motor listrik.

"Bantuan pemerintah untuk sepeda motor listrik baru dan konversi senilai Rp 7 juta untuk motor listrik baru dan konversi bantuan ini hanya berlaku untuk 2 tahun (2023-2024) untuk 1 juta motor listrik baru dan konversi dengan jumlah total kebutuhan anggarannya Rp 7 triliun. Bantuan pemerintah tersebut akan dikelola oleh Kementerian Perindustrian untuk motor baru dan Kementerian ESDM untuk motor konversi. Persyaratan untuk motor listrik harus diproduksi di Indonesia dan TKDN minimal 40%," ujar Sri Mulyani.

Lebih lanjut dia menjabarkan, untuk insentif PPN Mobil dan Bus Listrik untuk tahun 2023, di mana mobil listrik dan bus listrik dengan TKDN di atas 40% mengikuti program Kementerian Perindustrian diberikan insentif PPN sebesar 10% sehingga PPN yang harus dibayar hanya 1%. Bus listrik dengan TKDN lebih dari 20%-40% diberikan insentif PPN sebesar 5% sehingga PPN yang harus dibayarkan sebesar 6%. Insentif ini berlaku per hari 20 Maret 2023 untuk motor listrik dan 1 April 2023 untuk mobil dan bus listrik.

Lalu, apakah penggunaan kendaraan listrik bisa menjadi solusi sederhana yang mampu menyelesaikan persoalan krisis iklim?

Kendaraan listrik, terlebih yang menggunakan energi terbarukan, memang menghasilkan emisi karbon yang lebih kecil. Misalnya, untuk menempuh perjalanan 100 kilometer, mobil listrik membutuhkan daya sebesar lebih kurang 12 kWH dan menghasilkan 13 kilogram emisi karbon.

Sementara, untuk menempuh jarak yang sama, mobil berbahan bakar minyak bumi membutuhkan 10 liter bensin, dengan emisi karbon sebesar 23 kilogram. Meskipun begitu, harga mobil listrik yang umumnya di atas Rp 500 juta membuat penggunaannya belum ramai digemari orang.

Subsidi kendaraan listrik ini dikhawatirkan tidak berdampak signifikan bagi masyarakat luas meski sudah menyedot anggaran secara fantastis. Sebab, subsidi kendaraan listrik ini justru akan mendorong pembelian kendaraan pribadi, yang berpotensi memperparah kemacetan. Terlebih, subsidi ini justru berpotensi menyasar orang-orang kaya, yang memang pada dasarnya memiliki daya beli tinggi untuk memiliki kendaraan pribadi.

Bahkan, pembelian mobil dan motor listrik yang disubsidi berpotensi menjadi pembelian mobil kedua atau bahkan ketiga. Alih-alih mengganti kendaraan berbahan dasar minyak, mobil dan motor listrik akan menjadi tambahan kendaraan di jalan. Padahal, pertumbuhan jalan di Indonesia tidak banyak. Menurut Data Indonesia, pada 2021 pertumbuhan jalan hanya sebesar 0,32%, jauh lebih kecil dibandingkan pertumbuhan kepemilikan kendaraan yang mencapai 4,3%.

Berkaca pada China
Negara lain yang pernah menerapkan subsidi untuk mengakselerasi penggunaan kendaraan listrik adalah China. Subsidi ini dimulai sejak tahun 2009, dan menurun setiap tahunnya. Per tahun 2021, China telah membayar hingga US$15 miliar atau Rp225 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu) untuk subsidi pembelian kendaraan listrik.

Meski terlihat besar, negara ini tidak menghadapi kemacetan yang semakin parah karena bersamaan dengan pendorongan penggunaan kendaraan listrik. China juga secara simultan membatasi penggunaan kendaraan berbahan dasar minyak.

Target kebijakan ini adalah tidak ada lagi penjualan kendaraan berbahan bakar minyak per 2030. Hal ini menyebabkan kendaraan listrik yang dijual menjadi substitusi kendaraan yang sebelumnya telah ada, alih-alih menambahkan volume kendaraan di jalan.

Selain pembatasan penjualan kendaraan berbahan bakar minyak bumi, Menteri Perhubungan negara ini juga meluncurkan program terkait perkembangan transportasi publik untuk mengurangi permasalahan kemacetan. Program tersebut diimplementasikan dengan mengembangkan sekaligus mengujicobakan beberapa strategi seperti Transport Demand Management, Transit-Oriented Development, Intelligent Transport System, dan Advanced Public Transport System.

Tiga kota yang menjadi daerah percontohan program ini, Suzhou, Chengdu, dan Harbin, mengalami penurunan emisi sebanyak 1-1,5 juta ton karbondioksida di tahun 2017.

Program itu juga berhasil mengurangi kepadatan lalu lintas. Di Suzhou, misalnya, teknologi Intelligent Transport System memonitor 370 rute bus, 4.680 armada bus, dan penumpang harian sebanyak 1,5 juta orang guna mengawasi dan meregulasi arus perjalanan di dalam kota.

Hal ini menjadikan bus-bus menjadi prioritas di jalan dan memberikan layanan bus yang cepat, aman, dan nyaman. Semakin baik pelayanannya, semakin banyak orang yang menggunakan bus sebagai moda transportasi utama mereka setiap hari.



Persoalan kronis transportasi publik Indonesia
Di Indonesia sendiri, pemerintah mengalokasikan Rp1,32 triliun untuk subsidi transportasi darat. Jumlah tersebut belum termasuk sektor perkeretaapian yang mencapai Rp175,9 miliar.

Salah satu kota dengan sistem transportasi publik terbaik di Indonesia adalah Jakarta, yang memiliki sistem transportasi Bus Rapid Transit sejak tahun 2004. Dengan jalur lintasan terpanjang sedunia (230,9 km), 4.079 armada, 243 halte, dan 13 koridor, Transjakarta mencapai kinerja puncak tahunannya dengan membawa 114,7 juta penumpang di tahun 2011.

Meskipun begitu, kualitas layanan transportasi publik di Indonesia masih sangat kurang memadai. Bahkan di Jabodetabek, banyak sekali situasi di mana lokasi asal (rumah/kos) dan destinasi (sekolah/kantor) terlalu jauh dari stasiun atau halte terdekat, yang menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap motor dan mobil pribadi atau transportasi online.

Hal ini tentu memperparah kemacetan yang ada. Situasi yang lebih mengkhawatirkan tentunya terjadi di banyak kota-kota besar lain di Indonesia. Jelas permasalahan konektivitas first/last-mile ini tidak bisa diselesaikan oleh pengadaan mobil dan motor listrik serta subsidinya.

Apabila perhatian memang dipusatkan kepada urbanisasi yang lebih inklusif, maka kebijakan sebaiknya berfokus pada perkembangan transportasi publik. Baik kepada konektivitas rutenya, ketersediaan armada, ketepatan waktu tunggu dan waktu perjalanan, serta fasilitas pendukung di sekitar stasiun transit. Dengan cara ini, keberlanjutan juga dapat diperjuangkan dengan mengganti atau menambah moda-moda transportasi publik menjadi berbasis listrik.

Dari segi keamanan, ketergantungan terhadap kendaraan pribadi juga bukanlah pilihan yang benar-benar aman. Tercatat per 2021 kemarin, jumlah kecelakaan mobil pribadi dan sepeda motor di DKI Jakarta mencapai 4.681 kecelakaan.

Sementara, total jumlah kecelakaan yang mencakup bus, metromini, mikrolet, dan omprengan hanya sebanyak 117 kecelakaan atau 0,02 persen dibandingkan kendaraan pribadi. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa keuntungan dan keamanan menggunakan transportasi publik lebih terjamin. Sayangnya, pemerintah justru memilih subsidi kendaraan listrik yang jauh lebih tidak aman dibanding transportasi umum.

Jika masih belum mungkin untuk memfasilitasi masyarakat bermobilisasi dengan transportasi publik sepenuhnya, maka pemerintah seharusnya bisa menentukan target jangka pendek untuk memfasilitasi perjalanan hybrid: mobilisasi dengan kendaraan pribadi dan kendaraan publik dalam satu kali perjalanan. Misalnya, mengendarai motor hingga stasiun terdekat, kemudian dilanjutkan dengan KRL Commuter Line.

Infrastruktur di sekitar stasiun juga perlu diperhatikan, seperti pembuatan park and ride, trotoar pedestrian yang aman dan nyaman, biaya parkir yang terjangkau, dan lain-lain. Dalam kasus ini, subsidi kendaraan listrik tetap bisa dilakukan, tetapi tidak menjadi prioritas terdepan selama kualitas layanan transportasi publik masih belum maksimal.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation