Kebangkitan Bisnis Transportasi Udara Indonesia di Depan Mata

Arista Atmadjati, CNBC Indonesia
27 December 2022 15:50
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati merupakan Dosen Manajemen Transportasi Udara, Universitas International University Liason Indonesia (IULI), BSD, Banten. Ia juga menjabat sebagai Chairman Aviation School AIAC dan dikenal sebagai pengamat penerbangan... Selengkapnya
Calon penumpang mengantri check-in tiketin di Terminal 3 Bandara Soetta, Jakarta, Kamis, (28/4/2022). Empat hari jelang hari raya Idul Fitri, Bandara Soekarno Hatta dipadati pemudik sejak pagi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Suasana Bandara Soetta, Jakarta, Kamis, (28/4/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Beberapa waktu lalu, Badan Kebijakan Transportasi Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan melakukan survei terkait potensi perjalanan masyarakat saat libur Natal dan Tahun Baru. Dari 30.606 responden, sebanyak 38,4% responden memilih tidak melakukan perjalanan saat libur Nataru karena tidak ada biaya.



Kepala Bakertrans Balitbanghub Kemenhub I Gede Pasek Suardika menjelaskan, faktor dominan yang mendasari masyarakat ingin melakukan
mudik Nataru ialah ekonomi yang mendukung, kondisi pandemi Covid-19 yang mereda, serta adanya cuti bersama.

Bakertrans Balitbanghub Kemenhub juga menyebutkan, secara umum di Tanah Air, potensi pergerakan pada libur Nataru tahun ini, yaitu 16,35% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 44,17 juta orang.

Pada kesempatan yang lain, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memprediksi 85 Juta orang mudik Lebaran periode yang lalu, baik itu masyarakat memilih laut transportasi darat (mobil sendiri, kereta api dan bus antarkota), laut (kapal laut), dan udara (pesawat).

Setelah bisnis maskapai niaga Indonesia domestik dihajar pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, saya ingat waktu itu passenger load factor pesawat hanya di bawah 30% selama tahun 2020. Kemudian jumlah armada pesawat hanya tersisa 40% dari full team 900 pesawat.

Sungguh berat hantaman pandemi Covid-19. Namun berkat berbagai langkah pemerintah, termasuk penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kondisi pandemi kian membaik.

Saat ini, Indonesia menerapkan PPKM level 1 dan ada indikasi dari Presiden Joko Widodo kalau pemerintah akan mencabut PPKM.

Menurut analisis saya, geliat bisnis maskapai di Indonesia, utamanya domestik, sebenarnya mulai menggeliat. Sayang, jumlah pesawatnya saja yang sedikit berkurang, utamanya Garuda Indonesia per Januari tersisa 37 pesawat dari biasanya full team ada 151 pesawat.

Maskapai-maskapai lain juga menyusut seperti Sriwijaya Air dan NamAir. Tapi seperti kata pepatah yang bijak, di balik kesulitan tentu
ada kemudahan dan cahaya kesempatan. Di sinilah letak kejeniusan jiwa bisnis maskapai diuji.

Benar saja, saat pandemi Covid-19 yang lalu ternyata ada blessing di mana telah lahir beberapa maskapai baru yang melihat masa depan bisnis transportasi udara secara jitu. Misalnya Super Air Jet milik Lion Group, Pelita Air milik Pertamina, dan Trans Nusa yang berganti armada bukan turbo propeller Airbus A321.

Bahasa kerennya ini langkah berani sekaligus jenius menyongsong era baru bisnis penerbangan domestik. Beberapa kali saya berdiskusi dengan para stakeholder maskapai di Indonesia, kesimpulannya persoalan maskapai di Indonesia bukanlah akibat demand yang rendah.

Namun, persoalan yang dihadapi adalah kesehatan dan syarat yang rumit untuk naik pesawat. Buktinya begitu persoalan Covid-19 membaik, keadaan pun membaik.

Saya pernah diskusi dengan petinggi-petinggi maskapai terbesar dalam negeri, Lion Air Group. Total saat ini mereka sudah memiliki 300an pesawat, mulai dari ATR 72 turbo propeller sampai dengan wide body Airbus AB330.

Jumlah itu belum termasuk armada Malindo Air di Malaysia dan Lion Thai di Bangkok. Bisa jadi armada group sudah bisa mencapai lebih dari 350 pesawat.

Hitung-hitungan saya, Lion Air Group sudah sebesar Ryan Air di Eropa. Namun ada tantangan jika tarif dikerek di level tarif batas atas plus surcharge 10%.

Namun kalau melihat daya beli masih tinggi, menurut data dari BPS, Bakertrans Balitbanghub Kemenhub, dan Otoritas Bandara Soekarno-Hatta, yaitu AP II tentang permintaan seat di peak season Nataru, nampaknya masyarakat sudah rindu liburan setelah dikungkung dua tahun gara-gara Covid-19.

Uang yang ditaruh di bawah bantal selama dua tahun seakan dilepas untuk membeli tiket liburan saat ini dengan naik pesawat dan hotelnya tentu. Ya secara demografi di Pulau Jawa saja, kalau ada potensi masyarakat yang mau liburan ada 30 juta, sudah cukup untuk dunia bisnis maskapai
melakukan rebound market paling tidak untuk bulan Desember 2022 dan Januari 2023.

Perbaikan cash flow maskapai terjadi di bulan November 2022 karena pembelian tiket sudah dilakukan. Ini karena masyarakat berharap bisa memperoleh harga tiket lebih murah sebelum liburan sekolah 20 Desember 2022.

Dengan data-data empiris yang ada, di mana traffic penumpang mulai membaik perlahan sejak Januari 2022 sampai dengan Desember 2022 ini, saya optimistis bisnis penerbangan domestik tanah air mulai melakukan turn around dan rebound, semoga.

Satu yang terpenting saat ini di tengah musim hujan adalah selalu menjaga level keamanan dan keselamatan. Selamat terbang dan berlibur, kemudian pulanglah ke rumah dengan selamat.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation