Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi

Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarjana dari FIKOM UPI YAI, Jakarta dan RSIS-NTU, Singapura, setelah gelar sarjana ditempuh di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebelum banting setir adalah koresponden untuk koran Lloyd's List, Inggris. Pada masanya, terbitan ini merupakan rujukan pelaku usaha pelayaran global. Kini, selain mengelola Namarin, dia juga mengajar di beberapa universitas di Jakarta.

Profil Selengkapnya

Jerman Impor Batu Bara 150 Juta Ton & Kesiapan Pelayaran RI

Opini - Siswanto Rusdi, CNBC Indonesia
22 June 2022 11:45
Pekerja melakukan bongkar muat batubara di Terminal Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (6/1/2022). Pemerintah memutuskan untuk menyetop ekspor batu bara pada 1–31 Januari 2022 guna menjamin terpenuhinya pasokan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN dan independent power producer (IPP) dalam negeri. Kurangnya pasokan batubara dalam negeri ini akan berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri, di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) dan non-Jamali. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo) Foto: Pekerja melakukan bongkar muat batu bara di Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (6/1/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Bisnis pengangkutan batu bara dalam negeri sepertinya akan moncer menyusul rencana Jerman mengimpor batu bara dari Indonesia. Dikabarkan oleh berbagai media lokal, negara itu akan membeli sekira 150 juta ton dari sini untuk kecukupan energinya. Isu energy security ini nampaknya cukup memusingkan negara tersebut sehingga bela-belain belanja batu bara sampai ke Indonesia yang terhitung jauh dari sana. Selain itu, sebagai negara yang terkenal dengan kebijakan energi hijaunya, jelas penggunaan batu bara yang penuh debu itu bisa menurunkan citra yang ada.

Semua itu dilakukan oleh Jerman menyusul perang yang tak berkesudahan antara Rusia dan Ukraina. Bagi Jerman, kedua negara itu telah cukup lama menjadi penyuplai kebutuhan energinya, mulai dari gas, minyak hingga batu bara. Sekarang mereka baku tembak sehingga aliran komoditas strategis tadi terhenti ke Jerman, termasuk ke negara utama Eropa lainnya. Terhentinya pengiriman bukan hanya akibat perang namun juga karena kebijakan Jerman sendiri yang memboikot atau menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap bisnis energi Rusia serta bisnis lainnya. Ibarat kata pepatah, "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri".

Tak ingin Jerman gelap-gulita di malam hari dan membeku kala musim dingin, diliriklah batu bara Indonesia oleh pemerintahnya sebagai alternatif batu bara Rusia/Ukraina. Jumlah yang akan dibeli pun terbilang masif yang berdasarkan berbagai laporan media akan memaksa Indonesia meningkatkan produksinya. Soalnya jika mengambil dari produksi eksisting, sekitar 300 juta ton lebih per tahun, dan mengekspornya sekitar 150 juta ton ke Jerman sesuai permintaan negeri itu, jelas akan memicu krisis batu bara di dalam negeri. Para pihak dari kedua negara kini tengah berhitung terkait rencana pembelian batu bara itu.



Saya cukupkan pembahasan seputar rencana impor batu bara oleh Jerman sampai di situ dan masuk ke dalam dimensi pelayaran jika rencana dimaksud akhirnya dieksekusi. Sejauh ini, dalam wacana ekspor batu bara ke Jerman dimensi pelayaran telah dimunculkan sedikit dalam media. Mengutip Singgih, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF), demi efisiensi, pengapalan ke Jerman harus menggunakan kapal berjenis di atas Panamax bahkan menggunakan capesize.

Sekadar mengingatkan pembaca, kapal dengan tipe Panamax adalah kapal yang dapat melintasi Terusan Panama. Tipe ini punya varian yang lebih besar dimensinya dibanding yang pertama; diistilahkan dalam dunia pelayaran dengan New Panamax atau Neopanamax. Kapal-kapal yang ukurannya melebihi keduanya diistilahkan post-Panamax atau super-Panamax. Sementara capesize adalah kapal yang dimensinya begitu besar untuk melintasi Terusan Panama (juga Terusan Suez) dan karenanya harus melewati Cape Agulhas, Chile, atau Cape Horn, Afrika Selatan, bila hendak berlayar ke Samudra Pasifik atau Samudra Atlantik.

Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah rencana impor batubara Jerman ditimbang dari sudut praktik pelayaran yang ada di Indonesia?

Pertama, Indonesia selama ini sudah terbiasa mengekspor batu bara. Ada yang dikirim ke India, China, Jepang dan lainnya. Jadi, bila nanti kita diminta untuk mengekspor komoditas itu ke Jerman, jelas not a big deal. Dari sisi pengapalan, ekspor batu bara Indonesia sebagian besar, bila tidak hendak disebut seluruhnya, diangkut menggunakan kapal-kapal dari "keluarga besar" Panamax. Ketika pemerintah menghentikan ekspor batu bara di awal tahun ini, terungkap fakta bahwa kebijakan itu berdampak pada seratusan kapal yang tengah memuat batu bara; ada pula yang sudah angkat jangkar dan siap berlayar.

Kapal-kapal itu memiliki daya angkut sekitar 60.000 ton. Silakan pembaca hitung sendiri berapa banyak kapal tipe Panamax yang akan diperlukan untuk mengantarkan 150 juta ton batu bara yang akan dibeli Jerman dari Indonesia. Namun, seperti sudah disinggung di atas, batu bara sebanyak itu akan diangkut dengan kapal tipe capesize. Mari sama-sama kita lihat bagaimana isu ini diselesaikan nantinya. Maksudnya, opsi menggunakan capesize tepat atau tidak amat sangat tergantung dengan perjanjian pembelian; apakah free on board (FOB) atau cost, insurance, freight (CIF). Skema apapun yang dipilih kelak akan memengaruhi bagaimana batu bara itu dikapalkan.

Kedua, pengapalan atau //shipment// komoditas batu bara Indonesia untuk pasar ekspor selama ini menggunakan kapal-kapal berbendera asing. Kapal-kapal dari keluarga Panamax yang saya mention di atas hampir semuanya berbendera asing. Bila nanti ekspor batu bara ke Jerman yang saat ini tengah dibahas oleh para pihak terkait benar-benar menggunakan capesize, situasinya akan sama saja. Dalam kalimat lain, bisnis pelayaran nasional menyumbang kepada defisit neraca transaksi berjalan, dan hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, karena membayar freight (ongkos angkut) kepada kapal asing. Ongkos angkut batu bara saat ini berkisar antara US$ 85 hingga US$ 90 per ton. Terbayangkan berapa devisa yang melayang untuk mengapalkan 150 juta ton batu bara?

Menurut Maritime Executive, sebuah portal kemaritiman, saat ini di dunia terdapat sekitar 523 unit kapal capesize. Berdimensi antara 200.000 hingga 300.000 deadweight ton (DWT), kapal-kapal ini berlayar ke 121 pelabuhan di 31 negara. China, Australia dan Brasil merupakan segelintir negara pelabuhan yang bisa melayani kapal-kapal capesize. Sependek pengetahuan penulis, tidak ada pelabuhan di Indonesia yang bisa melayani kapal tipe ini. Bahkan, kapal-kapal Panamax yang selama ini wara-wiri mengangkut batu bara ekspor Indonesia harus melakukan transshipment di tengah laut setelah sebelumnya diangsur menggunakan tongkang menyusuri sungai-sungai di Kalimantan.

Masalah penanganan bongkar muat 150 juta batu bara untuk Jerman sudah diangkat ke permukaan oleh Ketua IMEF Singgih. Saya sepakat dengannya. Isu ini akan menjadi masalah yang bisa membuyarkan prospek yang sudah di depan mata bila tidak ditangani dengan baik. Untuk catatan saja, urusan menggeser batu bara dari pusat-pusat pertambangan di seantero Kalimantan ke tengah laut untuk transshipment dilakukan dengan tongkang yang ukurannya beragam. Mulai dari 180 kaki hingga 300 kaki. Tipe pertama kapasitas angkutnya 2.000 ton, sedangkan tipe kedua mampu menampung 8.000 ton. Di antara kedua tipe ada jenis lain: 230 kaki (kapasitas 4.000 ton) dan 270 kaki (6.000 ton).

Yang saya pikirkan itu begini. Bila ekspor 150 juta ton batu bara ke Jerman betul-betul jadi menggunakan capesize, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengisi penuh palkanya? Jika kapal menunggu lama untuk loading, Jerman bisa jadi akan berpaling ke negara lain yang lebih efisien. Jadi, persoalannya tidak gampang, Ferguso.

(miq/miq)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading