Ledakan Jumlah Pelamar ASN & Buruknya Bursa Ketenagakerjaan Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Alasan kegentingan ekonomi nasional dibalik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perpu Cipta Kerja sumir. Lebih jelas, tercium aroma kepentingan politik melindungi nama baik partai-partai pengusung pemerintah, terutama PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan lainya menjelang Pemilu 2024.
Juga menjaga reputasi Presiden Joko Widodo untuk bisa menyelesaikan pekerjaan rumah utama yang tertunda. Undang-undang sapu jagat, prioritas yang diumumkan sesaat setelah dilantik sebagai presiden periode kedua.
Pemerintah bilang, kegentingan didasarkan pada risiko geopolitik Rusia-Ukraina yang bisa ciptakan krisis energi dan pangan, hyper inflasi, stagflasi global. Pemerintah, kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menetapkan defisit anggaran di bawah 3%, dan mengandalkan investasi yang ditargetkan Rp 1.200 triliun untuk tahun ini.
Alasan ini sulit dipahami dengan pendekatan ekonomi sekalipun, bisa tapi ambigu. Sebab, kalau di bedah perut produk domestik bruto (PDB) Indonesia itu, 50% lebih adalah konsumsi domestik, dan rasio perdagangan RI terhadap PDB itu sangat rendah, hanya kurang lebih 40%. Bandingkan dengan Thailand di atas 110%, Malaysia 130% dan Singapura di atas 300%.
Dengan arti lain, Indonesia relatif aman dari efek masalah ekonomi global, karena hasil produksi dapat terserap maksimal di dalam negeri. Demikian juga pelemahan ekspor yang bisa saja terjadi, tak akan berpengaruh banyak, karena net ekspor hanya berkontribusi kurang 20% terhadap PDB. Sisanya, disumbang investasi dan belanja pemerintah.
Jadi alasan utama, butuh investasi besar dan ada krisis global sulit diterima akal sehat. Dari itu semua, bukankah pemerintah sendiri yang malah bilang, meski ekonomi global gelap, namun Indonesia akan baik-baik saja. Target pertumbuhan ekonomi di set 5,3% tahun ini di APBN, sementara Bank Indonesia melihat antara 4,5-5,3%. Ini sudah cukup tinggi.
Ini tak jauh beda dengan estimasi Bank Dunia sebesar 4,8% dan Dana Moneter Internasional sebesar 5%. Anehnya lagi, tidak ada satupun proyeksi tersebut mengasumsikan perlu Perpu Cipta Kerja untuk mencapainya, termasuk versi perintah sendiri. Perpu ujug-ujug diterbitkan begitu saja, mengabaikan proses legislasi biasa, meskipun masih ada waktu sampai akhir tahun ini.
Ada 'Politik' Dibalik Batu
Baiknya terbuka saja, pemerintah tampaknya tidak ingin ada kegaduhan di tahun politik ini, menjelang Pemilu Februari 2024. Meskipun namanya Cipta Kerja, atau menciptakan lapangan pekerjaan, namun mayoritas isi undang-undang ini justru mengurangi hak-hak pekerja. Juga ada banyak pasal-pasal yang meliberalisasi sektor ekonomi Indonesia.
Isu sensitif ketenagakerjaan dan liberalisasi ekonomi tentu ini buruk bagi citra politik penguasa. Pemerintah tak suka kegaduhan, sementara bagi partai pengusung pemerintah, bila perubahan UU Cipta Kerja di bahas di parlemen, ini akan membuat mereka menjadi bulan-bulanan partai oposisi dan aktivis politik, serta masyarakat.
Pembahasan terbuka pada pasal-pasal yang menyangkut hidup orang banyak rentan dijadikan sasaran tembak dari para oposisi dan masyarakat kritis.
Bahkan bukan tidak mungkin partai koalisi pengusung pemerintah akan saling serang untuk mendapatkan simpati pemilih. Perpu Cipta Kerja bila dibahas dengan legislasi bisa, rapat-rapat seperti waktu pembentukannya bisa menjadi isu panas setiap hari yang tone nya pasti buruk bagi partai pendukung. Bisa terjadi kegoncangan politik.
Dengan mekanisme perpu, semua happy. Untuk diundangkan, Perpu hanya perlu diteken level pimpinan, ditimbang alasan kegentingan, tanpa pembahasan ulang isi. Para petinggi partai pastinya sadar akan hal ini, sementara Presiden Joko Widodo juga punya kepentingan untuk menyelamatkan reputasi dari UU yang nyaris terbengkalai.
Walaupun secara substansi Cipta Kerja memang bisa dan bertujuan meningkatkan iklim investasi-meningkatkan produktivitas dari 74% menuju di atas rata-rata ASEAN 78%--berpeluang menciptakan lapangan kerja baru-targetnya 3 juta per tahun-,namun Perpu kali ini diniatkan bukan untuk itu.
Ada kepentingan politis yang memboncengi kepentingan dan alasan ekonomi. Pertanyaannya, siapa yang mendesak Cipta Kerja dijadikan Perpu Cipta Kerja? Istana kah? Parpol pendukung kah? Atau kedua-duanya?
Problematik, Kayak Kisah Cinta Sadboy
Kalau saja diibaratkan perasaan, regulasi sapu jagad Cipta Kerja ini seperti seseorang yang sedang jatuh cinta pada orang yang tepat, tapi diwaktu yang salah. Sedih. Terdengar melow, tapi memang begitu perumpamaanya, ada banyak alasan untuk menyebutnya demikian.
Terlepas dari kontroversi isi dan dampaknya, Cipta Kerja adalah terobosan berani dan brilian dari Presiden Jokowi. Dia satu-satunya presiden setelah reformasi 1998 yang berani mengambil sikap terang dan jelas soal ekonomi; liberalisasi dan debirokratisasi. Memangkas ratusan regulasi lama, kembali menggelar karpet merah untuk pengusaha, termasuk asing. Sat-set, langkahnya.
Langkah Jokowi ini mirip seperti yang dilakukan Presiden Soeharto pada Oktober 1988, yaitu mempermudah izin pendirian bank. Dikenal dengan istilah Pakto 88. Usut punya usut, liberalisasi sektor perbankan ini disebabkan oleh kekeringan likuiditas untuk pembangunan. Duit APBN yang tadinya penuh, kering karena pesta keuntungan bonanza minyak era 1970-an berakhir.
Gagasan Soeharto, perlu melibatkan swasta untuk membiayai pembangunan karena dana APBN tak cukup. Maka, izin pendirian bank dipermudah, modal Rp10 miliar saja bisa bikin bank, dengan Rp50 juta saja bisa mendirikan Bank Perkreditan Rakyat.
Hasilnya luar biasa, dana melimpah dari jumlah bank yang membengkak berlipat jadi 200-an. Pertumbuhan ekonomi meroket, rata-rata 7%, sehingga Indonesia sempat dijuluki macan Asia, sebelum kemudian menjadi kucing saja saat krisis moneter 1997.
Demikian juga Jokowi. Dia memimpin saat Indonesia terseok-seok dalam persaingan memperebutkan investasi, khususnya dana asing. Data Easy of Doing Business/EODB untuk Indonesia dari 2008-2014 rata-rata 123, sangat buruk. Setelah dia efektif memimpin pada 2015, nilainya bisa turun ke 106, dan bahkan secara rata-rata menjadi 81 hingga rentang 2020. Tapi, trennya mentok sejak tahun 2017, tak bisa lebih baik dari 73.
Banyak sekali hambatan birokrasi yang menghalangi pengusaha lokal dan asing berbisnis di Indonesia, mentok karena ulah aparatur negara, dan peraturan berbelit. Itu berulang kali kemukakan dalam Jokowi pada pidato-pidatonya, yang dimarahi aparat dibawahnya.
Salah satunya, coba tonton lagi saat Jokowi sidak Kantor Pelayanan Terpadu Terminal Penumpang Nusantara Pura Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (17/6/2-15). Dia ngamuk, dengan nada tinggi mencecar petugas terkait pelayanan bongkar muat yang lelet. Di depan wartawan, wajahnya tampak menahan emosi.
Belum lagi dari fakta Indonesia gagal memanfaatkan 'harta karun' sumber daya alam, dan sumber daya pasar. Indonesia adalah negara dengan 270 juta penduduk, keempat terbesar di dunia. Dengan potensi semolek ini, Indonesia gagal menarik minat investor, kalah dengan negara-negara kecil, miskin sumber daya.
Datanya menyedihkan. Ini tampak pada rasio net inflow FDI, atau arus bersih masuk investasi asing langsung terhadap produk domestik bruto/PDB. Indonesia sebesar 1,8%, di atas rata-rata regional Asia Tenggara yang 1,2%. Tapi, di level atas, keok di bawah rata-rata Asia Pasifik 2.3%, dunia 2.4%. Data ini menunjukkan kemampuan sebuah negara menarik minat asing. Untuk negara dengan kualitas G-20, dengan sumber daya alam dan pasar besar berpenduduk keempat terbesar dunia, data ini payah.
![]() |
Perasaan Menggebu Tapi PDKT Asal-Asalan
Rencana pembuatan undang-undang payung atau omnibus law Cipta Kerja langsung dikemukakan beberapa saat setelah dia dilantik sebagai presiden periode kedua, Minggu (20/10/2019). Berselang dua bulan saja, pemerintah langsung menyusun kisi-kisi dan pada Februari 2020, draft jadi diserahkan ke DPR. Gas pol.
Secara efektif, pembahasan di Senayan dimulai April, tapi baru benar-benar intensif Mei 2020. Total, ada 64 kali rapat; dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan enam kali rapat tim khusus. Mereka membahas berbagai macam masalah investasi, yang dirangkum menjadi 11 tema/klaster. Akhirnya, RUU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna Senin, 5 Oktober 2020.
Tak sampai enam bulan, 37 anggota dewan bersama perwakilan pemerintah mengubah 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal sekaligus. Super sekali. Karena, kalau dibahas satu-persatu, mungkin benar kata Pak Jokowi, butuh 50 tahun. Sementara, Cipta Kerja tak sampai satu tahun.
Ini seperti cerita rakyat tentang cinta yang berakhir sedih, Pangeran Bandung Bondowoso dengan putri Roro Jonggrang. Bangun Candi Prambanan. Bangunan candinya memang jadi. Tapi...
Hasilnya ambyar, amburadul. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti di sejumlah media menyebut proses legislasi Cipta Kerja sebagai ugal-ugalan. Cipta kerja menjadi proses legislasi paling cepat dalam sejarah, dan mengabaikan proses politik.
Hasilnya, undang-undang itu menjadi tidak bermutu. Mudah dipatahkan dalam pengajuan uji materiil, dimana MK pada November 2021, dan memberikan waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun ulang. Bila tidak, UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Regulasi payung Cipta Kerja bagi pemerintahan Jokowi memiliki derajat setara dengan fokus infrastruktur pada periode pertama. Sayangnya, nasibnya justru tidak semulus proyek-proyek fisik infrastruktur. Boleh dibilang, Jokowi yang seharusnya bisa lebih leluasa di periode kedua, tampak malah kesulitan.
Salah satunya akibat tiga tahun yang tampak sia-sia karena pandemi Covid-19, dan setelah lepas dari itu ada krisis global tahun ini, dan satu lagi tekanan politik yang semakin menguat menjelang Pemilu 2024. *