Mitigasi Risiko Dugaan Suap Dalam Dunia Pendidikan Tinggi RI

Kurniawan Budi Irianto CNBC Indonesia
Selasa, 23/08/2022 10:55 WIB
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pend... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi tahanan KPK. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap penyelenggara negara. Kali ini yang menjadi korban adalah Rektor Universitas Lampung Karomani. Citra dunia pendidikan pun tercoreng mengingat pelaku merupakan sosok dari kalangan akademisi. Dalam keterangan persnya, KPK menyatakan modus yang digunakan pelaku adalah mematok tarif tertentu agar lulus seleksi jalur mandiri di kampus yang dipimpin oleh rektor tersebut. Dari publikasi yang beredar, kursi jalur mandiri dipatok dengan tarif tertentu dan sebagian kontribusi dari mahasiswa tersebut mengalir ke tangan rektor.

Setiap ASN pasti akan paham dan hafal di luar kepala mengenai perilaku koruptif. Sosialisasi mengenai pencegahan tindak pidana korupsi rutin dilakukan di setiap unit pemerintah. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan tindak pidana korupsi terdiri atas tiga unsur dan bersifat kumulatif. Ketiadaan salah satu unsur menjadikan tindakan yang dilakukan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Ketiga unsur tersebut adalah melawan hukum; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.



Kembali pada kasus OTT terhadap sang rektor yang baru saja terjadi. Pada kasus tersebut, KPK mudah menjerat tersangka dengan pasal tindak pidana korupsi karena unsur-unsurnya terpenuhi secara kumulatif. Titik fokus unsur terletak pada adanya tindakan melawan hukum, yaitu pemberian tambahan penghasilan tanpa didasari ketentuan yang berlaku.

Pemberian tambahan penghasilan bagi institusi pemerintah tunduk pada aturan baku yang memayunginya. Pada lingkup perguruan tinggi, regulasi tentang pemberian tambahan penghasilan bergantung dengan status kelembagaan perguruan tinggi tersebut.

Pada perguruan tinggi dengan status sebagai satuan kerja (satker) PNBP atau BLU, kewenangan pemberian tambahan penghasilan berada di luar satker bersangkutan. Pemberian tambahan penghasilan bagi perguruan tinggi berbentuk satker PNBP diatur melalui peraturan presiden tentang tunjangan kinerja. Tambahan penghasilan lain diberikan dalam bentuk honorarium berdasarkan standar biaya masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pemberian tambahan penghasilan dalam bentuk lain dimungkinkan selama merupakan turunan dari sebuah peraturan perundang-undang. Pada satker BLU, pemberian tambahan penghasilan ditetapkan dalam bentuk keputusan menteri keuangan (KMK) tentang remunerasi pada BLU.

Ketentuan serupa berlaku juga pada BUMN. Menteri BUMN melalui Permen BUMN Nomor PER-13/MBU/09/2021 menetapkan panduan mengenai penghasilan bagi direksi pada BUMN. Dalam regulasi tersebut disebutkan besaran gaji untuk direksi BUMN ditetapkan oleh menteri atau RUPS. Selain besaran gaji, jenis penghasilan yang diterima oleh direksi juga dibatasi seperti yang tercantum dalam lampiran permen dimaksud.

Pada kedua status kelembagaan di atas, yaitu unit pemerintah dan BUMN, terdapat sebuah benang merah pada peraturan mengenai pemberian penghasilan. Bahwa pihak penerima manfaat berposisi "lebih rendah" dibandingkan dengan pihak yang memberikan manfaat. Menteri BUMN/RUPS sebagai pihak yang menetapkan penghasilan direksi BUMN berposisi lebih tinggi dibandingkan dengan direksi BUMN. Begitu juga menteri keuangan yang menetapkan remunerasi bagi satker BLU berposisi lebih tinggi dibandingkan dengan satker BLU itu sendiri. Pemisahan kewenangan antara pemberi dan penerima manfaat merupakan sebuah mekanisme check and balance yang berlaku secara umum di berbagai sektor.

Apakah hal serupa juga terjadi di entitas di luar pemerintah? Konsep check and balance berlaku luas. Pada perusahaan swasta berlaku hal serupa. Bahwa direksi atau pimpinan perusahaan tidak memiliki kewenangan menetapkan penghasilan sendiri. Pemiliklah yang berhak menetapkan berapa besaran penghasilan yang diberikan bagi direksi. Terkecuali perusahaan tersebut merupakan perusahaan perseorangan di mana sang pemilik sekaligus merupakan direksi bagi perusahaan yang dimilikinya. Sah-sah saja kalau kemudian kewenangan tersebut berada pada satu tangan.

Mekanisme pemberian penghasilan di BUMN dan instansi pemerintah merupakan panduan untuk menilai apakah penghasilan yang diterima merupakan tindakan melawan hukum atau tidak. Apabila pemberian penghasilan berdasarkan ketentuan hukum yang sahih maka unsur melawan hukum menjadi gugur. Sebaliknya apabila pemberian tambahan penghasilan bukan berdasarkan sebuah peraturan yang mengamanatkan atau bukan merupakan delegasi kewenangan dari sebuah peraturan perundang-undangan maka penerimaan tambahan penghasilan dapat dikategorikan unsur melawan hukum dan memperkaya diri sendiri.

Penegak hukum secara otomatis tinggal membandingkan jenis dan besaran penghasilan yang diterima, apakah sesuai dengan aturan yang memayunginya atau tidak. Akan menjadi sebuah permasalahan apabila apa yang diterima berbeda dengan jenis atau besaran dari ketentuan yang berlaku. Bagaimana apabila kewenangan pemberian penghasilan berada pada rektor tersebut? Merupakan sebuah dilema yang mungkin terjadi karena sang rektor akan mengemas uang yang diterimanya agar menjadi "legal". Rektor tinggal mengemasnya dalam bentuk honorarium yang jenis dan besarannya ditetapkan melalui keputusan yang ditandatangani sendiri.

Ketika kasus tersebut terjadi, perguruan tinggi dimaksud sedang berproses untuk alih status dari BLU menjadi badan hukum. Pemerintah mendorong peralihan status semua perguruan tinggi menjadi institusi berbadan hukum. Dengan menjadi institusi berbadan hukum diharapkan mampu menghasilkan kualitas pendidikan bermutu di negeri ini. Untuk mewujudkan cita-cita kualitas pendidikan tinggi yang bermutu, PTN BH diberikan otonomi seluas-luasnya baik di bidang akademik maupun nonakademik. Rektor merupakan penentu kebijakan tertinggi yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan kampus.

Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati atas kewenangan yang diberikan terutama untuk otonomi di bidang non akademik. Seorang rektor pada PTN BH memiliki kewenangan menetapkan jumlah kelas mandiri, menetapkan kontribusi bagi mahasiswa kelas mandiri, serta kewenangan untuk menggunakan pendapatan yang diterima dari jalur mandiri termasuk untuk penambah penghasilan pegawai. Apa yang mungkin terjadi? Rektor bisa saja mengambil jalan pintas berupa penerbitan surat keputusan untuk menambah penghasilan dari kontribusi jalur mandiri. Dan seandainya hal tersebut dilakukan maka tuduhan suap menjadi batal. Unsur melawan hukum tidak terpenuhi diakibatkan terbitnya surat keputusan mengubah hal yang tadinya melawan hukum menjadi sesuai dengan ketentuan.

Terhadap risiko yang mungkin terjadi, pemerintah perlu meninjau kembali frasa otonomi seluas-luasnya khususnya terkait bidang nonakademik. Apakah otonomi yang diberikan benar-benar tanpa batas atau ada koridor tertentu yang membatasinya. Seandainya otonomi nonakademik merupakan sesuatu hal yang tanpa batas dan tidak bisa ditawar lagi maka kasus serupa menjadi sesuatu hal yang tak tersentuh hukum. Rektor memiliki kewenangan untuk membungkusnya praktik tersebut melalui penerbitan keputusan rektor yang mengesahkan penambahan penghasilan dari sumber jalur mandiri.

Namun apabila pemerintah ingin mewujudkan tata kelola non akademik (khususnya di bidang keuangan) yang meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan maka ada beberapa kebijakan yang bisa dipilih.


1. 1. Alternatif pertama berupa pemisahan kewenangan yang dipegang rektor. Mana yang harus dipisahkan apakah kewenangan menetapkan besaran kontribusi yang dicabut atau kewenangan memberikan tambahan penghasilan bagi rektor maupun pejabat/pegawai di bawah rektor yang dialihkan ke pihak lain di luar perguruan tinggi. Pemisahan kewenangan merupakan praktik yang berlaku umum agar terdapat mekanisme saling uji check and balance.

2. 2. Alternatif kedua adalah pemerintah memberikan pedoman baku mengenai penghasilan bagi rektor dan komponen penghasilan yang bisa diterima oleh rektor serta menetapkan besaran penghasilan rektor. Pembatasan jenis penghasilan yang dapat diterima oleh rektor merupakan cara untuk mengurangi kemungkinan penggunaan pendapatan dari kelas mandiri untuk penambahan penghasilan dengan munculnya komponen-komponen baru untuk menambah penghasilan.

3. 3. Alternatif ketiga seandainya otonomi kampus merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat dikurangi sedikitpun maka menjadi entitas di luar pemerintah tanpa kontribusi dari APBN adalah hal yang tepat. Dengan melepaskan diri dari APBN/APBD maka institusi pendidikan akan berada di luar dari konteks "keuangan negara" sekaligus juga di luar konteks "penyelenggara negara". Apapun tindakan yang diambil menjadi merupakan hal yang legal.

Kita semua sepakat bahwa peningkatan mutu pendidikan tinggi memang harus didorong melalui pemberian otonomi bagi kampus, termasuk dalam sisi perbaikan penghasilan bagi tenaga pendidik. Namun kita juga tidak boleh mengabaikan potensi kelemahan regulasi yang memungkinkan terjadinya tindak pidana korupsi. Menjadi sebuah hal yang memalukan apabila praktik koruptif masih terjadi dan menimpa pada sosok yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat luas.


(miq/miq)