Daya Tarik Pasar Indonesia & Komitmen Belanja Pertahanan

Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
30 June 2022 17:45
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi Country Representative Indonesia untuk Jane’s Aerospace, Defense & Security pada tahun 2012-2017. Sebagai konsultan.. Selengkapnya
Pesawat terbang CN235-220. (Dok. PT DI)
Foto: Pesawat terbang CN235-220. (Dokumentasi PTDI)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Minimum Essential Force (MEF) yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan minimum TNI dan memiliki kerangka waktu antara 2010 hingga 2024 diprediksi tidak akan mencapai target 100% pada 2024. Pada akhir 2019 pencapaian MEF adalah 62,31% dan sampai saat ini tidak ada data resmi terbaru tentang pencapaian MEF dibanding akhir 2019. Secara umum masih tersisa 38,69% target yang harus dicapai pada Desember 2024 agar MEF mencapai target seperti yang telah ditetapkan. Pada akhir MEF tahap pertama pada 2014, pencapaian MEF menurut data Kementerian Pertahanan adalah 54,80%, sehingga tersedia masa 10 tahun untuk mencapai 45,2% hingga 2024.

Tentu yang menjadi pertanyaan mengapa hingga akhir 2019 pencapaian MEF masih jauh dari target. Sejak 2020 hingga saat ini tidak tersedia data dari Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang dapat diakses oleh khalayak umum mengenai persentase pencapaian MEF. Pada kerangka waktu 2015-2019, pemerintah masih memiliki keleluasaan fiskal untuk membiayai modernisasi pertahanan melalui mekanisme anggaran belanja modal, Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dan Pinjaman Luar Negeri (PLN).

Pada periode 2015-2019, PDN untuk Kemhan berkisar pada Rp 15 triliun. Pinjaman yang berasal dari perbankan nasional seperti Bank Mandiri dan Bank BNI dibelanjakan di dalam negeri untuk mendukung industri pertahanan domestik seperti pembelian pesawat terbang dari PT Dirgantara Indonesia, kapal patroli dari PT PAL Indonesia dan kendaraan lapis baja dari PT Pindad. Tingkat penyerapan PDN rata-rata cukup tinggi walaupun penyerahan senjata hasil pengadaan memerlukan waktu sekitar rata-rata tiga tahun sejak kontrak ditandatangani.



Kementerian Keuangan mengalokasikan PLN senilai US$ 7,7 miliar untuk pembiayaan belanja senjata pada periode 2015-2019. Selama periode ini, Kemenkeu tiga kali menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yaitu 2016, 2017 dan 2019. Terdapat sejumlah kegiatan pengadaan yang sulit direalisasikan walaupun kontrak sudah ditandatangani seperti empat aktivitas pembelian senjata dari Rusia dan pembelian lanjutan kapal selam dari Korea Selatan. Pengadaan senjata melalui mekanisme PLN memerlukan waktu yang agak lama karena tergantung dari ketersediaan Rupiah Murni Pendamping (RMP) dan kelancaran negosiasi loan agreement antara Kemenkeu dengan calon lenders.

Pada MEF 2020-2024, Kemhan mempunyai pekerjaan rumah untuk mengejar ketertinggalan 38,69% target MEF hingga Desember 2024. Untuk PDN, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah mengalokasikan Rp 41 triliun untuk periode 2020-2024, Rp 16 triliun di antaranya dikucurkan pada 2021. Sedangkan untuk PLN, pada 2021-2024 Kemhan mendapat alokasi PLN dari Kementerian PPN/Bappenas sebesar US$ 17,6 miliar hingga 2024 untuk mendukung MEF tahap ketiga, di mana US$ 7,6 miliar telah mendapatkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) dari Menteri Keuangan.

Walaupun MEF tahap ketiga belum selesai, namun sudah menjadi kesepakatan di antara para pemangku kepentingan bahwa MEF tidak akan mencapai target 100% pada 2024. Pelajaran apa yang dapat ditarik dari program MEF yang berlangsung selama 15 tahun dari 2010 hingga 2024?

Pertama, kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal pemerintah sangat memengaruhi implementasi program MEF selama hampir 15 tahun terakhir. Pada MEF tahap pertama dan kedua, pemerintah mempunyai ruang fiskal yang agak lebar untuk membiayai modernisasi pertahanan, khususnya melalui skema PLN. Hal serupa tidak nampak pada MEF tahap ketiga karena pemerintah harus menghadapi pandemi Covid-19 dan memiliki prioritas lain untuk dibelanjakan di luar sektor pertahanan.

Akan tetapi di sisi lain, apabila mengacu pada data Kemenkeu, kemampuan penyerapan alokasi PLN pada MEF tahap pertama dan kedua masih belum cukup tinggi. Pada MEF tahap kedua, sejumlah kontrak yang telah ditandatangani oleh Kemhan macet tidak dapat memasuki fase efektif karena faktor-faktor internal dan eksternal. Sedangkan untuk MEF tahap ketiga, kemampuan penyerapan alokasi PLN akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menyediakan RMP karena Kemhan memiliki kehendak yang besar untuk belanja senjata.

Kedua, dinamika geopolitik global. Dinamika geopolitik global masih mempengaruhi pelaksanaan program MEF, khususnya pada MEF tahap kedua dan ketiga. Pada MEF tahap kedua dan ketiga situasi global sudah berubah dengan cepat sehingga Indonesia tidak dapat melaksanakan perdagangan pertahanan dengan Rusia. Invasi Rusia terhadap Ukraina pada 2014 mendorong lahirnya CAATSA, sedangkan sanksi-sanksi ekonomi pasca invasi 24 Februari 2022 membuat rencana akuisisi senjata dari Rusia tidak dapat dieksekusi. Rencana membeli jet tempur Sukhoi Su-35, modernisasi Su-30 dan beberapa tipe rudal untuk Sukhoi menjadi terhenti.

Ketiga, daya tarik pasar pertahanan Indonesia. Selama hampir 15 tahun terakhir, kondisi pasar pertahanan Indonesia cukup atraktif bagi produsen senjata asing, terlebih lagi pada MEF tahap ketiga. Pada MEF 2020-2024, sejumlah pabrikan asal Eropa menawarkan solusinya kepada Indonesia, seperti Fincantieri, ThyssenKrupp Marine Systems, Dassault Aviation dan Naval Group. Hal demikian menunjukkan bahwa pasar Indonesia sesungguhnya cukup menjanjikan apabila Kemhan memberi peluang kepada pabrikan asing dan tidak mengistimewakan produsen tertentu saja.

Namun menjadi tantangan bagi Kemhan untuk merealisasikan komitmen pengadaan dari sejumlah pabrikan asal Eropa, baik yang kontraknya sudah ditandatangani maupun diharapkan akan segera ditandatangani tahun ini. Seperti rencana akuisisi kapal selam dari Prancis yang telah menjadi isu politik dalam hubungan Indonesia dan Prancis, sebab tercantum dalam Defense Cooperation Agreement yang ditandatangani oleh kedua negara. Bagaimana upaya Kemhan untuk meyakinkan Kemenkeu agar menerbitkan PSP bagi rencana pengadaan kapal selam dari Prancis? Bagaimana pula dengan penyiapan RMP ke depan setelah PSP diterbitkan?


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation