Khudori
Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), dan peminat masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi. Telah menghasilkan lebih 1000 artikel/paper, menulis 6 buku, dan mengeditori 12 buku. Salah satu bukunya berjudul ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008).

Profil Selengkapnya

Alarm Krisis Pangan

Opini - Khudori, CNBC Indonesia
01 August 2022 14:50
Ilustrasi (Photo by TymurKhakimov via pexels) Foto: Ilustrasi gandum (Photo by TymurKhakimov via pexels)

Alarm krisis pangan kembali berbunyi nyaring. Kekhawatiran itu bukan hanya disuarakan oleh sejumlah lembaga internasional, di dalam negeri Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga berulangkali memperingatkan para pembantunya dan kepala daerah agar waspada dan mengantisipasi krisis pangan. Oleh lembaga internasional, ihwal genderang krisis pangan berkali-kali disampaikan. Yang terbaru, OECD dan PBB (29/6/2022) memperkirakan ada tambahan 19 juta orang kekurangan gizi tahun depan jika perang Rusia vs Ukraina berlarut-larut. Pertanyaannya, kapan dan bilamana krisis pangan (global) akut akan terjadi?

Krisis pangan adalah peristiwa multikompleks. Melibatkan banyak faktor. Krisis berbeda dengan gejolak/fluktuasi. Fluktuasi adalah hal biasa dalam dinamika ekonomi, seperti fluktuasi harga pangan. Fluktuasi yang terlalu besar bisa menimbulkan gejala ketidakstabilan (instabilitas), yang apabila terjadi terus-menerus dalam waktu cukup lama dapat mengganggu kesinambungan sektor ekonomi. Krisis atau resesi adalah kondisi saat berbagai langkah pengendalian sudah tak bisa lagi mampu menahan gejolak, yang diikuti kontraksi ekonomi secara menyeluruh (Prasetyantoko, 2011). Dari sini, krisis pangan bisa dimaknai kekurangan pangan berkepanjangan dan ekstrem (www.yourdictionary.com).



Tak harus menjadi seorang nujum untuk menebak kapan krisis pangan terjadi. Dari dua krisis pangan terdekat, yakni pada 2008 dan 2011, bisa diketahui ciri-ciri untuk mengidentifikasi faktor-faktor pemicunya. Dari dua krisis pangan itu setidaknya ada tiga faktor yang bisa dicatat.

Pertama, produksi pangan, terutama jenis serealia, merosot yang diikuti ekspektasi penurunan suplai di pasar. Kekeringan berkepanjangan 2007-2008 membuat produksi serealia, terutama gandum, menurun. Banjir dan aneka bencana pada 2011 membuat produksi serealia di sejumlah produsen dan eksportir utama juga turun.

Kedua, negara-negara eksportir utama pangan menutup atau membatasi ekspor. Dihadapkan pada produksi dan suplai di pasar dunia yang tidak pasti, negara-negara ini lebih mementingkan kepentingan domestik ketimbang ekspor. Masalahnya, resep ini seperti penyakit menular: kala satu negara menutup/membatasi ekspor akan ditiru negara lain. Pasar akan panik dan harga meroket. Kenaikan ini tecermin pada indeks harga yang tinggi. Saat krisis pangan 2008 indeks harga pangan FAO melonjak dari 72,6 (2006) jadi 117,5. Sedangkan krisis pangan 2011, indeks serupa naik dari 106,7 (2010) jadi 131,9.

Ketiga, krisis energi yang diikuti konversi besar-besaran pangan untuk biofuel. Tatkala harga BBM fosil di atas US$80/barel, biofuel dari minyak nabati (kedelai, sawit, jagung, tebu, dan yang lain) menjadi kompetitif. Terjadi kompetisi: pangan untuk mengisi perut versus menggerakkan mesin. Dalam banyak kasus, daya beli pemilik mesin lebih kuat. Perebutan itu membuat harga pangan meroket. Harga pangan kian tinggi kala terjadi spekulasi di pasar komoditas. Dana yang semula beredar di pasar saham, uang, dan utang - karena krisis keuangan dan energi - merambah pasar komoditas. Menurut Market Watch (25 Februari 2008), dana yang beredar buat spekulasi saat itu mencapai US$516 triliun. Harga tak lagi riil, tak berhubungan faktor pasokan-permintaan, tapi digerakan spekulasi.

Kenaikan harga pangan sejak akhir tahun lalu membuat indeks harga pangan terus naik. Indeks harga pangan FAO melonjak tinggi sejak Maret 2022: dari 141,1 (Februari) jadi 159,7. Indeks kembali menurun: 158,3 (April), 157,4 (Mei), dan 154,2 (Juni). Indeks ini jauh melampaui krisis 2008 dan 2011. Sebenarnya, Oktober-Desember 2021 indeks sudah melebihi krisis 2008 dan 2011. Krisis pangan tak terjadi karena pada 2021 tak ada penutupan/pembatasan ekspor pangan dalam tempo lama. Faktor krusial krisis pangan akan meledak atau tidak bukan hanya produksi pangan yang menurun, tetapi juga volume pangan yang mengakami penutupan/pembatasan ekspor dan berapa lama waktunya.

Terkait ini, Food Export & Fertilizer Restrictions Tracker bisa jadi alat analisis. Tools ini dikembangkan David Laborde dari IFPRI tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari 2022. Dengan piranti ini, pertanyaan mengapa saat pandemi Covid-19 pada 2020-2021 tak terjadi krisis pangan bisa dijawab. Selain tak terjadi penurunan drastis produksi pangan, pada dua tahun itu juga tidak ada restriksi ekspor pangan yang berkepanjangan. Pada awal 2020 atau awal Covid-19 ada restriksi ekspor pangan, beras oleh Vietnam misalnya. Pada posisi puncak, restriksi dilakukan 20 negara mewakili 7% dari total kalori yang diperdagangkan di dunia. Tapi restriksi hanya berlaku tiga minggu.

Sebaliknya, pada krisis pangan 2008 restriksi ekspor pangan berlangsung setahun (51 minggu). Pada posisi puncak, restriksi dilakukan 18 negara mewakili 16,4% total kalori yang diperdagangkan di dunia. Bandingkan dengan kondisi saat ini. Invasi Rusia ke Ukraina berlangsung lebih lima bulan. Restriksi ekspor pangan jadi pilihan banyak negara setelah muncul ketidakpastian usai invasi. Tapi restriksi ekspor sudah terjadi sejak awal 2022 oleh empat negara. Puncak restriksi terjadi di minggu ke-22 oleh 24 negara yang mewakili 17,1% dari total kalori yang diperdagangkan di dunia. Nah, selama 29 minggu berjalan, rerata kalori yang kena restriksi mewakili 12,37% yang diperdagangan di dunia, jauh melampaui rerata restriksi pangan yang terjadi saat krisis pangan 2008 (10,93%).

Menurut catatan Glauber (2022), ada lima komoditas dominan yang menyumbang hampir 90% dari kalori yang terkena restriksi ekspor: gandum (31% dari total kalori), minyak sawit (28,5%), jagung (12,2%), minyak bunga matahari (10,6%), dan minyak kedelai (5,6%). Data-data ini lebih dari memadai untuk membuat PBB, FAO, dan negara-negara importir pangan bersih amat cemas. Tidak saja perang Rusia-Ukraina diperkirakan masih lama, harga energi fosil saat ini juga bertengger tinggi: US$101/barel (crude oil WTI, 29/7/2022). Jika restriksi ekspor berlangsung lama, krisis pangan hanya soal waktu.

Mengapa? Perang Rusia-Ukraina telah mengubah pola perdagangan, produksi, dan konsumsi pelbagai komoditas. Rusia dan Ukraina adalah pemasok pangan setara 12% total kalori yang diperdagangkan di dunia. Kedua negara masuk jajaran lima pengekspor global serealia (gandum, jagung, barley) dan biji bunga matahari. Perang dan embargo ekonomi membuat usaha tani di kedua negara itu terganggu. Di sisi lain, negara-negara yang bergantung pada gas dan pupuk nitrogen serta kalium dari Rusia juga menghadapi masalah tak ringan: harga pupuk melejit tinggi. Akumulasi ini semua membuat produksi pangan 2023 dan tahun selanjutnya tak hanya menurun tapi juga jadi tanda tanya besar.

Bagi Indonesia, krisis pangan mulai terasa. Efek perang Rusia-Ukraina memang tak sengeri negara lain. Tapi efek dominonya tidak kecil. Rusia-Ukraina memasok gandum ke Indonesia hingga 30%. Rusia dan Belarusia - pintu masuk invasi ke Ukraina - memasok 42,1% pupuk kalium. Rusia juga pemasok pupuk fosfat ke kita. Dampaknya, harga pupuk nonsubsidi melonjak tinggi dan anggaran subsidi pupuk jebol.

Mulai Juli 2022, jenis pupuk subsidi dipangkas dari 7 tinggal 2: Urea dan NPK. Komoditas penerima pupuk subsidi semula 70-an kini hanya 9: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kakao, dan kopi. Ini akan menekan produksi pangan. Ini mesti diantisipasi. Kala harga pangan naik tinggi, fokus utama negara harus memastikan warga miskin-rentan terlayani dan dijamin aksesnya pada pangan. Agar daya belinya terjaga.



(miq/miq)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading