Sebaiknya, Terminal Penumpang Pelindo Diapakan Ya?

Siswanto Rusdi, CNBC Indonesia
10 October 2022 11:00
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarja.. Selengkapnya
Ratusan penumpang turun dari Kapal KM. Nggapulu di Kawasan Dermaga Terminal Penumpang Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (26/4/2021). Mereka merupakan penumpang yang berasal dari Sulawesi Tenggara dan Maluku yang melakukan mudik lebih awal untuk tujuan Jakarta. Kapal Pelni KM Nggapulu tiba di Pelabuhan Tanjung Priok Priok sekitar pukul 15.30. Banyknya penumpang kapal yang keluar membuat para petugas kepolisian satgas Covid-19 harus memperingati agar menjaga jarak. Pantauan CNBC Indonesia kegiatan mudik masih normal seperti biasa tidak adanya persyaratan apapun ketika sampai Dermaga Tanjung Priok.   (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Penggabungan empat PT Pelabuhan Indonesia setahun lalu telah melahirkan empat anak usaha atau subholding yang terdiri dari subholding peti kemas, multiterminal, jasa maritim dan solusi logistik. Pengelompokan ini mengacu kepada bidang usaha yang secara tradisional telah dilakukan sekian lama oleh empat Pelindo yang kini sudah menjadi tunggal itu. Hanya saja, subholding solusi logistik merupakan ladang usaha termuda di antara yang ada. Ia dijadikan anak usaha tersendiri sepertinya karena dalam sepuluh tahun belakangan pemanfaatan teknologi informasi dalam bisnis pelabuhan makin intens.



Ada satu lagi bidang usaha yang juga tergolong tradisional - lebih dahulu dibanding usaha solusi/teknologi informasi - namun ia tidak dijadikan subholding oleh Pelindo, yaitu terminal penumpang. Fasilitas ini dapat dijumpai di semua pelabuhan yang dikelola oleh perusahaan pelat merah tersebut dan berdiri sejak pelabuhan-pelabuhan itu berdiri. Sekadar bernostalgia, ketika mengikuti ayahanda tugas belajar ke Jakarta dari Pekan Baru, Riau, pada era 1970-an, terminal penumpang Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatra Barat (kami berangkat dari dan pulang ke kampung halaman melalui pelabuhan ini dengan membawa peti kayu berisi pakaian, pecah-belah dan kasur), amat sangat terbatas fasilitasnya.

Sesampai di Pelabuhan Tanjung Priok, kondisi terminalnya setali tiga uang. Setelah tiga tahun mukim di Jakarta dan harus kembali ke Pekan Baru karena ayahanda telah menyelesaikan tugas belajarnya, kami kembali naik KM Tampomas pulang Kota Minyak itu (lengkap dengan bawaan saat datang) kondisi terminal penumpang Tanjung Priok dan Teluk Bayur tidak ada perubahan sama sekali. Persis seperti pertama kali kami merapat di dermaganya. Jujur saja, sebetulnya itu bukanlah terminal penumpang.

Kini, terminal penumpang, khususnya pada pelabuhan utama seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar kondisinya sangat nyaman; ada pendingin ruangan, toilet yang bersih-wangi dan lainnya. Saat mengunjungi Pelabuhan Belawan beberapa tahun lalu, penulis melihat terminal penumpang yang ada malah dilengkapi garbarata.

Ketika merger disiapkan, terminal penumpang memang tidak terdengar, paling tidak di media, akan dijadikan subholding tersendiri. Bahkan, akan ditempatkan di bawah subholding yang mana tidak ada penjelasannya. Setelah penggabungan, terminal penumpang yang ada di pelabuhan-pelabuhan Pelindo dikelola oleh regional. Menurut informasi, kebijakan ini ditempuh nampaknya karena Pelindo ingin terminal penumpang tidak profit oriented tetapi service oriented. Itu artinya, segala fasilitas yang nyaman tadi tidak akan dimasukkan ke dalam harga tiket kapal penumpang yang memanfaatkannya.

Tidak seperti di bandar udara yang mengenakan biaya terhadap pemakaian fasilitas terminal keberangkatan dan kedatangan. Biaya ini dimasukan ke dalam harga tiket pesawat. Pembaca yang acap menggunakan kapal terbang untuk bepergian tentu masih ingat, biaya ini dulunya dibayar terpisah dan dikutip ketika para penumpang akan masuk ke dalam terminal selepas melakukan check-in di konter operator penerbangan.

Kebijakan untuk tidak profit oriented dalam pengelolaan terminal penumpang oleh Pelindo layak diapresiasi. Pilihan ini sudah cocok dengan karakteristik penumpang kapal laut domestik yang sebagian besar merupakan kalangan menengah-bawah. Bila harga tiket mereka ditambahkan dengan biaya penggunaan fasilitas terminal, jelas akan sangat memberatkan. Dari sisi penghasilan, pengguna terbanyak kapal penumpang memang benar-benar masyarakat bawah. Mereka yang sedikit lebih besar penghasilannya dari segmen ini bergeser ke moda kapal terbang karena harga tiketnya murah (low cost carrier).

Di sisi lain, ada beberapa perkembangan yang bisa mempengaruhi keberadaan terminal penumpang. Misalnya, adanya penetapan oleh pemerintah atas destinasi pariwisata maritim. Ada pula kebijakan untuk membuka kembali pelayaran kapal wisata (cruise) yang selama dua tahun lebih disetop akibat wabah Covid-19. Semuanya ini membutuhkan dukungan terminal penumpang yang aman, nyaman dan tertib. Terminal-terminal penumpang yang disebut sebelumnya di atas jelas mampu memberikan itu semua. Bagi pelabuhan yang fasilitasnya belum setara perlu dibenahi sesegera mungkin. Terkait hal ini, ke depan, perlu ada standardisasi fasilitas minimal dan layanan penumpang di seluruh pelabuhan yang disesuaikan dengan jumlah penumpang yang dilayani.

Dan, untuk mempertahankan mutu terminal yang ada serta meningkatkan fasilitas di terminal penumpang yang masih seadanya, Pelindo jelas mesti mengeluarkan uang untuk semua itu. Pengeluaran ini sayangnya tidak dapat diganti melalui pengenaan biaya terminal penumpang karena kebijakannya ada non-profit oriented. Itu artinya fasilitas ini menjadi cost center. Kalau begini terus, lama-lama perusahaan bisa boncos. Bisa jadi BUMN pelabuhan itu punya duit terus buat merawat terminal penumpangnya. Semoga saja.

Tetapi, karena satu dan lain hal, akan tiba masanya model pengelolaan terminal penumpang Pelindo perlu diubah dan konsekuensinya akan diadopsilah kebijakan pengenaan biaya atas pelayanan yang diberikan. Pertanyaannya, bagaimanakah model pengelolaan terminal penumpang itu kelak?

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, terminal penumpang akan di-split dari regional ke subholding. Tetapi dia harus dijadikan entitas berbadan hukum perseroan terbatas terlebih dahulu. Baru kemudian ditempatkan dalam jajaran subholding yang ada. Yang cocok sih SPMT (Subholding Pelindo Multi Terminal). Atau, dapat juga dijadikan anak usaha tersendiri, tidak di bawah subholding tertentu. Program utamanya adalah perbaikan fasilitas dan layanannya di beberapa terminal penumpang agar semakin nyaman bagi penumpang.

Kedua, mengajak pihak ketiga, bisa swasta atau pemda, untuk mengelola terminal penumpang. Tentu saja terminal penumpangnya sudah dikorporatisasi - dijadikan badan usaha PT - sehingga langkahnya dalam membangun kerja sama dengan rekan bisnis yang berminat akan lebih cepat diwujudkan. Ketiga, mengajak serta perusahaan pelayaran seperti PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) sebagai operator kapal penumpang untuk bekerja sama. Selama ini memang penumpang pelayaran inilah dilayani oleh terminal penumpang Pelindo di seluruh Indonesia.

Apapun pilihannya, tergantung Pelindo. Yang jelas bisnis terminal penumpang tidak dapat lagi dipandang dari sudut tradisional. Masyarakat tentu tidak keberatan dikenakan pungutan layanan terminal yang baik dan nyaman seperti pada beberapa terminal penumpang yang sudah dilakukan modernisasi.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation