Perang Dagang & Nasib Kontrak Pengadaan Pesawat Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Transisi energi saat ini telah menjadi agenda global dan memberikan pengaruh pula pada sektor pertahanan. Sektor pertahanan, baik angkatan bersenjata sebagai pengguna produk pertahanan maupun industri pertahanan selaku produsen sistem senjata, dituntut untuk dapat menyesuaikan pula dengan agenda transisi energi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa aktivitas-aktivitas di sektor pertahanan yang berlangsung 24 jam setiap hari selalu menggunakan energi dalam jumlah besar, di mana energi tersebut sebagian besar berasal dari bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya emisi karbon global sejak revolusi industri dimulai yang berujung pada peningkatan suhu bumi.
Indonesia telah memiliki komitmen dalam menghadapi pemanasan suhu global melalui target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan mencapai zero emissions pada 2060. Indonesia telah pula mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait dengan perubahan iklim, satu di antaranya menyangkut transisi energi.
Namun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan masih dalam pembahasan di DPR, di mana terjadi tarik menarik antara eksekutif dan legislatif terkait isu power wheeling. RUU itu dipandang penting untuk menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam melakukan transisi energi menuju energi hijau.
Seperti telah disebutkan, sektor pertahanan merupakan salah satu pengguna energi dalam jumlah besar. Sebagai ilustrasi, pada tahun fiskal 2023 alokasi pengadaan dan pembayaran utang bahan bakar TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara kepada Pertamina mencapai Rp 7,6 triliun.
Padahal angka tersebut belum dapat memenuhi semua kebutuhan operasi dan latihan TNI, yang berakibat kegiatan operasi dan latihan TNI harus menyesuaikan dengan ketersediaan pagu bahan bakar. Nilai tersebut juga belum mencakup alokasi anggaran untuk membayar biaya pemakaian listrik di semua instalasi milik TNI dan Kementerian Pertahanan.
Terkait dengan transisi energi pada sektor pertahanan, hingga saat ini belum ada aturan resmi yang mengatur hal tersebut. Pada tingkat Kementerian Pertahanan dan TNI, belum tersedia Peraturan Menteri Pertahanan tentang transisi energi.
Sedangkan pada tingkat industri pertahanan, belum nampak peran signifikan industri pertahanan, khususnya BUMN, dalam transisi energi. Nampaknya transisi energi pada industri pertahanan memerlukan investasi yang cukup besar karena alat-alat produksi mereka seperti mesin CNC selalu membutuhkan konsumsi energi yang besar saat dioperasikan.
Di sisi lain, transisi energi menciptakan pula peluang bagi industri pertahanan Indonesia apabila industri tersebut jeli melihat peluang pasar. Peluang pasar yang dimaksud bukan saja di dalam negeri, tetapi pula di luar negeri.
Sebagai contoh, industri pertahanan dapat memanfaatkan program alih teknologi kapal selam yang menjadi komitmen Naval Group untuk membangun kemampuan memproduksi baterai Li-ion untuk kapal selam. Tentu saja komitmen Naval tersebut akan diwujudkan apabila Indonesia menetapkan Scorpene Evolved sebagai kapal selam pilihan.
Peluang berikutnya adalah produksi kendaraan taktis dan kendaraan lapis baja yang mengadopsi Hybrid Electric Drive (HDE). Pemilihan HDE yang merupakan kombinasi antara internal combustion engine, electric motors dan baterai adalah pilihan paling logis dari aspek operasional sebab daerah di mana kekuatan militer beroperasi belum tentu tersedia infrastruktur untuk isi ulang baterai.
Salah satu industri pertahanan dunia saat ini sedang melaksanakan uji coba HED pada kendaraan lapis baja buatannya. Peralihan kendaraan taktis dan kendaraan lapis baja dari adopsi internal combustion engine menuju teknologi hibrid hanya masalah waktu saja.
Penting pula untuk dicatat bahwa transisi energi merupakan tantangan bagi produk pertahanan seperti pesawat terbang, baik pesawat angkut, pesawat tempur maupun helikopter. Tantangan demikian dihadapi baik oleh TNI sebagai operator produk-produk dirgantara maupun PT Dirgantara Indonesia sebagai produsen pesawat terbang.
Pada tingkat internasional, penerbangan sipil maupun militer mulai melakukan transisi energi dari bahan bakar fosil menuju Sustainable Aviation Fuel (SAF). Namun transisi menuju SAF tidak mudah karena memerlukan waktu yang lama karena butuh persetujuan dari regulator, produsen pesawat terbang maupun pembuat engine.
Sebagai contoh, terdapat operator F-16 yang mengadopsi engine F100-PW-220e buatan Pratt & Whitney telah menggunakan SAF dengan kadar lima persen biofuel yang berbasis pada minyak jelantah. Adopsi demikian telah mendapatkan persetujuan dari regulator, pabrik pesawat terbang dan produsen engine, sebab tanpa persetujuan demikian maka kerusakan yang terjadi engine adalah tanggungjawab operator.
Peran produsen SAF tidak boleh dilupakan pula sebab mereka harus mampu memproduksi biofuel yang sesuai dengan spesifikasi engine yang ditetapkan. Singkatnya, diperlukan waktu beberapa tahun sebelum suatu tipe biofuel dapat digunakan pada suatu jenis engine.
Penerapan SAF untuk pesawat terbang yang dioperasikan oleh TNI masih memerlukan jalan panjang, sebab harus melibatkan pabrik pesawat terbang dan produsen engine yang berbeda-beda. Begitu pula dengan regulator di mana regulator pesawat militer di Indonesia adalah Kementerian Pertahanan.
Seberapa kredibel regulator penerbangan militer negeri ini dibandingkan dengan regulator penerbangan sipil, yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan yang selalu mendapat supervisi dari Federal Aviation Administration (FAA) dan European Union Aviation Safety Agency (EASA)? Seperti telah dijelaskan sebelumnya, implementasi SAF harus melibatkan pula produsen SAF dalam hal ini Pertamina.
Transisi energi terkait pula dengan biaya yang diperlukan untuk mendukung aktivitas tersebut. Pemerintah perlu melakukan kalkulasi berapa biaya yang dibutuhkan untuk transisi energi di sektor pertahanan, khususnya untuk Kementerian Pertahanan dan TNI.
Oleh karena itu, dibutuhkan adanya peta jalan transisi energi di sektor pertahanan agar biaya yang dibutuhkan dapat dihitung secara tepat. Tanpa peta jalan, kegiatan transisi energi di sektor pertahanan tidak akan berjalan secara terarah dengan target yang dapat ditentukan dalam kurun waktu tertentu.