
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute. Ahli ekonomi makro dan perencanaan keuangan negara yang didukung oleh keahlian ekonometrika untuk pemodelan ekonomi dan energi. Saat ini aktif mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti.
Profil SelengkapnyaKebijakan Pengaturan BBM Subsidi dan BBM Khusus Penugasan

Peningkatan harga minyak mentah yang signifikan pada periode transisi pandemi menuju endemi Covid-19, mendorong banyak pihak berada pada posisi sulit. Selain aspek kesehatan, Indonesia saat ini sedang berupaya melakukan pemulihan ekonomi salah satunya melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dalam konteks pelaksanaan program PEN, seluruh aliran ilmu ekonomi kemungkinan akan sependapat bahwa yang diperlukan adalah pemberian stimulus baik dalam bentuk insentif, subsidi, dan bentuk lainnya. Logis jika kebijakan penyesuaian harga BBM yang notabene kontraproduktif dengan tujuan PEN berupaya untuk dihindari oleh pemerintah.
Wacana pemerintah yang mengindikasikan akan membatasi volume konsumsi BBM subsidi dan BBM Khusus Penugasan (JBKP) kemungkinan juga lahir dari kondisi yang serba sulit tersebut. Rencana pembatasan diharapkan dapat mengurangi beban subsidi di APBN, tidak terlalu membebani keuangan BUMN pelaksana PSO dan Penugasan, dan tetap dapat menjaga daya beli kelompok masyarakat yang dinilai layak memperoleh subsidi.
Akan tetapi jika mencermati efektivitas dari kebijakan serupa yang telah diimplementasikan, rencana kebijakan tersebut sebaiknya ditinjau ulang. Pengalaman menunjukkan bahwa hasil penghematan dari kebijakan serupa tidak cukup sepadan dengan anggaran yang diperlukan untuk melakukan pengawasan dan penggunaan teknologi yang diperlukan. Potensi terjadinya gesekan antar masyarakat jika terdapat pihak tidak berhak tetapi memaksa membeli BBM subsidi dan BBM Khusus Penugasan juga akan menjadi permasalahan ikutan.
Kebesaran hati para pihak
Penyelesaian permasalahan yang sangat kompleks tersebut pada dasarnya memerlukan kebesaran hati dari semua pihak. Meskipun dapat menggunakan sudut pandang yang berbeda, pemerintah, BUMN Pelaksana PSO dan Penugasan, dan masyarakat sebagai konsumen perlu berada pada satu frekuensi pemahaman dalam melihat permasalahan yang ada.
Jika para pihak menyepakati tidak menyesuaikan harga BBM Subsidi dan JBKP, perlu sama-sama memahami bahwa hal tersebut akan berimplikasi terhadap kapasitas fiskal pada 2022 yang semakin terbatas. Hal itu karena jika mengacu pada volume dan selisih harga wajar dengan harga penetapan, kebutuhan anggaran untuk subsidi dan kompensasi BBM di 2022 paling tidak akan mencapai kisaran Rp 300 triliun.
Kebutuhan anggaran semakin besar jika memperhitungkan anggaran subsidi LPG 3Kg dan subsidi listrik yang juga meningkat. Dengan volume LPG subsidi sebesar 8 juta MT, paling tidak anggaran subsidi LPG tahun 2022 mencapai kisaran Rp 125 triliun. Anggaran subsidi listrik juga berpotensi meningkat sejalan dengan meningkatnya harga untuk hampir semua jenis energi primer pembangkit.
Jika sebagian besar anggaran kemudian diputuskan dialokasikan untuk subsidi dan kompensasi sektor energi (BBM, LPG, dan Listrik), ruang gerak pemerintah untuk membiayai kegiatan produktif termasuk program PEN juga akan menjadi semakin terbatas. Meskipun positif untuk menjaga daya beli masyarakat, keputusan untuk tidak menyesuaikan harga BBM di tengah tekanan harga minyak yang cukup besar dapat menjadi beban perekonomian nasional.
Aspek yang juga perlu menjadi perhatian dari keputusan untuk tidak menyesuaikan harga adalah kelancaran operasional dan kesehatan keuangan BUMN pelaksana PSO dan Penugasan. Hal tersebut penting karena menyangkut keberlanjutan pasokan dan yang lebih mendasar adalah menyangkut ketersediaan BBM untuk masyarakat itu sendiri. Kelancaran operasional dalam penyediaan dan pendistribusian BBM akan sangat ditentukan oleh kebijakan dan ketegasan dalam pengaturannya.
Besaran volume dan harga penetapan pemerintah sangat penting bagi badan usaha pelaksana PSO/Penugasan. Jika besaran volume dan harga belum ditetapkan, badan usaha pelaksana PSO/Penugasan kemungkinan akan cenderung menunggu. Hal tersebut karena badan usaha pelaksana tidak memiliki kewenangan dan tidak dapat secara mandiri menetapkan kuota dan harga BBM PSO dan JBKP. Karena itu, ketegasan dalam pengaturan volume dan harga akan sangat mempengaruhi dan akan menjadi kunci dalam kelancaran kegiatan penyediaan dan distribusi BBM PSO dan JBKP.
Kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan BBM PSO dan JBKP tersebut kiranya perlu dimanfaatkan menjadi momentum untuk mempercepat penyelesaian proses revisi UU Migas No.22/2001 yang sudah berjalan selama 14 tahun dan belum terselesaikan. Kebijakan pengelolaan BBM dapat berpotensi lebih mudah jika kebijakan pengaturan BBM PSO dan JBKP diatur lebih detil dan tegas dalam revisi UU Migas dan aturan pelaksanaannya.
Terlepas dari adanya sejumlah hal yang menunggu untuk diselesaikan termasuk proses revisi UU Migas, posisi para pihak untuk dapat merespon peningkatan harga minyak saat ini memang tidak mudah. Kondisi eksternal dan internal telah memposisikan pemerintah, BUMN pelaksana PSO dan Penugasan, dan masyarakat sebagai konsumen dalam kondisi yang relatif sulit.
Kondisi yang ada semakin sulit karena konsep dan praktik pemberian subsidi BBM di Indonesia tidak sesuai dengan filosofi subsidi itu sendiri. Secara filosofi, subsidi merupakan bantuan yang diprioritaskan untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu. Sementara dalam praktik subsidi BBM di Indonesia, yang memperoleh manfaat subsidi yang lebih besar justru kelompok mampu. Pengguna mobil menikmati subsidi yang lebih besar dibanding pengguna motor. Sementara pengguna motor menikmati subsidi yang lebih besar dibandingkan masyarakat yang bahkan tidak mampu untuk membeli motor.
Kebijakan ideal agar subsidi BBM di Indonesia lebih tepat sasaran pada dasarnya harus mengubah model kebijakan subsidi barang menjadi pemberian subsidi kepada orang. Akan tetapi jika pemerintah belum siap dengan infrastruktur pendukungnya, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyesuaikan harga secara terbatas dibandingkan melakukan pembatasan konsumsi BBM yang sangat berpeluang menimbulkan sejumlah permasalahan ikutan.
Menyesuaikan harga Solar Subsidi yang saat ini ditetapkan sebesar Rp 5.150 per liter sementara harga Solar di negara tetangga seperti Philipina sudah dikisaran Rp 21.000 per liter, kiranya akan lebih efektif dibandingkan kebijakan pembatasan konsumsi. Sebagai gambaran, jika harga Solar Subsidi disesuaikan setara dengan harga Pertalite saat ini, pemerintah paling tidak akan menghemat anggaran subsidi BBM sekitar Rp 37 triliun.
(rah/rah)