Merajut Asa Pertumbuhan Ekonomi & Rancangan APBN 2025

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Beberapa waktu belakangan, media-media nasional mewartakan beberapa bandara kecil di Pulau Jawa sepi penerbangan dan penumpang. Bandara-bandara itu antara lain Bandara Jenderal Sudirman di Purbalingga, Bandara Ngloram di Cepu, dan bandara-bandara kelas ATR seperti bandara di Tasikmalaya dan juga di Cirebon. Untungnya bandara di Cirebon disewa oleh sekolah pilot Lion Air. Akan tetapi untuk komersial sepertinya tidak ada. Sama halnya dengan bandara di Jember di mana dulu Jember dikenal sebagai kantung tenaga kerja Indonesia, kantung umrah. Sekarang juga tidak ada. Demikian juga dengan bandara di Banyuwangi yang sekarang sepi.
Di luar pulau Jawa, beberapa bandara yang saya pantau seperti 7 bandara yang ada Maluku Utara, yang 'hidup' hanya di Ternate saja. Ada satu bandara yang diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu bandara Kuabang Kao di Kota Jailolo, itu juga sekarang hampir tidak ada penerbangan dan sudah ditumbuhi alang-alang. Padahal itu baru diresmikan setahun yang lalu. Padahal bandara itu bisa digunakan untuk Boeing 737-800 milik Sekretariat Presiden pada waktu peresmian.
Potensi ternate sebetulnya untuk ekspor ikan tuna dan wisata maritim. Potensi-potensi tersebut bisa dijembatani oleh bandara di kota Ternate dan bandara Kuabang Kao. Belum lagi pulau-pulau yang di Maluku Utara yang sepi aktivitas, seperti bandara di kota Sanana, lapangan terbang Miti, apalagi di kota-kota kabupaten yang dulu dioperasikan oleh maskapai Susi Air di sana ada usaha pertambangan emas PT NHM. Saya kurang tahu yang di NTT dan NTB, mungkin ada bandara yang tidak beroperasi.
Kalau kita analisis seperti sampel bandara di pulau Jawa, sekarang mungkin tutup. Yang kemarin saja yang di tepi Jakarta, tepatnya di Pondok Cabe, dalam trial selama dua minggu oleh Wings Air menuju Cepu dan Purbalingga itu gagal. Penumpangnya hanya 4-5 penumpang dari kapasitas 70 penumpang. Jelas ini merupakan kerugian.
Seperti ada gagasan untuk membangun bandara di Sukabumi pakai dana APBN. Lalu bandara Doho di Kediri yang dibiayai oleh PT Gudang Garam. Saya rasa untuk Pulau Jawa sudah cukup, tidak perlu dibangun lagi. Karena apa? Akses jalan tolnya bagus, baik jalan tol via Pantura, jalur tengah dan selatan sudah bagus. Lebih baik alokasi dananya dialihkan untuk yang lain. Seperti misalnya dialihkan untuk sektor pendidikan.
Tidak perlu lagi ada pembangunan bandara baru di Pulau Jawa karena kereta api dan bus malam sudah bagus, bahkan ada sleeper deck. Bus malam mulus karena jalan tolnya memungkinkan untuk melintasi all the way by tol seperti Malang-Jakarta yang baru diresmikan.
Lalu bagaimana dengan bandara-bandara kecil di luar pulau Jawa yang sudah terlanjur dibangun? Saya pernah 3,5 tahun di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di sana juga banyak bandara-bandara kecil yang bahkan kelas grand caravan, seperti bandara di kota Muara Teweh, Puruk Cahu, Seruyan, dan bandara di kabupaten Gunung Mas. Apakah masih ada penerbangan di sana? Sepertinya ada tanda tanya besar. Mengingat kekuatan Susi Air juga armadanya tidak normal, sudah banyak susut.
Dasar persoalannya itu adalah harga avtur yang biasanya memegang 40% komponen cost. Sekarang menurut keterangan yang saya peroleh, komponen itu sudah meningkat dari 40% menjadi 60%. Ini masih di atas US$ 100 per barel di mana biasanya US$ 63, maskapai membajetkan US$63. Harga avtur US$ 100 sudah turun sebetulnya, biasanya US$ 120 dalam setahun.
Tidak hanya harga avtur, kemampuan daya beli masyarakat juga belum normal. Semua masih tertatih-tatih, harga sembako juga naik bergejolak terus, sehingga menjadi kebutuhan tersier, sekunder untuk bepergian dengan transportasi udara. Saat ini perjalanan banyak dilakukan menggunakan kapal laut. Trafik penumpang kapal laut naik di mana buktinya PT Pelni mengalami kenaikan penumpang sebesar 155% sejak harga tiket pesawat mahal. (sumber: www.detik.com)
Tiket pesawat yang mahal disebabkan jumlah armada kurang, turun 50%. Sehingga hukum supply and demand untuk tempat duduk juga tidak berimbang, harga avtur mahal, sewa-sewa supporting seperti ground handling, biaya sewa gudang, parking fee, landing fee, dan navigasi juga naik semua.
Jadi maskapai sebagai unit usaha disuplai oleh komponen biaya supporting-nya yang juga babak belur. Terutama yang di pelosok-pelosok karena tidak banyak pesaingnya atau tidak ada pemainnya.
Dulu saja pada tahun 2019 sebelum Covid-19 maskapai-maskapai di pelosok yang menggunakan grand caravan, turbo propeller, yang beroperasi hanya satu dua maskapai jadi cenderung mahal sudah harganya, tapi dulu belum teriak. Kalau sekarang armadanya kurang, beberapa maskapai propeller juga sudah setengah kolaps, armadanya juga kurang, sehingga jadi tambah runyam. Banyak yang tidak dioperasikan, penumpangnya sedikit sehingga no operation, tidak terbang, dikandangkan pesawatnya karena demand penumpangnya sedikit karena tiket pesawat tidak terbeli.
Ini semua seperti siklus yang mematikan. Semua rantai pasok ke industri penerbangan itu semua naik, sehingga ending-nya harga tiket mahal bahkan rata-rata dua kali lipat. Ya ini berita bagus turun 15% tapi turun dari harga setelah harga dua kali lipat setelah tarif batas atas, ditambah surcharge, dan ada tambahan lain-lain lagi. Ada beberapa maskapai kecil pemain domestik yang menguasai pasar, tarif batas atas, plus surcharge, malah minta tambahan kenaikan lagi.
Baru per 1 September 2022 ini diturunkan 15%. Menurut saya masih mahal, tapi ya lumayan daripada tidak ada penurunan sama sekali, tapi tidak ideal jauh dari ideal. Tapi ya semua usaha ingin segera pulih setelah pandemi ini. Ada pergerakan pertumbuhan penumpang, semua industri maskapai dan industri pendukungnya ingin cepat rebound melakukan pemulihan. Nah ini problemnya.
Solusinya ini kan ada keinginan harga tiket turun. Tapi komponen harganya tidak hanya maskapai, tapi didukung oleh industri lainnya. Ya industri lainnya jangan terburu-buru menaikkan dengan fantastis. Bicara dengan maskapai karena endingnya kalau maskapai sepi, banyak bandara yang hidup segan mati tak mau. Otoritas bandara juga pendapatannya minim, akhirnya berantakan semua. Jadi duduklah semua stake holder di penerbangan, maskapainya, bandaranya, ground handling-nya, AirNav, sewa gudangnya, itu kumpullah, cari terobosan-terobosan.
Profit tetap harus ada, tapi jangan terlalu memaksakan dulu. Karena kalau mati semua, semua tidak dapat apa-apa. Kalau semua tidak bergerak, maskapai tidak gerak, tidak ada penumpang yang naik. Ya percuma juga bandara juga tidak mendapatkan pendapatan, AirNav juga tidak ada traffic yang bisa dikenai charge, perusahaan ground handling juga pesawat yang di-handle turun drastis.
Kalau maskapai atau tiket tidak terbeli, pasti semua industri pendukungnya hancur. Jadi menurut saran saya segeralah mengadakan koordinasi, bermusyawarah masing-masing industri baik maskapai maupun industri pendukung, dicari formula yang paling minim. Yang bisa memberikan profit, kalau BEP (break even point) jangan dululah, tapi profit walaupun sedikit, itulah yang penting.
Percayalah karena ini hanya sementara dan potensi Indonesia itu mempunyai 30 bandara yang dikelola AP I dan AP II. Belum lagi bandara-bandara kecil mungkin data yang himpun itu, di Indonesia ada 120 bandara baik dalam skala internasional, sedang, dan kecil atau lapangan terbang.
Jadi semua menahan diri. Kenaikannya itu jangan lepas kendali, semua harus hidup karena kita memiliki potensi kekayaan yang luar biasa. Rakyat Indonesia itu 275 juta, yang naik pesawat itu belum tentu dalam setahun itu satu orang naik pesawat. Data saya himpun dari lembaga survey CAPA dari Australia disebutkan persentase orang Indonesia naik pesawat itu baru 0,48 %. Artinya belum tentu satu orang penduduk itu naik pesawat dalam setahun.
Jika satu orang penduduk naik pesawat berarti ada 275 juta orang naik pesawat dalam setahun. Sedangkan sekarang domestik itu kalau normal sekitar 100 juta hingga 110 juta. Setelah pandemi ini, target pemerintah hanya 75 juta per tahun. Jadi ruang potensi masih banyak, bandara kita banyak, kota kita itu kota kepulauan. Jadi kalau naik kapal laut itu orang sudah pasti terpaksa karena tiket pesawat sudah tidak terbeli. Singapura itu data penduduknya satu orang penduduknya lima kali naik pesawat dalam setahun. Malaysia jumlah penduduk naik pesawat itu tiga kali dalam setahun. Australia itu 3,5 kali dari jumlah penduduk. Sekali lagi patut dicatat, potensi jumlah penumpang di Indonesia itu masih bisa digarap ke depannya.