Urgensi Mendongkrak Produktivitas Pekerja Indonesia

Rinaldi Malimin, CNBC Indonesia
25 January 2023 20:45
Rinaldi Malimin
Rinaldi Malimin
Rinaldi Malimin merupakan lulusan Waseda University Tokyo Jepang tahun April 1992. Pernah bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1996. Setelah itu, bekerja di sejumlah industri dan perusahaan dalam kurun waktu 1996-2004, yakni di P.. Selengkapnya
Infografis: Buruh Bisa Dapat Bantuan DP Rumah Rp150 Juta & KPR Rp500 Juta
Foto: Ilustrasi buruh (Arie Pratama/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pekerja Indonesia sering dipojokkan dengan tudingan bahwa upah yang diterimanya tidak sepadan dengan produktivitas yang masih rendah. Tudingan di atas kurang objektif lantaran tidak menunjukkan secara spesifik jenis atau sektor apa yang diukur. Pasalnya untuk sektor tertentu, seperti sektor pertambangan dan otomotif, produktivitas buruh cukup tinggi, bisa melampaui negara maju sekalipun.

Berdasarkan hasil survei Japan External Trade Organization (JETRO) tahun 2020 terhadap 13.458 perusahaan di ASEAN (termasuk 614 perusahaan di Indonesia), produktivitas pabrik di Indonesia berada di posisi tujuh di bawah Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, dan Malaysia. Data dari Asian Productivity Organization (APO) tahun 2020, di ASEAN Indonesia berada di urutan ke-5 di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Ironisnya, saat produktivitas mesti ditingkatkan, namun dalam pasal UU Cipta Kerja, kini Perppu Cipta Kerja justru menghapus upah sektoral. Padahal sistem upah sektoral tersebut bisa mendongkrak indeks produktivitas.

Mestinya upah sektoral jangan dihilangkan karena bisa memicu produktivitas yang tinggi dan buruh termotivasi untuk terus meningkatkan kompetensinya. Produktivitas itu mesti diukur secara detail per sektor atau jenis pekerjaan. Setelah itu juga diukur per daerah.

Terdapat beberapa ukuran dan metode untuk menunjukkan perhitungan produktivitas. Salah satunya Metode Marvin E. Mundel yang menggunakan pendekatan metode perhitungan angka indeks produktivitas.

Dari sisi produktivitas jika diukur dengan GDP per worker employed, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara tetangga. Itu karena mayoritas tenaga kerja Indonesia saat ini, hampir 60% pekerja di Indonesia masih tamatan pendidikan rendah, yaitu SMP ke bawah. Mereka memiliki keterbatasan skill, sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing.

Dari sisi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sektor yang menjadi kontributor PDB terbesar, yaitu industri dengan kontribusi 19,66%, hanya mampu menyerap tenaga kerja sekitar 14%. Sedangkan, tenaga kerja terbesar masih di sektor pertanian, yaitu 29%, namun kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar 13%.

Hakikat produktivitas ketenagakerjaan adalah tingkat kemampuan pekerja menghasilkan produk dan jasa. Berbagai faktor memengaruhi produktivitas tenaga kerja, termasuk juga faktor kesejahteraan sosial pekerja.

Pemerintah dalam hal ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) seharusnya terus mengikuti penemuan proses produksi baru atau teknologi industri yang bisa menggenjot produktivitas sekaligus berpotensi memperluas lapangan kerja karena berbasis inovasi dan teknologi tepat guna. Perlu penataan kompetensi ketenagakerjaan bagi angkatan kerja di desa. Kompetensi terkait erat dengan kondisi lapangan kerja yang cocok untuk pedesaan utamanya di sektor usaha pertanian.

Hasil penelitian menunjukkan ada korelasi kuat antara besaran rasio ekspor suatu perusahaan/negara terhadap produktivitas perusahaan/negara tersebut. Dari kajian Sanghoon Ahn "Does Exporting Raise Productivity? Evidence from Korean Microdata" tahun 2004 disimpulkan pertumbuhan ekspor berperan besar terhadap peningkatan produktivitas di Korea Selatan. Dikatakan bahwa persaingan pasar global lebih membawa dampak terhadap tingkat produktivitas dibanding persaingan di pasar domestik dengan produk impor ataupun dominasi investasi asing dalam pasar ekspor.

Dan kebijakan pemerintah mempengaruhi dan berkembang mengikuti perubahan yang terjadi. Hal inilah yang menjadi dasar logika atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah Jepang dan Korea Selatan diawal pembangunan ekonomi negaranya.

Tetapi dari kajian tersebut juga menyimpulkan bahwa peningkatan produktivitas suatu negara bersifat sementara karena akan terdampak oleh semakin ketatnya persaingan global, perkembangan pasar modal, ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Seperti yang terjadi di Jepang, Korea Selatan dan beberapa negara berkembang Asia Timur lainnya belakangan ini.

Rasio ekspor terhadap GDP Indonesia di ASEAN termasuk yang terendah, 21,56% di tahun 2021 di bawah Singapura 184,84%, Brunei Darussalam 147,12%, Vietnam 93,29%, Malaysia 68,84%, Thailand 58,21%, Myanmar 28,29%, dan Filipina 28,2%.

Pihak Kementerian Ketenagakerjaan pernah menyatakan bahwa persentase produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di angka 74,4%. Tingkat produktivitas ini berada di bawah rata-rata Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yakni 78,2%. Negara-negara tetangga seperti Filipina (86,3%), Singapura (82,7%), Thailand (80,1%), dan Vietnam (80%).

UU Cipta Kerja justru menimbulkan paradoks terkait dengan produktivitas bangsa, pasalnya ada pasal yang mengeliminasi atau menghilangkan hakekat upah sektoral. Menurut pihak serikat pekerja, justru upah sektoral itulah yang bisa menjadi faktor untuk menggenjot produktivitas pekerja. Kebijakan pengupahan dalam UU Cipta Kerja tidak dikenal lagi adanya upah minimum sektoral.

Kebijakan pengupahan diatur dalam Pasal 81 angka 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebelumnya, Pasal 89 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memang menyatakan bahwa upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

Akan tetapi, pasal tersebut saat ini telah dihapuskan oleh Pasal 81 angka 26 UU Cipta Kerja, sehingga ketentuan tersebut sudah tidak berlaku.

Dari sisi produktivitas jika diukur dengan GDP per worker employed, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara tetangga. Jika melihat mayoritas tenaga kerja Indonesia saat ini, hampir 60% tepatnya 58,78% pekerja di Indonesia masih tamatan pendidikan rendah yaitu, SMP ke bawah. Mereka memiliki keterbatasan skill, sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing.

Teori Upah Efisiensi mengatakan bahwa peningkatan upah pekerja dapat berdampak pada peningkatan produktifitas pekerja, karena besarnya pendapatan pekerja akan berdampak pada kesejahteraan pekerja dan meningkatkan kemampuannya memenuhi kebutuhan. Selain itu juga dikatakan bahwa besarnya upah pekerja dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi dalam negeri.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation