Babak Baru Perjalanan Garuda Indonesia Setelah PKPU

Arista Atmadjati, CNBC Indonesia
19 September 2022 16:55
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati merupakan Dosen Manajemen Transportasi Udara, Universitas International University Liason Indonesia (IULI), BSD, Banten. Ia juga menjabat sebagai Chairman Aviation School AIAC dan dikenal sebagai pengamat penerbangan... Selengkapnya
A worker walks on a crane as a Garuda Indonesia's aircraft is parked at the Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia, at Soekarno-Hatta International airport near Jakarta, Indonesia, January 21, 2022. REUTERS/Willy Kurniawan
Foto: REUTERS/WILLY KURNIAWAN

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Garuda Indonesia selama paling tidak setahun terakhir ini berkutat dengan masalah utang berjumlah Rp 140 triliun. Hal itu dipaparkan direktur utama perseroan Irfan Setiaputra pada saat focus group discussion (FGD) dengan Fraksi Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 September 2022 yang penulis ikuti. Utang tersebut sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hasil Garuda Indonesia menjalani atau lolos PKPU kepada 400 vendor. Akan tetapi, utang yang paling besar adalah kepada leasing sampai termin 25 tahun.

Melalui tulisan ini, saya mencoba memberikan saran perihal langkah-langkah strategis yang harus diambil Garuda Indonesia ke depan, paling tidak untuk 25 tahun mendatang. Saran-saran ini diharapkan bisa memberikan insight kepada manajemen karena saya 28 tahun bekerja di perusahaan.



Yang pertama adalah masalah disharmoni, terutama hubungan antara karyawan udara dan karyawan darat selama bertahun-tahun. Utamanya sejak 5 tahun lalu, di mana sejak diimplementasikan GHA (guaranteed hours allowance). Jadi, seorang pilot jika terbang maupun tidak terbang, mendapat tunjangan tetap sebesar Rp 25 juta, walaupun sekarang sudah dipotong. Untuk gaji saja, pilot sudah tertinggi di Indonesia.

Dahulu, pesawat yang terbang berjumlah 150 unit, sedangkan sekarang hanya 37 unit. Sehingga kebijakan itu sudah tidak relevan. Pilot banyak yang jarang terbang tapi tertolong dengan GHA tersebut. Itu yang membuat karyawan darat demotivasi. Apabila itu dibiarkan bisa membawa roda kerja organisasi Garuda Indonesia menjadi tidak harmonis. Pekerjaan di udara juga didukung oleh orang-orang darat yang notabene kebanyakan sarjana bahkan banyak yang S2 dari beberapa universitas ternama di Indonesia. Banyak dari mereka yang kecewa dengan keputusan kawan-kawan yang ada di udara tanpa memperlihatkan simpati kepada pegawai di darat.

Disharmoni itu kalau dibiarkan akan sangat bahaya karena jalannya Garuda dalam menyongsong PKPU akan tertatih-tatih. Ibarat mesin harusnya masuk gigi 5, ini hanya gigi 2. Lambat dan mesin cepat panas karena sering terjadi friksi. Cepat panas karena kecemburuan fasilitas. Kita sendiri tahu bahwa sekarang banyak friksi di luar organisasi, katakanlah asosiasi-asosiasi yang ada di Garuda yang tiga tahun yang lalu berhubungan sangat erat, sekarang tidak harmonis.

Jeleknya hubungan tersebut sudah terpublikasikan di media, dibaca masyarakat Indonesia, dan sudah menjadi rahasia umum. Ini juga mengganggu karena kebanyakan asosiasi-asosiasi itu separuh anggotanya pegawai udara dan separuhnya pegawai darat. Dan ini saya amati terjadi sejak 5 tahun lalu, utamanya sejak era kebijakan GHA. Walaupun dulu ada asosiasi yang merapat ke pegawai udara yang jelas-jelas jenis pekerjaannya berbeda. Kebanyakan asosiasi-asosiasi yang ada di Garuda Indonesia ini semuanya ada motif memperjuangkan misi pribadi. Ini yang harus dirombak.

Yang kedua adalah masalah pemotongan cost. Saya pernah diskusi dengan pilot Garuda Indonesia yang sangat senior. Menurut dia, antarjemput pilot hingga awak kabin itu hanya ada di maskapai Garuda Indonesia dan Nigeria Air. Sedangkan maskapai ternama seperti Etihad Airways, Qatar Airways, hingga Fly Emirates, itu tidak dilakukan antarjemput pilot hingga awak kabin.

Garuda Indonesia memiliki anak perusahaan transportasi yang armadanya yang disewakan ke Garuda Indonesia. Di dalam bisnis, usaha antarjemput ini disebut insider trading. Ini tidak sehat. Sebagai contoh satu kendaraan yang disewakan untuk umum tanpa bensin tanpa sopir itu kalau disewakan Rp 5 jutaan. Jumlah unit kendaraan yang disewakan kepada awak kabin Garuda Indonesia itu ada 200 unit. Mungkin kalau plus supir, plus bensin, plus harga sewa mobil, itu bisa sampai Rp 15 juta. Apabila dikalikan 200, dalam satu bulan, maka jumlahnya sudah Rp 3 miliar. Sedangkan setahun atau dikalikan 12 bulan menjadi Rp 36 miliar.

Bisnis antarjemput itu sangat besar dari sisi biaya dan seharusnya bisa dipotong. Di sisi lain, Citilink sebagai anak perusahaan sendiri tidak memiliki fasilitas antarjemput pilot dan awak kabin. Kalau mau, cari market di luar Garuda Indonesia alias persaingan murni sehingga bisa menambah pendapatan perseroan.

Masalah ketiga adalah terbentuknya kelompok-kelompok. Saya masuk tahun 1990. Kelompok-kelompok itu banyak diwarnai oleh sukuisme atau kaukus hingga saat ini. Katanya maskapai bintang 5 tapi masih terjadi masalah kaukus ini. Jika Garuda Indonesia mengeklaim sebagai maskapai internasional, isu kaukus ini sangat tidak bermutu untuk kelas maskapai internasional.

Masalah keempat adalah keikutsertaan dalam aliansi global. Aliansi global itu ada tiga, yaitu One World, SkyTeam, dan Star Alliance. Sedangkan garuda ikut serta dalam SkyTeam bersama KLM, Korean Air, Vietnam Air, Delta air. Aliansi One World rata-rata maskapai dari negara persemakmuran (commonwealth) antara lain British Airways, Qantas, Cathay Pacific, dan Malaysia Airlines. Di dalam Star Alliance ada Singapore Airlines, Thai Airways, dan lainnya.

Bergabungnya Garuda Indonesia ke dalam aliansi SkyTeam ini tidak gratis. Tujuan Garuda bergabung adalah untuk mencari penambahan sumber pendapatan dan branding. Akan tetapi, informasi yang saya dapatkan dari internal, pendapatan yang didapat Garuda dengan bergabung dengan SkyTeam itu tidak lebih dari 5%. Tapi, setelah saya selidiki, biaya aliansi dalam setahun itu tidak pernah ada angkanya atau disembunyikan. Saya mengindikasikan antara biaya dan pendapatan yang dihasilkan Garuda Indonesia dengan bergabung ke dalam SkyTeam itu tidak relevan atau kecil.

Ikut serta ke dalam aliansi itu hanya menghamburkan uang. Buat apa? Toh, Garuda Indonesia dengan 37 pesawat tidak akan berkutik untuk terbang ke luar negeri. Hanya tinggal Jepang, Australia, Singapura, Malaysia, China dan beberapa charter. Seharusnya, biaya-biaya itu bisa dialihkan sebagai tambahan kesejahteraan atau tambahan fasilitas kantor mengingat kantor Garuda Indonesia sekarang ini semakin mengecil. Jadi bagaimana memberikan kenyamanan bekerja jadi bisa diambilkan dari biaya bergabung dengan SkyTeam.

Untuk branding, Garuda Indonesia bisa mempercayakan ke lembaga pemeringkat Sky Track yang ada di London. Peringkat Garuda Indonesia sebagai maskapai bintang lima sudah sangat bagus, sering mendapat award, di mana tujuh kali mendapat award best cabin crew, best economic class. Jadi kalau mencari branding, sudahlah kita relay dari Sky Track. Ini lebih fair dari pada join ke SkyTeam karena itu hanya buang-buang uang.

Masalah-masalah tersebut di atas yang harus segera diselesaikan oleh Garuda Indonesia. Saran saya untuk strategi ke depan, perusahaan harus konsentrasi ke pasar domestik mengingat ada 275 juta penduduk Indonesia. Sedangkan yang baru naik pesawat domestik baru 100 juta. Itu artinya ada sisa 175 juta yang bisa digarap. Bisa juga berkonsentrasi ke pasar korporasi, pasar middle up ke atas, juga konsentrasi ke LCC, pengembangan pasar kargo mengingat bisnis logistik berkembang pesat. Beberapa pesawat mungkin bisa diubah menjadi freighter. Selama ini ada izin dari Kementerian Perhubungan. Mungkin anak perusahaan Citilink bisa diperbanyak yang dikonversi ke kargo.

Yang kelima adalah mensinergikan antara Garuda Indonesia Group dengan anak perusahaan dan cucu perusahaan. Anak cucu perusahaan Garuda Indonesia banyak yang besar-besar. Garuda Indonesia punya yang besar, seperti GMF, AeroWisata, AeroFood, Citilink. Etos kerjanya harus menyesuaikan, kecepatan kerjanya sesuai dengan Garuda Indonesia. Satu irama itu tentu bagus. Kelemahan Garuda Indonesia itu sekarang harusnya punya corporate culture.

Corporate culture adalah disain untuk bekerja bagi seluruh karyawan Garuda Indonesia Group. Saya ingat pada tahun 1990an, ada corporate culture yang dinamakan 10 Manusia Garuda. Yang saya ingat dari 10 Manusia Garuda diantaranya setiap karyawan Garuda harus mahir berbahasa Inggris sesuai misi sebagai maskapai internasional. Lalu ada corporate culture yang dibuat oleh direktur 10 tahun lalu dinamakan Fly Hi di mana H adalah HONESTY, dan I adalah CUSTOMER TOTALITY. Konsepnya bagus sehingga karyawan ada acuan untuk bekerja cuma. Akan tetapi, corporate culture itu dirusak oleh CEO sendiri.

Corporate culture itu menurut saya antara dua sisi mata uang. Berguna dan tidak berguna, tapi lebih baik ada. Pakai Bahasa Indonesia saja seperti era saya pada tahun 1990an. Seperti 10 karakter Manusia Garuda, gampang itu kalau diingat. Jadi karyawan itu dalam bekerja ada petunjuk. Kalau sekarang ini kan maunya versi sendiri, versi unit, versi setiap direktur masing-masing.

Masalah keenam adalah sistem birokrasi. Saya dengan direktur sekarang dan tim PV ke bawah di divisi humas itu baik. Tidak bermasalah. Kalau kita berhubungan dengan anak dan cucu perusahaan itu minta ampun berbelit-belit dan sangat sulit untuk dihubungi. Kebetulan saya itu vendor kecil, vendor UMKM. Tapi justru ketika berhubungan dengan pejabat anak perusahaan atau cucu perusahaan itu tidak berubah sejak saya masuk tahun 1990.

Kita sebagai vendor juga tahu aturan di mana kita mempunyai badan hukum, diseleksi procurement, diseleksi badan legal. Kita semua oke. Akan tetapi, banyak anak cucu perusahaan yang tidak komit. Kita sebagai vendor itu tidak memaksa untuk disetujui, yang penting dijawab. Ini pekerjaan dijalankan terus atau tidak. Bahasa sederhananya kebiasaan anak cucu Garuda Indonesia itu menggantung, dibantarkan, tidak ada keputusan. Ini sudah pada taraf yang sangat menjengkelkan.

Saya pun pernah memasukkan sebuah pekerjaan kecil, nilainya di bawah Rp 50 juta di GMF. Tapi, salah satu direkturnya cepat mengambil keputusan bahwa kondisi di GMF masih banyak tunggakan, masih banyak maskapai yang belum melunasi. Ya sudah, saya cuma diskusi selama tiga menit saya langsung mengundurkan diri. Maksud saya begitu, jangan digantungkan dan kalaupun sudah jalan pekerjaan di divisi bawahnya banyak sekali menghambat.

Jadi mohon sekali. Kasihan BOD Garuda Indonesia yang sekarang. Mereka juga mendapat pendapatan dari Garuda Indonesia Group. Tidak hanya Garuda Indonesia, dia membawahi anak dan cucu perusahaan. Ini mungkin peringatan saya yang paling keras. Terus terang bahwa birokrasi yang suka menggantungkan, membantarkan pekerjaan di anak cucu perusahaan Garuda Indonesia, masih terjadi.

Akhir kata kata, saya mendoakan semoga perjalanan Garuda Indonesia ke depannya lancar setelah lolos PKPU. Semoga...


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation